Jakarta, Demokratis
Tokoh buruh Abdul Latief jebolan International Labour Organization (ILO) mengatakan salah besar jika ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bertujuan untuk menyusun dan menata arah perencanaan masa depan bangsa agar dapat lebih sejahtera.
“Saya bilang itu penting, cita-cita itu mimpi. Itu penting tetapi kita sebaiknya duduk bersama untuk membahasnya dengan tenang kedepan, ada profesornya, ada kyainya, ada pendetanya. Semua duduk dan mari kita membahas masa depan bangsa mau dibawa kemana,” kata Abdul Latief di Jakarta, Senin (11/10/2021) lalu.
Meski demikian, menurut mantan Menteri Tenaga Kerja era Soeharto ini, pembahasannya harus dengan politis, teknokratik serta melibatkan partisipasi rakyat seperti merumuskan GBHN dulu.
“Ada tiga alternatif kedudukan PPHN yang diwacanakan yakni diatur dalam UUD, Tap MPR atau Undang-Undang seperti RPJP,” ujar Latief yang mundur jadi anggota MPR saat Golkar setuju Amandemen UUD 1945 dengan digantikan oleh Marzuki Darusman di era Akbar Tanjung tahun 1999 lalu.
Latif juga mengingatkan agar perencanaan kedepan harus melalui studi yang mendalam dan matang sehingga nantinya dapat membuahkan hasil yang seperti diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Menangis
Latif adalah peletak dasar gaji buruh berstandar UMR dan mendirikan Jamsostek untuk mensejahterakan buruh supaya pekerja tidak dieksploitasi majikan. Saat menjabat menteri, Latif juga mewakili pengusaha pribumi pejuang. “Saat saya muda saya pasang foto Bung Karno dan Bung Hatta di kamar,” katanya.
“Tahun 1966, saya ikut demontrasi, ikut serta dalam menjatuhkan Bung Karno. Saya nangis, mengapa pemimpin besar harus diturunkan.”
Lebih menyedihkan lagi, kata Latief, saat mahasiswa beramai-ramai menggulingkan penguasa Orde Baru Soeharto tahun 1998. Saat itu dirinya menjabat menteri sebagai pembantu presiden. Menurutnya, untuk menghindari pertumpahan darah antar anak bangsa, Soeharto pun akhirnya mengikuti tuntutan para mahasiswa.
“Demontrasi ramai, dan saya ada di pemerintahan. Kalau ini terjadi perang, misalnya tentara tak mau mundur, maka bergelimpangan korban. Ini yang dihindari oleh Soeharto,” ungkap Latif.
Oleh karena itu, ia ingin setiap pergantian presiden tidak diawali dengan gontok-gontokan sesama anak bangsa dan bahkan kalau bisa saat meninggal nanti ditangisi oleh rakyatnya.
“Kita lihat zaman Bapak Soeharto turun tidak enak, tidak husnul khotimah. Kemudian naik Habibie juga begitu, naik Gusdur juga begitu, Ibu Megawati kalah pemilu. Kemudian Bapak SBY 10 tahun, turun partainya dari nomor satu ke nomor empat, meski tak apa-apa, cuma tidak elok. Habis berjaya, kemudian brug, jatuh, di nomor empat. Artinya ada yang tak beres atau rakyat tidak mau lagi,” jelasnya.
Dirinya juga berharap pergantian presiden pada tahun 2024 nanti dapat berjalan dengan baik dan itu pun karena habisnya masa jabatan presiden yang merupakan amanah pemberian rakyat.
“Ini era Bapak Jokowi sekarang, pada saat penggantian presiden 2024 yang find a good system yang turunnya enak lah,” tambahnya.
Latief pun mencontohkan negara Singapura saat mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew meninggal dunia yang membuat rakyatnya juga ikut menetaskan air mata dan merasa kehilangan.
“Kan enak begitu, kenapa negeri kita tak bisa begitu. Mari kita duduk bersama supaya negeri ini orang Jawa bilang tenteram,” kata Latief berdarah Minang-Aceh. (Erwin Kurai Bogori)