Tut wuri handayani, merupakan salah satu semboyan yang memiliki makna penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tut wuri handayani adalah bentuk pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang memiliki arti mendorong atau membimbing dari belakang.
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam buku Sejarah oleh Dr. Nana Nurliana Soeyono, MA dan Dra. Sudarini Suhartono, MA, terdapat tiga hal yang menjadi kewajiban seorang guru dalam mendidik murid-muridnya. Ketiganya yakni ing ngarso sung tulodo (memberi contoh), ing madyo mbangun karso (membangkitkan minat dan semangat, tut wiri handayani (mendorong dari belakang agar murid mampu berusaha dengan kekuatan sendiri).
Konsep pemikiran ini terbentuk saat Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Dalam buku Pahlawan-Pahlawan Belia oleh Saya S. Shiraishi, tut wuri handayani merupakan prinsip metode pendidikan yang berlaku sebagai alternatif kelas yang terlalu diatur. Artinya, membimbing dari belakang berarti sebuah usaha membiarkan anak-anak bebas dan mempunyai inisiatif di dalam kelas.
Kemudian, dalam buku Dasar-Dasar Pendidikan oleh Haudi S.Pd. M.M dkk, tut wuri handayani merupakan gagasan pemikiran Ki Hajdjar Dewantara yang mengandung arti pendidik dengan kewibawaan. Mereka membimbing dan memperhatikan dari belakang serta memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan atau memaksakan keinginan sang anak, membiarkan anak mencari jalan sendiri dan jika anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya.
Logo Tut Wuri Handayani
Mengutip buku pengumuman Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978), lambang tut wuri handayani tercipta dengan menggunakan metode sayembara yang dilaksanakan pada 14 Februari 1977. Logo tut wuri handayani akhirnya ditetapkan pada 6 september 1977 melalui SK menteri Nomor 0398/M/1977.
Berikut makna dari unsur-unsur dalam logo tut wuri handayani:
Bidang Segi Lima: Menggambarkan alam kehidupan Pancasila
Semboyan Tut Wuri Handayani: Merupakan landasan pemikiran yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam melaksanakan sistem pendidikan. Sekaligus, menjadi bentuk penghormatan kepada almarhum Ki Hadjar Dewantara kemudian dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Belencong Menyala Bermotif Garuda: merupakan lampu yang biasa digunakan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit, sehingga pertunjukan menjadi hidup.
Burung Garuda: bentuk sifat dinamis, gagah perkasa, mampu dan berani mandiri mengarungi angkasa luas. Untuk ekor dan sayap garuda yang digambarkan masing-masing lima memiliki arti, ‘satu kata dengan perbuatan pancasilais’.
Buku: sumber bagi segala ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Warna putih pada ekor dan sayap garuda dan buku: memiliki arti suci, bersih, dan tanpa pamrih.
Warna kuning emas pada nyala api: keagungan dan keluhuran pengabdian
Warna biru muda pada bagian bidang segi lima: pengabdian yang tak kunjung putus dengan memiliki pandangan hidup yang mendalam (pandangan hidup Pancasila). ***