Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Meninggalnya Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien adalah salah satu pahlawan nasional wanita Indonesia asal Aceh yang sangat berpengaruh. Ia berasal dari keluarga bangsawan agamis di Aceh Besar. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, yang juga berasal dari keluarga bangsawan.

Semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Maret 1873, Cut Nyak Dien sangat bersemangat untuk melawan pasukan Belanda. Terlebih ketika suaminya gugur dalam peperangan melawan Belanda, semakin menyulut kemarahan dan kebencian pejuang wanita ini terhadap bangsa Belanda.

Ia kemudian menikah lagi dengan Teuku Umar di tahun 1880. Bersama dengan Teuku Umar dan para pejuang Aceh lainnya, Cut Nyak Dien semakin gencar melakukan serangan terhadap Belanda.

Sepeninggal suaminya yang kembali gugur dalam pertempuran, Cut Nyak Dien terus melanjutkan perlawanan kepada Belanda. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dibuang ke Sumedang dan menghembuskan napas terakhirnya di sana tanggal 6 November 1908.

 

Profil Singkat

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Tanggal pasti dari kelahirannya masih belum diketahui. Beliau berasal dari keluarga bangsawan yang sangat taat dalam beragama.

Ayah Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Setia, yang merupakan seorang uleebalang VI Mukim, tempat tinggal Cut Nyak Dien, dan merupakan keturunan Machmoed Sati, seorang perantau dari Sumatera Barat. Sedangkan ibu dari Cut Nyak Dien merupakan seorang putri uleebalang Lampagar.

Semasa kecilnya, Cut Nyak Dien dikenal sebagai seorang gadis yang cantik. Apalagi dengan pendidikan di bidang agama dan rumah tangga yang diperolehnya, membuat banyak laki-laki menaruh hati padanya.

Pada tahun 1863, ketika Cut Nyak Dien berusia 12 tahun, dirinya dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, seorang pria yang merupakan putra tunggal dari uleebalang Lamnga XIII.

 

Perang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Dengan armada kapal Citadel van Antwerpen, Belanda mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan.

Kemudian pada tanggal 8 April 1873, Belanda di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler berhasil mendarat di Pantai Ceureumen dan langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman kemudian membakarnya.

Perlakuan Belanda tersebut memicu perang Aceh. Pasukan Aceh saat itu dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah. Meski Belanda terjun dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Kesultanan Aceh bisa memenangkan perang pertama dengan tertembaknya Köhler.

Kemudian pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, wilayah VI Mukim berhasil diduduki Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui kekuatan Belanda.

Kondisi ini memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama rombongan lain. Namun suami Cut Nyak Dien tetap bertekad dan ingin merebut kembali daerah VI Mukim. Sayangnya, Ibrahim Lamnga bertempur harus tewas dalam peperangan pada tanggal 29 Juni 1878. Peristiwa ini membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda.

 

Bertemu Teuku Umar

Setelah kematian suaminya, Teuku Umar datang melamar Cut Nyak Dien. Namun, Teuku Umar yang merupakan tokoh pejuang Aceh, awalnya ditolak oleh Cut Nyak Dien. Tapi, karena Teuku Umar memperbolehkan Cut Nyak Dien untuk ikut bertempur, Cut Nyak Dien akhirnya menerima pinangan Teuku Umar dan mereka menikah pada tahun 1880.

Bergabungnya kedua insan ini menciptakan lonjakan moral dan semangat para pejuang Aceh yang semakin berkobar. Perlawanan terhadap penjajah Belanda berlanjut, dan lalu tercetuslah perang fi’sabilillah.

Ada yang unik dari strategi berperang dari Teuku Umar. Dirinya mencoba untuk mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda. Strategi ini berlanjut dengan penyerahan diri Teuku Umar beserta pasukannya yang berjumlah 250 orang.

Strategi ini akhirnya berhasil mengelabui Belanda hingga mereka memberi Teuku Umar gelar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan Teuku Umar sebagai komandan unit pasukan Belanda yang memiliki kekuasaan penuh.

Di saat kekuasaan dan pengaruhnya cukup besar, Teuku Umar memanfaatkan momen tersebut untuk mengumpulkan orang Aceh di pasukannya. Ketika jumlah orang Aceh di bawah komando Teuku Umar sudah cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu di mana dirinya ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pun pergi dengan seluruh pasukan yang sudah dilengkapi dengan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda. Dan mereka pun tidak pernah kembali ke markas Belanda. Strategi penghianatan tersebut disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Strategi dari Teuku Umar yang mengkhianati Belanda tentu membuat pihak Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Tapi para gerilyawan Aceh saat ini sudah dilengkapi perlengkapan dari Belanda.

 

Akhir Hidup

Belanda akhirnya berhasil menyingkirkan Teuku Umar. Namun, kematian sang suami tak membuat Cut Nyak Dien gentar. Dirinya tetap memimpin perlawanan terhadap Belanda di daerah pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Pasukan Cut Nyak Dien terus bertempur hingga kalah pada tahun 1901, karena tentara Belanda sudah sangat terbiasa untuk berperang di daerah Aceh.

Di sisi lain, Cut Nyak Dien sudah semakin tua dan kondisi matanya mulai rabun. Dirinya juga menderita encok dan jumlah pasukannya terus berkurang. Bahkan beliau dan pasukannya kesulitan untuk memperoleh makanan.

Akhirnya Cut Nyak Dien pun tertangkap dan kemudian dirawat di Banda Aceh. Penyakit rabun dan encoknya berangsur sembuh. Tapi sayangnya, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien menghembuskan napas terakhirnya karena faktor usia. Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959, itupun karena permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan. Cut Nyak Dien diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno melalui SK Presiden RI Nomor 106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles