Jumat, November 15, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ketoprak Istana, Lelucon dan Kekonyolan Pasca G30S-KPK

Rencana perekrutan 56 pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang tidak lulus TWK (Test Wawasan Kebangsaan) menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) di Polri adalah guna memperkuat bidang tindak pidana korupsi (tipikor). Rekam jejak dan pengalaman sangat bermanfaat untuk memperkuat jajaran organisasi Polri yang sedang kita kembangkan. Ke-56 pegawai KPK tersebut dibutuhkan sebagai upaya pencegahan tipikor dalam mengawal program penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dan kebijakan strategis lainnya.

Tanggal 27 September 2021 kami dapat surat jawaban dari pak Presiden melalui Mensesneg secara tertulis prinsipnya beliau setuju 56 orang pegawai KPK untuk menjadi ASN Polri. Begitulah penjelasan dan argumentasi Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo yang dalam pernyataan publiknya yang memenuhi pemberitaan nasional baik media cetak maupun online dan berbagai media massa lainnya.

 

Ketoprak Istana

Surat Keputusan Pemberhentian (baca: penyingkiran) atas 56 pegawai KPK yang kemudian menyusul menjadi 58 pegawai telah dikeluarkan dan atau telah ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang berlaku definitif sejak tanggal 30 September 2021, dan SK penyingkiran atas 58 pegawai KPK tersebut telah diterima oleh para pihak yang bersangkutan sebelum 30 September 2021.

Oleh karena itu, sejak 30 September 2021 atas 58 orang itu secara yuridis, baik de jure maupun de facto, statusnya bukan lagi sebagai pegawai KPK dan atau ASN (belum di-ASN-kan), melainkan sudah menjadi warga negara biasa yang bukan lagi sebagai aparatus negara baik sebagai tenaga honorer, magang maupun PTT (Pegawai Tidak Tetap) atau sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) statusnya di KPK. Itu soal utamanya secara yuridis.

Oleh karena itu, jika argumentasinya didasarkan pada Pasal 3 ayat (1) PP No. 17 Tahun 2020: Presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS. Presiden dapat mendelegasikan hal itu kepada Polri (atau institusi lainnya) sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2014. Lantas Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa dasar  persetujuan Presiden Jokowi adalah PP tentang Perubahan atas PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan ASN.

Argumentasi tersebut bagaikan sumur tanpa dasar, itu merupakan ketoprak Istana sebagai lelucon dan kekonyolan dalam hal kebijakan. Ke-58 orang tersebut statusnya sudah bukan lagi pegawai KPK dan sudah dikeluarkan dari gedung KPK. Sudah menjadi masyarakat sipil ansich.

Regulasi yang dikatakan memang benar seperti itu, tetapi pertanyaannya adalah apakah ke-58 orang tersebut statusnya masih pegawai KPK sejak 30 September 2021 itu? Bagimana mungkin kita masih bisa mengatakan bahwa ke-58 orang tersebut masih bisa ditempatkan dan atau dimutasikan ke institusi Polri dan atau intitusi lainnya sebagai dasar pendelegasian kewenangan dan atau kewenangan, karena statusnya sudah bukan lagi pegawai KPK. Konon, negara kita ini bukan negara fasis atau komunis, di mana kekuasaan absolut di tangan seorang pemimpinnya, bisa mengabaikan semua regulasi yang dibuatnya. Bahkan sistem ketatanegaraan pun kapan saja bisa disampahkan, jika Presidennya mengehandaki.

Jika dilogikan dengan akal diwaras-waraskan dengan mendalilkan PP tentang Perubahan atas PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan ASN adalah juga benar-benar sebagai lelucon dan kekonyolan yang dipertontonkan dalam panggung ketoprak Istana dengan menyebutnya sebagai kebijakan, di mana penontonnya yang menonton harus tidak mempunyai logika dan akal waras. Karena tidak bisa di-akal-waras-kan yang dipertontonkan dalam panggung ketoprak Istana tersebut.

Pertanyaannya yang harus dijawab dengan logika dan akal waras adalah bagaimana mungkin mengangkat ASN tanpa melalui test sebagaimana keharusan rekruitmen dalam formasi lowongan CPNS, kebutuhan akan ASN yang mengacu pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa untuk menjadi ASN harus melalui proses dan atau menempuh prosedural, yaitu, pengadaan PNS di intansi pemerintah dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3).

Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS {Pasal 58 ayat (2) dan (3)}. Ke-58 orang tersebut tidak melamar di instansi Polri, tidak mengikuti seleksi, apakah pasal tersebut akan ditabrak saja, dan naifnya penabrakan UU tersebut justru dilakukan oleh sebuah institusi penegakkan hukum yang disetujui Istana. Bukankah itu sebuah ketoprak lelucon yang amat sangat konyol dalam kekonyolan?

Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS oleh instansi pemerintah melalui penilaian secara obyektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan. Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang {Pasal 62 ayat (1) dan (2)}.

Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 diangkat menjadi CPNS. Pengangkatan CPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. CPNS wajib menjalani masa percobaan {Pasal 63 ayat (1), (2) dan (3)}. Bagaimana mungkin ke-58 orang tersebut bisa menjadi CPNS tanpa mengikuti sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 2 dan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Dalam rekruitmen kebutuhan akan ASN juga ada persyaratan batasan usia maksimum bagi warga negara yang ingin melamar CPNS. Usia maksimum 30 tahun (untuk lulsan SLTA) hingga 35 tahun (untuk lulusan S1 atau Sarjana). Berdasarkan Kementerian PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), calon pendaftar CPNS untuk formasi umum usia dibatasi 18-35 tahun. Untuk tenaga dokter dan dokter gigi, dokter pendidik klinis, dosen, peneliti, dan perekayasa adalah paling tinggi 40 tahun.

Ke-58 orang yang telah disingkirkan KPK bukan pada kualifikasi untuk kebutuhan CPNS sebagai tenaga dokter dan dokter gigi, dokter pendidik klinis, dosen, peneliti, dan perekayasa, dan bahkan usianya pun rata-rata sudah melampau 40 tahun seperti Novel Baswedan, Sigit Sujanarko, Giri Suprapdiono, A Damanik, Hotman Tambunan, Harun Al Rasyid, Iguh Sipurba, Harry Muryanto dkk.

Pertanyaannya adalah kok Istana buat aturan dan atau keputusan melalui Kementerian PANRB kemudian dilanggar sendiri, patutkah, dan beradabkah jika seperti itu? Ini negara ataukah panggung ketoprak, di mana para badut lagi menertawakan dirinya sendiri. Bikin dagelan yang dagel, dan menjadi kekonyolannya yang sangat konyol.

Jika kemudian dikatakan bahwa kebijakan tersebut tidak bertentangan dan atau tidak melanggar UU, ya itu namanya ketoprak kebijakan dan atau dengan perkataan lain, kekuasaan yang otoritarianisme, kekuasaan yang fasis, yaitu UU itu boleh dijalankan dan boleh juga tidak dijalankan dan atau dilanggar, karena otoritas kekuasaan yang menjadi absolut apa maunya kehendak penguasa, dan jika itu logika yang dibangun, berarti negara sedang menuju otoritarianisme, yang akan mejadi tiran dan atau sama halnya seperti kekuasaan di negeri-negeri sosialis (komunis) atau fasis.

 

Kekonyolan Kekuasaan

Ketoprak Istana dengan perpanjangan tangannya isntitusi Polri yang ditawarkan tersebut, jika ke-58 orang tersebut menjadi gayung bersambut, itu namanya Kketoprak-(ke)troprak(an). Jika ke-58 orang tersebut kemudian mau menerima ketoprak Istana tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin itu bisa diterima logika dan akal warasnya, sekalipun jika kehidupannya setelah peristiwa G30S KPK menjadi tidak normal bahkan menjadi morat marit dan atau dalam kenestapaan, karena mereka sudah menjadi pilihan menjadi syahid (martir) kebenaran, martir idealism dan martir-martir lainnya yang terbunuh atas keadilan dan kebenarannya.

Jika kemudian ke-58 orang pegawai KPK yang disingkirkan tersebut menolak, tentu penolakan atas tawaran ketoprak Istana tersebut merupakan nilai kemartabatan yang tiada ternilai, yang tidak bisa dikonversikan dengan pandangan formalistik semata apalagi terkubur dalam pandangan meterialistik. Moralitas itu harus tetap terjaga ajeg dan terpelihara atas sikap dan keteguhannya yang harus dibayar mahal demi kemartabatan manusia itu sendiri, keniscayaan keadilan dan kebenaran.

Sesungguhnya, jika Istana mempunyai political will untuk menjaga martabatnya sendiri, bukan lakon ketoprak yang dimainkan, apalagi Kapolri kemudian mencoba menawarkan dan atau mengundang ke-58 orang dan atau perwakilannya dari yang disingkirkan tersebut setelah tanggal 30 September 2021 itu yang menjadi kenaifan logika dan akal waras.

Padahal, Istana bisa memainkan ritme dengan permainan teater dengan perannya masing-masing sebagai tokoh antagonis dan protagonist dalam lakon KPK, sehingga konflik yang di-teater-kan tersebut menjadi menarik sekaligus bermutu, geram, menjengkelkan, tetapi ending-nya terbangunnya kemartabatan bernegara, tidak seperti yang terjadi, memainkan ketoprak yang penuh dengan kekonyolan, untuk tidak sampai dikatakan memainkan lakon yang penuh dengan kedunguan logika dan akal waras dalan kehidupan negara dan berbangsa dalam Pancasila dan, demokrasi yang menjunjung tinggi keluhuran dan eadaban peradaban.

Teater konflik tersebut bisa debuat sedemikian rupa, sehingga terlihat oleh penonton dari depan stage yang didukung dengan artistik yang kuat yang menggambarkan atau mengeksploitasi ketegangan, kegamangan dan atau kesunyian atas peristiwa G30S KPK, sehingga semua pegawai KPK sebanyak 1.351orang, termasuk yang 58 orang yang mengikuti TWK (harus kita pahami sebagai Test Wawasan Kekuasaan, bukan kebangsaan jika kita bedah dari banyak pertanyaan yang diujikan) yang mengatasnamakan dan atau atas meng-alibi-kan sebagai procedural alih status pegawai KPK ke status ASN, seharusnya tidak ada yang dinyatakan tidak lulus TWK, dan berarti pimpinan KPK tidak menerbitkan SK pemberhentian dengan (tidak) hormat terhadap ke-58 orang tersebut.

Setelah semua statusnya ASN, lakon teater dimulai lagi dengan memutasi ke-58 orang tersebut ke institusi Kepolisian, karena dalam UU tentang ASN, ASN harus bersedia ditempatkan di mana saja dan kapan saja sesuai kebutuhan yang ada. Apalagi institusi Kepolisian adalah juga rumpun eksekutif.

Sknario tetrikal sebenarnya bisa dimainkan terbalik, yaitu ke-58 orang yang disingkirkan tersebut diperankan sebagai tokoh antagonis. KPK (Komisionernya) dan Istana memerankan tokoh protagonis, biar publik di level akar rumput teraduk-aduk emosionalnya. Lantas saling bertengkar, serang menyerang (di medsos) dan lainnya. Teatrikal yang elok dan cantik, bukan ketoprakkan yang dipertontonkan.

Jadi ending dari permainan teater antara tokoh antagonis dan porotagonis menjadi happy ending di atas stage dalam lakon dramatisasi politik KPK dan Istana dilihat dari mata penonton yang menyaksikan dari depan stage tentunya. Itulah yang disebut dengan sang sutradara piawai dengan penulis scenario lakon yang apik dan para pemain yang karakteristik.

Pertanyaannya, apakah konflik tokoh-tokoh antagonis dengan protagonis tersebut sudah berakhir dengan diturunkannya layar panggung teater tersebut? Belum tentu. Tokoh-tokoh protagonisnya cukup banyak, karena ada 58 orang dengan berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda, dengan latar belakang masa kanak-kanak dan remaja yang berbeda-beda dan dibesarkan dalam lingkungan pergaulan yang berbeda pula, meski ke-58 orang tersebut mempunyai titik pandang dan idealism yang serupa, bertemu dalam bejana yang sama, sehingga tetap menyatu untuk melawan tokoh antagonis yang semena-mena menerbitkan SK No. 652 Tahun 2021 yang berisi pemberhentian ke-58 pegawai KPK dengan alasan tidak lulus TWK dalam alih status ke ASN.

Ke-58 orang tersebut juga belum tentu mau dimutasikan ke institusi Kepolisian, karena itu menyangkut idealism dan kenyamanan sikap dan pandangan dalam memahami dan memaknai apa itu pemberantasan korupsi, apa itu korupsi dan bagaimana itu korupsi bisa terjadi. Terlebih, misalnya, seperti Novel Baswedan, Harun Al Rosyid, Ambarita Damanik, Afief Yulian Miftach, Andre Dedy Nainggolan, Budi Agung Nugroho, Sugeng Basuki, yang semula dari institusi Kepolisian kemudian beralih dan memilih KPK dengan segala konsekuensinya, meninggalkan status karier kepangkatan dan jabatan dalam kepolisian. Begitu juga yang bukan berasal dari institusi kepolisian, mereka telah meninggalkan karier dalam pekerjaannya.

Perlawanan tokoh protagonis dalam teater politik Istana terus dilakukan, tidak tergiur dengan ketoprak kebijakan yang ditawarkannya. Kapolri sudah mencoba melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh protagonis tersebut pada 4/10/2021 di ruang Biro SDM dengan Sembilan eks pegawai KPK sebagai perwakilan dari 58 orang tersebut. Sekali lagi, 4 Oktober 2021 berarti ketoprak kebijakan yang ditawarkan tersebut setelah terbitnya SK Pemberhentian dari pimpinan KPK terhadap 58 orang tersebut.

Sesungguhnya, jika kita mau jujur, patuh dan taat terhadap peraturan perundang-undangan, terutama tentang UU ASN dan turunannya, pegawai KPK yang berjumlah 1.351 orang tersebut yang mengikuti TWK sebagai persyaratan alih status ke ASN, yang berarti rekruitmen ASN untuk kebutuhan KPK juga harus dikatakan cacat procedural dan atau cacat UU, karena yang 1.351 orang tersebut, rata-rata usianya sudah lampau dari persyaratan usia maksimum untuk menjadi CPNS, yaitu 18-35 tahun menurut Kementerian PANRB, dan untuk usia maksimum 40 tahun bukan untuk kebutuhan akan pegawai KPK.

Pertanyaan terakhirnya adalah bagaimana itu bisa dikatakan oleh KPK dan Istana telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, apalagi oleh Ombudsman ditemukan adanya pelanggaran maladministrasi, dan Komnas HAM dengan temuan adanya 11 pelanggaran yang menyangkut HAM, dan bagaimana pula bisa dikatakan bahwa ke-58 orang yang telah menjadi masyarakat biasa, statusnya bukan lagi pegawai KPK dan atau ASN kemudian ditarik institusi Polri di-ASN-kan? Bukankah itu sebuah ketoprak semata.

Jika itu hanya untuk memutihkan Istana, bukankah itu artinya kita mencoba mengahpus nohtah hitam sejarah, dikarenakan takut atas sebab setitik nila, rusak susu sebelanga, padahal nilanya sudah cukup banyak ditumpahkan dalam belanga, yang kemudian telah melahirkan Si Malin Kundang Si Malin Kundang sejarah dalam kekuasaan untuk tidak sampai dikatakan sebagai Sangkuni sejarah. Semoga, dan atau seharusnya ke-58 orang tersebut tetap menolak ketoprak Istana tersebut atas kemartabatan manusia, negara dan bangsa dalam sejarah yang mensejarah, agar waktu bisa bicara dikemudian hari atas nohtah hitam sejarah itu sendiri. ***

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles