Kondisi keuangan maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang tidak baik. Berbagai isu miring pun muncul, dari terancam pailit hingga akan digantikan oleh Pelita Air.
Sebagai perusahaan penerbangan, Garuda Indonesia sendiri punya sejarah panjang. Keberadaannya di Tanah Air bisa dibilang tak lama usai republik ini berdiri.
Bicara mengenai Garuda kurang lengkap rasanya jika tak bicara mengenai sejarah penerbangan komersial di Indonesia. Cikal bakal penerbangan komersial ini diawali dengan pembelian pesawat untuk perjuangan kemerdekaan.
Seperti dikutip dari laman TNI Angkatan Udara, dijelaskan pesawat Dakota yang diberi nomor register R1-001 dibeli dari hasil pengumpulan dana atas gagasan KSAU Komodor Udara S Suryadarma. Pengumpulan dana tersebut diserahkan kepada Biro Rencana dan Propaganda pimpinan Opsir Muda Udara II Wiweko Soepono yang dibantu oleh Opsir Muda Udara III Nurtanio Pringgodisuryo.
Dalam pelaksanaannya, Kepala Biro Penerangan Opsir Muda Udara IRJ Salatun ditugaskan untuk mengikuti perjalanan Presiden Soekarno keliling Sumatera. Sebagai sarana, digunakan beberapa buah model (miniatur) Dakota yang dibuat oleh bengkel rencana dan konstruksi.
Sumatera dijadikan sasaran propaganda dana Dakota. Salah satu alasannya ialah wilayah yang strategis yang memungkinkan diadakannya hubungan dagang dengan luar negeri. Beberapa daerah yang dituju antara lain Lampung, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Bukittinggi, Tapanuli dan Aceh.
Presiden Soekarno juga berpidato dalam pengumpulan dana ini untuk pertama kalinya pada 16 Juni 1948 di Hotel Aceh Kutaraja. Pidatonya menggugah semangat rakyat Sumatera, khususnya Aceh. Dalam waktu dua hari, masyarakat Aceh berhasil mengumpulkan uang 130.000 straits dolar.
Dana tersebut digunakan untuk pesawat dan tiba di Indonesia pada Oktober 1948. Sebulan kedatangannya, pesawat ini mengantarkan Wakil Presiden melakukan kunjungan ke Sumatera melalui Maguwo-Jambi-Payakumbuh -Kutarajasa pulang pergi.
Setelah melakukan beberapa penerbangan, pesawat harus menjalani perawatan berkala dan pemasangan tangki jarak jauh. Pada 6 Desember, pesawat menuju Kalkuta, India.
Dakota R1-001 dinyatakan layak operasional sejak 20 Januari 1949. Namun, tidak memungkinkan kembali ke Indonesia karena meletusnya perang menghadapi Agresi Belanda II. Karena terputusnya komunikasi dengan sejumlah pimpinan di Indonesia, perjuangan diputuskan dengan cara lain. Kemudian, disepakati pesawat tersebut dioperasikan di luar negeri melalui penerbangan komersial.
Awalnya, penerbangan komersial direncanakan di India. Namun, India sudah punya maskapai sehingga perhatian dialihkan di Burma (kini Myanmar).
“Untuk bisa beroperasi di Burma, RI-001 harus dalam bentuk perusahaan airlines. Maka atas prakarsa Opsir Udara II Wiweko Supeno dan bantuan Bapak Marjuni (perwakilan RI di Birma) tanggal 26 Januari 1949 didirikanlah sebuah perusahaan penerbangan niaga (airlines) dengan nama Indonesian Airways yang berpangkalan di Rangoon (Burma),” jelas laporan tersebut.
Indonesian Airways berdiri dengan modal satu pesawat R1-001 Seulawah. Tanggal 26 Januari 1949, Indonesian Airways sudah berada di Bandara Mingaladon, Myanmar. Pada hari itu juga, R1-001 melaksanakan penerbangan pertamanya sebagai pesawat komersial.
Berbeda dengan pesawat lain, R1-001 Seulawah tidak mengangkut perorangan. Namun, pesawat ini dicharter oleh pemerintah Myanmar sebagai pesawat dalam operasi militer.
Pesawat RI-001 ini merupakan pelopor penerbangan sipil nasional karena dengan pesawat inilah didirikan Indonesian Airways yang beroperasi di Myanmar. Dana yang diperoleh oleh operasi penerbangan ini digunakan untuk membiayai kadet-kadet udara yang belajar di India dan Filipina. Selain membiayai para kadet yang menjalani pendidikan, operasi RI-001 dapat membeli beberapa pesawat Dakota lainnya yang diberi nomor registrasi RI-007 dan mencharter pesawat RI-009.
Singkat cerita, setelah pengakuan kedaulatan Belanda dan pemulihan kekuasaan pemerintah RI, terjadi perubahan di lingkungan TRI AO (Tentara Republik Indonesia Angkatan Oedara). Perubahan ini juga menyangkut keberadaan Indonesian Airways di Myanmar.
“Atas keputusan Kepala Staf AURIS Indonesian Airways dilikuidasi dan semua kegiatan di wilayah Burma dihentikan,” terang laporan tersebut.
Dalam website Garuda Indonesia dijelaskan, penerbangan sipil Indonesia tercipta pertama kali atas inisatif Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan menyewakan pesawat yang dinamai Indonesian Airways kepada pemerintah Myanmar pada 26 Januari 1949.
Peran Indonesian Airways pun berakhir setelah disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Seluruh awak dan pesawatnya pun baru bisa kembali ke Indonesia pada 1950. Setibanya di Indonesia, semua pesawat dan fungsinya dikembalikan.
Dengan ditekennya perjanjian KMB pada 1949, maka Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan pemerintah Hindia Belanda ke pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Termasuk, maskapai KLM IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij Inter Insulair Bedrijf). KLM-IIB merupakan anak perusahaan KLM setelah mengambilalih maskapai swasta KNILM (Koninklijke Nederlandshindische Luchtvaart Maatschappij) yang sudah ada sejak 1928 di area Hindia Belanda.
Pada 21 Desember 1949 dilaksanakan perundingan lanjutan dari hasil KMB antara pemerintah Indonesia dengan maskapai KLM mengenai berdirinya sebuah maskapai nasional. Presiden Soekarno memilih dan memutuskan Garuda Indonesian Airways (GIA) sebagai nama maskapai ini.
Dalam mempersiapkan kemampuan staf udara Indonesia, maka KLM bersedia menempatkan sementara stafnya untuk tetap bertugas sekaligus melatih para staf udara Indonesia. Pada masa peralihan ini Direktur Utama pertama GIA merupakan orang Belanda, Dr E Konijneburg. Armada pertama GIA pertama pun merupakan peninggalan KLM IIB.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (RI) oleh Belanda yaitu tanggal 28 Desember 1949, dua buah pesawat Dakota (DC-3) berangkat dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta menuju Yogyakarta untuk menjemput Soekarno dibawa kembali ke Jakarta yang sekaligus menandai perpindahan kembali Ibukota RI ke Jakarta. Sejak saat itu, GIA terus berkembang hingga sekarang dikenal sebagai Garuda Indonesia.
Setahun kemudian, di tahun 1950, Garuda Indonesia menjadi perusahaan negara. Pada periode tersebut, Garuda Indonesia mengoperasikan armada dengan jumlah pesawat sebanyak 38 buah yang terdiri dari 22 DC-3, 8 Catalina kapal terbang, dan 8 Convair 240. Armada Garuda Indonesia terus bertambah dan akhirnya berhasil melaksanakan penerbangan pertama kali ke Mekah membawa jemaah haji dari Indonesia pada tahun 1956. Tahun 1965, penerbangan pertama kali ke negara-negara di Eropa dilakukan dengan Amsterdam sebagai tujuan terakhir. ***