Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jalan Tengah Itu Adalah Prinsip Kebenaran

Masalah Brigjen TNI Junior Tumilaar (JT) Inspektur Kodam XIII/Merdeka Sulawesi Utara yang membebaskan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari tahanan polisi karena Bintara  teresebut terlibat membela rakyat melawan kelompok mafia tanah di tempat dia bertugas menjadi persoalan hukum serta menjelma menjadi isu penting (Tribun News 11 Oktober 2021).

Yang kemudian menimbulkan silang pendapat bahwa sang Bintara berada di pihak yang benar membela rakyat. Sementara mafia tanah menuduh Bintara tersebut bersalah memasuki wilayah sipil yang bukan wewenangnya. Pro kontra inilah yang terjadi dan membutuhkan jalan tengah. Jalan tengah itu adalah prinsip kebenaran. Kabar terakhir jenderal JT dipersalahkan oleh atasannya dan diproses secara pidana militer. Sayang sekali.

Masalahnya di mana letak doktrin bersatunya tentara dan rakyat yang merupakan doktrin tentara. Yang dalam konteks mafia tanah ini tentara memihak untuk membela rakyat. Yang juga selaras dengan ungkapan yang terbaik untuk rakyat terbaik untuk tentara.

Apa yang terjadi dengan kasus di atas, mungkin perlu dicari klasifikasinya. Agar pro kontra tidak liar kemana-mana, antara mafia tanah dan kelompok terkait dengan penentang mafia tanah sekarang ini. Yang pasti, mafia tanah semakin merajalela saja. Adapun hukum militer yang menjadi wewenangnya instansi militer kita serahkan pada lembaga yang bersangkutan.

Soal utamannya bagi kita mafia tanah dan perlindungan rakyat. Bagaimana konsep keadilan dan kebenaran dilaksanakan untuk rakyat. Pihak mana yang membela rakyat.

Pada kaitan ini menarik pendapat Immanuel Kant (1724-1804) dalam bukunya Critique of Practical Reason tentang filsafat kebenaran. Ia mengklasifikasi filsafat nilai untuk menguji kebenaran. Bagi Kant kebenaran identik dengan nilai. Jika sesuatu bernilai, maka sesuatu benar. Jika sesuatu itu tidak bernilai, sesuatu itu berarti tidak benar. Demikian Immanuel Kant tokoh filsafat barat abad pertengahan itu.

Seperti kasus mafia tanah tersebut di atas berada pada posisi tidak bernilai, tidak berguna bagi kepentingan rakyat. Mafia tanah tidak benar. Jadi yang benar adalah kelompok pihak yang melawan mafia tanah, dalam hal ini adalah Bintara Pembina Desa yang didukung seorang jenderal TNI. TNI tidak netral dalam masalah, tetapi memihak dalam menegakkan kebenaran.

Ada pihak yang menyalahkan keterlibatan TNI dengan menyamakan masuk ke wilayah sipil dan menganggapnya adalah masa lalu. Ditinggalkan dengan menganti era sipil. Itu satu pendapat. Tapi kebenaran yang utama yang harus ditegakkan adalah melawan ketidakbenaran bukan soal sipil atau militer. Bukan juga soal netral atau tidak netral.

Pokok pikiran berkait netral dan memihak dalam pandangan Ibnu Taimiyah yang hidup tahun (661-728 M) sama dengan filsafat barat. Dalam bukunya Al Wasathiyah, ia menyebut tentang hal yang berkaitan dengan netral. Ia mengemukakan kebenaran dasar atau prinsip. Bukan yang lain. Garis tengah atau netralnya bukan tidak memihak, atau tidak berat sebelah, melainkan karena dasar atau prinsipnya demikian.

Konsep wasatiyah (netral), menurut dia lalu menjadi garis tengah, yang menggerakkan pemikiran prinsip tersebut. Konsep moderasi atau netral dipakai untuk mengartikan wasathiyah yakni prinsip tetap memihak kepada yang benar dan adil.

Ibnu Taimiyah dengan wasatiyah dengan jalan tengah dan lurus itu kian terasa beresensi dengan persoalan kasus pro kontra di atas. Mungkin pada waktu gagasan wasathiyah diluncurkan itu belum dalam bentuknya yang sekarang. Meski indikasi persoalan netral atau tidak netral sebelumnya sudah ada.

Al Mawardi misalnya menampilkan pemikiran politik sesudah masa Ibnu Taimiyah (952- 1078). Dalam dua buku utamanya Al Ahkam Sulthaniyah tentang ketatanegaraan dan Waziratul Sulthaniyah. Ia tanpa beban sejarah memunculkan konsep tata negara Ahlul Halli wal Aqdi tim ahli dan perumus kebijakan negara di bawah Sultan. Juga didukung pemikirannya dalam bukunya Adab ad-Dunnya dalam menjelaskan intelektual manusia berkenaan pelaksanaan politik kekuasaan negara.

Inti konsep Al Mawardi ini adalah pembentukan dewan untuk teknis pelaksana pemerintahan. Di situ diatur wewenang negara dan kepentingan umat dalam kedudukan warga negara.

Pro kontra bukanlah apa-apa, atau sebagai biasa-biasa saja. Kalau hanya sekadar omongan sudah pasti ada sesuatu di balik pro kontra itu. Karena itu, hendaknya didudukkan dalam posisi yang dapat memberi pencerahan dan edukasi transformatif.

Harapannya dengan prinsip itu maka tiada kusut yang tak bisa selesai dan tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan. Dalam kasus mafia tanah, pro rakyat itulah diperlukan penegakan kebenaran. Yaitu kebenaran yang bernilai dan berguna. Tanpa kebenaran masyarakat tidak dapat terlindungi.

Jakarta, 14 Oktober 2021

*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles