Bupati Indramayu Nina Agustina, S.H, M.H, C.R.A, membuat gebrakan kepada para Kuwu yang terpilih dalam Pilwu serentak harus menandatangai “Pakta Integritas Kuwu”, dimana pakta intregitas tersebut dibuat oleh Bupati Nina.
Pakta Intergritas Kuwu tersebut dibuat Bupati untuk apa? Apa konteks dan substansinya? Ada apa, bagaimana dan kenapa harus di-pakta-integritas-kan para Kuwu yang terpilih tersebut? Apakah hanya sekedar untuk menakut-nakuti para Kuwu saja? Atau ada hal lain?
Apa Itu Pakta Integritas?
Pakta Integritas kini menjadi inflasi makna bahkan kehilangan makna dan pengertiannya, karena pakta integritas dibiaskan dari maksud dan tujuannya. Pakta integritas menjadi salah kaprah dibuatnya. Pakta integritas dipolitisasi kepentingannya, sehingga menjadi amat sangat rancu dan kacau balau dalam konteks, substansi dan esensinya.
Makna pakta integritas di tangan Bupati Nina menjadi terjajah sebagai alat untuk menyampaikan pengertian, sebagai alat komuikasi verbal dalam esensi dan substansinya. Makna kata pakta integritas dibelenggu dan dipolitisasi. Kata tidak lagi mempunyai makna dari asal katanya. Makna dan pengertian dari kata tersebut tidak lagi bicara, keluar dari maksud dan tujuannya.
Penguasa dan atau kekuasaan terlampau gampang mengakrobatikan untuk menyatakan dan membuat pakta integritas, sehingga pakta integritas menjadi sangat politis, kabur dalam makna dan pengertiannya, dan bahkan melesat jauh dari definisinya. Kata tersebut telah kehilangan metodologinya untuk bisa membuktikan kebenaran dirinya dari kata-kata itu sendiri, dengan perkataan lain, tidak bisa diuji secara metodologis.
Padahal substansi, esensi dan konteksnya apa yang didefinisikan dalam pakta integritas adalah merupakan komitmen moralitas pada dirinya sendiri. Komitmen moralitas tersebut untuk melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang dan pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seperti tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan pertanggungjawaban atas janji-janjinya yang pada masa kampanye dipertaruhkan kepada masyarakatnya, rakyat atau publik.
Komitmen moralitas tersebut merupakan kesadaran yang lahir dari dalam dirinya sendiri untuk kepentingan masyarakat yang dipimpinnya, yang jika gagal dan atau merasa tidak mampu, apalagi kegagalannya telah membuat kegaduhan masyarakat (rakyat) atau publik yang diekspresikan dalam bentuk demo atau penyampaikan pendapat di muka umum dan atau adanya tekanan publik yang menuntut mundur atau untuk legowo turun dari singgasana kekuasaannya, karena kegagalan atas kepemimpinannya.
Pakta integritas merupakan komitmen moralitas sebagai pemimpin untuk mempertaruhkan jabatannya jika dikemudian hari setelah duduk di singgasana kekuasaan ternyata gagal untuk menepati janji-janji politiknya dan atau gagal mengemban amanat kepercayaan masyarakatnya, maka harus menjadi keniscayaan mengundurkan diri dan atau melepaskan jabatannya sebagai pejabat publik. Mundur dari jabatannya, karena hal tersebut merupakan konseskuensi dari nilai-nilai keluhuran moralitas yang dilandasi atas keyakinannya akan adanya keberadaan Tuhan.
Komitmen moralitas tersebut yang mempertaruhkan copotnya jabatan (publik) dari kursi singgasana kekuasaan. Hal itu bisa terjadi atau bisa meng-ada manakala sang pemimpin mempunyai kemampuan melakukan otokritik terhadap dirinya sendiri untuk menilai apakah kepemimpinannya gagal atau sukses, yang kemudian adanya bukti petunjuk yang nyata dan dinyatakan sebagai fakta dan realitas, yaitu adanya reaksi publik atas kegagalan kepemimpinannya tersebut. Karakteristik teologis seperti itu hanya dipunyai dan atau dimiliki oleh negarawan dan atau orang-orang profesional idealistik.
Mentalitas Penguasa
Kita sudah terbiasa sehingga menjadi bebal, bahwa para pemimpin kita, mulai dari level Kuwu, apalagi Bupati, Wali Kota, Gubernur dan bahkan Presiden, sekalipun berkali-kali didemo bahkan hingga banyak menelan korban, tak akan bergeming. Mereka semua tidak pernah merasa gagal, bahkan selalu merasa telah berhasil dan hal tersebut kemudian dikonkretkan dengan pidato dan atau narasi-narasi yang disampaikan dalam ranah dan ruang publik.
Hal tersebut karena para pejabat publik dan atau orang-orang menduduki jabatan politis tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan otokritik; tidak punya kemampuan untuk melakukan pembacaan dari luar dirinya. Kritik dianggap sebagai kebencian atas kekuasaan dirinya. Negara tidak hadir dalam dunia kekuasaan penguasa.
Watak penguasa akan mencari para pembisik dan atau yang dalam lingkaran sumbu kekuasaannya adalah orang-orang yang bermentalitas penghamba kekuasaan, tidak memerlukan orang-orang model Umar bin Khattob.
Abu Nawasan dipakai oleh para pemimpin dan calon pemimpin. Kita tidak bisa lagi untuk menilai pemimpinnya apalagi jika harus kita katakan gagal dalam kepemimpinannya. Tidak punya lagi rasa malu, sudah tidak lagi menjaga kemaluannya. Tidak memiliki lagi peradaban yang bermartabat, sehingga arti, makna dan definisi dari kata gagal atau kegagalan menjadi magma politis yang mencair, bantah membantah, penyangkalan yang digiring secara politis menjadi debatable yang tak berujung.
Saling klaim mengklaim dalam pertanyaan yang tak berujung, yaitu, siapa yang berhak menilai kegagalan kinerja dan atau kepemimpinan Kuwu dan atau Bupati? Masyarakatkah (publik), atau harus ada tim independen pencari fakta kebenaran atas ralitas konkret dari kegagalan itu sendiri? Atau Inspektoratkah atau BPK (Badan pemeriksa Keuangan) yang berhak menilai gagal atau berhasilnya Kuwu dan atau Bupati dalam tata kelola pemerintahannya?
Pakta Integritas Kuwu
Pertanyaannya adalah apakah Bupati Nina lagi bikin lelucon dan kekonyolan kebijakan yang mengharuskan para Kuwu terpilih hasil Pilwu serentak 2020 dengan membuatkan pakta integritas yang harus ditandatangani oleh para Kuwu terpilih tersebut?
Ternyata itu benar adalah lelucon dan kekonyolan dalam membuat kebijakan, jika kita membaca secera cermat dan cerdas materi pokok yang tertuang dalam PAKTA INTEGRITAS KUWU DI KABUPATEN INDRAMAYU yang dibuat oleh Bupati Nina yang berisi 8 (delapan) item. Yang delapan item itu sesunggunya ada dalam UU tentang Desa beserta turunan dari peraturan=perundang-undanbgan itu sendiri.
Dalam pakta integritas tersebut diakhiri dengan: Apabila saya tidak melaksanakan pakta integritas dan penegasan komitmen tersebut diatas, maka saya siap menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pakta intergritas yang memuat 8 item itu, sesungguhnnya merupakan tugas dan atau amanat peraturan perundang-undangan, yaitu baca UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN sebagaimana telah diubah dengan PP No. 22 Tahun 2015, PP No. 8 Tahun 2016 tantang Perubahan Kedua Atas PP No. 60 Tahun 2014. Bukankah itu kekonyolan, dan bahkan menjadi konyol yang bukan sekedar lelucon yang memalukan.
Jika Bupati mengerti dan paham dengan regulasi tersebut, telah memuat sanksi atas Kuwu yang tidak bisa dan atau melanggar peraturan perundang-undangan tersebut. Jadi tidak perlu dibuatkan pakta integritas. Untuk apa? Apa urgensinya dan untuk siapa dibuat itu? Hal tersebut hanya menunjukkan kearogansian kekuasaan yang sekaligus mencerminkan ketidakpahamannya dengan peraturan perundang-undangan tentang Kuwu dan Pemerintahan Desa.
Pertanyaannya adalah siapakah yang berhak menilai dan mengevaluasi atas kegagalan para Kuwu dan atau ketidakpatuhan para Kuwu terhadap peraturan perundang-undangan tersebut? Apakah Bupati Nina sendiri yang akan menilainya atau ada sebuah tim? Atau semua itu menjadi otoritas Inspekorat atau atau BPK dan atau dari keduanya, sehingga Bupati hanya sebagai eksekutor saja. Menjadi sangat naïf jika Bupati bisa dan atau mampu menilai kinerja para Kuwu yang sejumlah 309 (desa) orang itu?
Jika mekanisme penilaiannya berdasarkan hasil audit Inspektorat atau BPK, bagaimana mungkin bisa menilai 309 desa yang ada, karena sistem dan prosedur auditnya hanya menggunakan metodologi sampling sebanyak 5% saja. Lantas, apakah para Kuwu yang menerima sanksi adalah berdasarkan temuan hasil audit dari Inspektorat atau BPK?
Jika itu yang dipakai, pertanyaan berikutnya adalah temuan seperti apa yang akan dikenakan sanksi kepada para Kuwu? Apakah temuan yang bersifat administratif ataukah temuan yang berindikasi tindak pidana korupsi?
Jika temuannya adalah indikasi tindak pidana korupsi, bukankah harus direkomendasikan ke institusi dan atau APH (Aparat Penegak Hukum), paling lambat 1 (satu) bulan sejak ditemukannya temuan dalam hasil audit? Tentu dengan asas praduga tak bersalah yang akan dikedepankan oleh APH.
Pertanyaan terakhirnya, bagaimana mungkin, karena selama ini Inspekorat menjadi jeruk makan jeruk. Para auditornya bermental pagar makan tanaman, dan yang tak terbantahkan pula sudah mentalitasnya bobrok ditambah kapabilitasnya sebagai auditor jauh dari standar, meski standar keauditorannya diturunkan hingga level garis pas-pasan. Problem utamanya juga BPK hanya bisa masuk ke pemerintahan desa jika APBDesnya sumber dari APBN (Dana Desa). Selama ini kasus-kasus korupsi baik di pemerintahan desa maupun Pemkab dibongkar oleh publik. Jadi, sungguh naïf, dan bahkan sungguh menjadi absurd, bukan?
Jika seperti itu, bukan pakta integritas namanya. Kamus apa yang dibaca Bupati Nina sebagai rujukan atas makna pakta integritas tersebut? Hal 8 item dan adanya pemberian sanksi itu semuanya sudah tertuang dalam UU tentang Desa.
Sekali lagi, yang namanya pakta integritas itu merupakan kesadaran nilai-nilai moralitas yang diimplementasikan dalam prilaku kepemimpinan yang merupakan kesadaran penuh atas rasa tanggung jawab mengemban amanat negara yang diembannya, sehingga jika dikemudian hari gagal, dengan rasa tanggung jawab dan moralitas, dirinya harus mengundurkan diri atau berpamitan kepada masyarakat yang dipimpinnya karena merasa telah gagal untuk menunaikan janji-janjinya pada saat masa kampanye, termasuk menjalankan amanat undang-undang. Kemundurannya dari jabatan Kuwu bukan karena tekanan politis semata ataupun adanya masyarakat yang menuntut mundur, misalnya, aspirasi tersebut disampaikan melalui demo untuk menyatakan pendapat di muka umum ataupun adanya kegaduhan masyarakat atas kegagalan kepemimpinannya.
Pakta integritas Kuwu bukan dibuat untuk Bupati Nina, melainkan dibuat oleh Kuwu untuk janji kepada masyarakatnya jika dikemudian hari gagal, dirinya dengan legowo mundur dari jabatannya. Itu yang harus dipahami Bupati Nina jika mau menjadi pemimpin yang bermartabat, bukan menjadi penguasa yang berkuasa. Karena, pakta integritas yang dibuatnya sangat gamblang mencerminkan potret relasi kuasa atas kekuasaannya. Ini tata kelola pemerintahan, ini negara dalam tata kelola ke-tata-negara-an. Bukan apa urusannya dengan publik.
Fakta Integritas Bupati
Pertanyaannya, apakah Bupati Nina juga telah membuat dan atau menandatangani pakta integritas dirinya menjadi Bupati dan atau pejabat publik? Jika Bupati belum dan atau tidak membuat pakta integritas, apa alasannya, padahal para Kuwu harus membuat dan menandatangani pakta integritas yang drafnya dibuat oleh Pendopo atau bisa kita katakan dibuatkan oleh Bupati.
Masyarakat (publik) perlu tahu bahkan harus tahu, dan harus dipublikasikan jika Bupati Nina telah membuat dan menandatangani pakta intergritas dirinya. Pakta integritas tersebut buat siapa dibuat dan atau ditandatanganinya itu? Apa saja poin-poin yang termuat dalam pakta integritasnya. Apa konsekuensi dan resiko dari pakta integritas tersebut? Siapa yang akan menilai dan siapa yang berhak menilai pakta integritas Bupati Nina tersebut? Itu soalnya.
Jika benar bahwa Bupati Nina telah membuat pakta integritas, apalagi itu untuk kepentingan parpol pengusungnya, bisa jadi tafsirnya akan lain dengan publik. Parpol pengusung akan bertumpuh pada sudut pandang politis, dengan argumentasi kata-kata yang bersayap dan membias. Hal itu bisa dipastikan akan menyingkirkan metodologi akademik, logika dan kerawasan akal waras.
Bupati sangat tidak mungkin untuk mengatakan dan atau megakui dirinya telah gagal membuat Indramayu Bermartabat. Pastilah akan berapologi dengan belbagai alibi dan dalil-dalil yang akan didalilkan bahwa Indramayu Bermatbat itu bukanlah omong kosong, bukan hanya sekedar slogan, jargon dan retorika politis, tetapi, pastilah akan mengatakan dengan membusungkan dada, bahwa itu sebuah keniscayaan. Itu pasti.
Parpol juga akan menjadi naïf jika mengatakan bahwa Bupati Nina dalam satu semester perjalanannya adalah gagal, dan program 100 hari kerja dengan 10 program unggulannya pastilah akan dikatakan sukses. Publik yang menilai gagal akan dikatakannya karena ada kebencian terhadap Bupati. Fitnah dan hoax. Hanya bikin gaduh dan provokasi, bahkan menjadi sangat mungkin akan didelikkan sebagai menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan.
Sekalipun fakta dan realitasnya bicara sebaliknya. Pastilah tidak akan terima jika kita dikatakan gagal, karena pontenya kegagalannya lebih dari 80%nan (selengkapnya baca artikel: Bupati Nina dan 100 Hari Kerja. Bupati Nina dan Surat Edaran. Bupati Nina dan Jembatan Merah. Bupati Nina, Tik Tok dan Pemerintahan Fatamorgana).
Argumentasi politik pastilah akan bisa membantah itu semua, karena dalam kamus politik negeri ini, moralitas, logika dan akal waras tak bisa bicara. Argumentasinya pastilah akan menjadi perdebatan yang debatable, dan itu yang dipelihara dalam kamus parpol, supaya tidak berujung.
Kalau publik, tentu sangat jelas argumentasi, karena bersandar pada intelektual akademik untuk mengukur atau menakar apakah gagal itu, dan apa itu kegagalan, atau apakah sudah berjalan sesuai dengan Indramayu Bermartabat dalam pemerintahannya serta merta kepatuhannya terhadap konsitusi dan peraturan perundang-undangan dalam tata kelola pemerintahannya.
Sandaran intelektual akademik itu, seperti, soal metodologi yang dipakai, indikator dan variabel-variabel yang dipakai, data-data yang dipakai sebagai dasar analisis assessment, kebijakan-kebijakan yang selama ini dikeluarkan baik lisan maupun tertulis, seperti, Visi Misi Bupati dengan 99 program kerjanya, RPJMD Bupati Nina, Surat Edaran, Statemen publik yang dilansir berbagai media massa dalam term 100 hari kerja dengan 10 program unggulannya hingga saat ini yang telah lampau satu semester masa jabatannya dengan kebijakan rotasi jabatan dan penempatan jabatan strategis lainnya dan lain-lainnya sebagai data pendukung analisis penilaian keleadershipannya dalam tata kelola pemerintahannya.
Jika benar telah membuat dan atau telah menandatangani pakta integritas tersebut kemudian yang melakukan penilaian atas pakta integritas tersebut adalah Parpol (Partai Politik) pengusung dan parpol koalisi pengusungnya, tentu tidak akan ada gunanya buat masyarakat atau publik.
Mengapa? Karena, publik dan parpol pengusung tentu akan sangat jauh berbeda, bagaikan langit dengan bumi, baik dalam sudut penilaian keberhasilan atau kegagalan terhadap kepemimpinan Bupati Nina dalam tata kelola pemerintahannya.
Bagaimana mungkin parpol pengusung akan menilai kepemimpinan dan atau tata kelola pemerintahan Bupati Nina yang disungnya dinyatakan gagal. Sesuatu yang naïf dan absurd, karena itu akan menjadi martabat parpolnya, sekalipun jelas-jelas oleh publik dinyatakan gagal dalam 100 hari program kerjannya, dimana Bupati Nina sendiri yang melaunchingkan program unggulan dalam 100 hari kerja. Seolah-olah Bupati menantang publik untuk melakukan penilaian dan atau mengevalusi pemerintahannya, apakah berhasil atau gagal total.
Publik tentu mempunyai standar yang jelas, kriteria yang jelas dan argumentasi-argumentasi akademik yang jelas yang bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diuji secara metodologis.
Akan tetapi, tentu oleh parpol pengusungnya akan membantah bahkan akan mendalilkan bahwa dalam 100 hari kerja hingga sudah lewat satu semester pemerintahannya tidak bisa untuk mengukur dan menilai pemerintahan Bupati Nina. Lantas, penilaiannya dalam tempo berapa bulan atau berapa tahun atau sampai akhir masa jabatannyakah?
Jika penilaiannya berdasarkan hasil audit BPK? Karena, Inspektorat tidak akan mampu dan tidak akan berani menilai dan mengevaluasi kinerja Bupati, karena Bupati secara hirarki birokratis adalah Pembina ASN (Aparatur Sipil Negara). Inspektorat akan sangat naïf dan muskil untuk bisa menjadi Umar bin Khottob.
Jika atas dasar hasil audit BPK yang tertuang dalam LHP BPK, apakah jika BPK memberikan opini LHP-nya dengan disclaimer akan dinyatakan bahwa Bupati Nina telah gagal membuat Indramayu Bermartabat? Apakah jika opini BPK menyatakan WDP (Wajar Dengan Pengecualian) akan dikatakan Bupati tidak gagal alias telah sesuai dengan visi missi dan telah berhasil mengemban amanat negara (rakyatnya)? Apakah harus dikatakan berhasil kepemimpinan Bupati Nina dalam tata kelola pemerintahannya, jika BPK menyatakan opininya dengan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)? Itu soal berikutnya.
Perlu distabilo bahwa opini BPK dengan mengatakan WDP, itu sesungguhnya sama dan sebangun dengan disclaimer, karena jika saja BPK bisa melakukan audit tanpa ada pengecualian; sangat signifikan, sangat materiality dan berpengaruh pada kesimpulam hasil auditnya. Lebih-lebih jika dalam kesimpulan auditnya yang dinyatakan dalam opini WDP adalah kesimpulan “ketidakpatuhan” terhadap peraturan perundang-undangan. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut menjadi kesmpulan akhir, bukan pada satu obyek atau beberapa obyek pemeriksaan yang diaudit dengan metodologi sampling 5% dari total SKPD/OPD yang ada. Jadi WDP bukanlah rapor hitam seperti halnya BPK dalam opininya yang menyatakan WTP.
Yang menjadi lucu dan menggelikan atas BPK adalah menyatakan WTP tetapi tetap memberikan kesimpulan atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Jika dikatakan ketidakpatuhan, tentunya, banyak hal yang menabrak peraturan perundang-undangan, dengan kata lain, banyak hal yang melanggar hukum atau tidak sesuai dengan SAP (Standar Akuntansi Pemerintah) dalam tata kelola pemerintahannya; termasuk dalam pertanggungjawaban atas APBD.
Selama ini, opini BPK untuk Pemkab. Indramayu baik menyatakan Dislaimer, WDP maupun WTP selalu menyertakan “kesimpulan akhir” dalam “ketidakpatuhan terhadap peraturan-perundang-undangan”. Jadi apa bedanya opini BPK yang menyatakan Dislaimer dengan WDP, Disclaimer dengan WTP atau WTP dengan WDP? Lucu dan menggelikan, berada dalam dua kaki berpijak dalam tapal batas yang (jauh) berbeda.
Jika penilaian kegagalam kepemimpinan Bupati Nina atas dasar LHP BPK RI, apakah kemudian Bupati mengakui dengan jiwa besar bahwa dirinya telah gagal dan akan mundur jika BPK menyatakan opini LHP-nya dislaimer dan atau WDP? Sungguh namat naïf, dan akan menjadi keniscayaan tidak akan mundur, apalagi cuma opini disclaimer dan atau WDP oleh BPK, dan bahkan jika pun terjadi mosi tidak percaya dan atau demo yang sangat masif menuntut mundur karena dianggap gagal, pastilah tidak akan mau meninggalkan kursi singgasana kekuasaan, karenaq bukan seorang negarawan dan atau bukan seorang profesional yang tahu dan paham akan kemartabatan dan etika filosofis kepemimpinan.
Begitu juga apakah parpol pengusung juga akan menyatakan bahwa Bupati Nina telah gagal melakukan perubahan bagi Indramayu Bermartabat jika opini BPK menyatakan disclaimer atau WDP? Juga menjadi amat sungguh naïf. Itu tidak bakal pernah ada, karena itu karakter politisi dan penguasa, yang tak pernah merasa dan atau mengakui kegagalannya. Sekalipun berulang kali didemo hingga banyak jatuh korban, misalnya. Begitulah realitas empirik sejarah yang meng-ada.
Dengan dibuat dan ditandatanganinya pakta integritas oleh para Kuwu yang dibuat oleh Bupati, itu mencerminkan karakter penguasa bukan pemimpin. Kebijakan Bupati Nina tersebut merupakan lelucon yang sekaligus merupakan kekonyolan dalam bersikap, bertindak dan berpikir.
Jika Bupati Nina mempunyai political will mengapa dan kenapa tidak memilih kebijakan jalan untuk bisa mewaraskan Inspektorat agar bisa menjadi Umar bin Khottob, sehingga penyalahgunaan wewenang, jabatan, anggaran baik di pemerintahan desa maupun dalam tata kelola pemerintahannya bisa tercegah dan bisa dikendalikan, karena dalam Inspektorat itu ada yang namanya APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah) yang sebagai auditor keuangan atau anggaran, dan ada yang namanya P2UPD (Pengawas Penyelenggara Pengawas Urusan Pemerintah Daerah) sebagai auditor regulasi atau bidang regulasi.
Peran dan fungsinya sangat strategis dan signifikan untuk keberhasilan dalam pemerintahannya. Yang selama ini telah menjadi jeruk makan jeruk dan pagar makan tanaman, yang tidak melulu bobrok dalam mentalitas, tetapi juga kapabilitas keauditorannya jauh di bawah standar kualitas sang auditor. Kita tunggu fakta dan realitasnya jika punya political will untuk Indramayu Bermartabat. Untuk bisa membantah bahwa itu: Bukan omong kosong. Bukan slogan. Bukan jargon dan bukan pula retorika politis. Karena itu, kita harus tetap bertanya dan mempertanyakannya hingga anak panah itu melesat jauh dari busurnya, jika kita mau peduli. Paling tidak, kita masih ingin waras dalam kewarasan logika dan akal waras.
Untuk itu, jika Bupati Nina punya political will, bukan Pakta Integritas Kuwu dengan Bupati yang dibuat, dan bukan pula Pakta Integritas Bupati dengan parpol pengusung yang dibuat, jika itu dibuat. Yang bisa memartabatkan Bupati dan menyelamatkan kemartabatan Indramayu di tangan kepemimpinannya dalam tata kelola pemerintahan; untuk menjadi good governance dan client government adalah waraskan saja Inspektorat dari kebobrokan mentalitasnya supaya jangan menjadi pagar makan tanaman dan atau jeruk makan jeruk, dan waraskan pula Bappeda supaya tidak terombang-ambing menjadi anak yang hilang, sehingga tahu dan paham Indramayu mau dibawa ke arah mana, tidak bagaikan melihat dan atau membaca peta buta; hendak dipetakan ke arah mata angin mana kemartabatan Indramayu. Semoga bukan hanya slogan, jargon dan retorika politik, di mana kata-kata kini sudah terbelenggu dan terjajah dari makna dan pengertiannya. Kita tunggu. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com