Subang, Demokratis
Harapan pemerintah pusat untuk memacu kesejahteraan rakyat di antaranya lewat agenda Nawa Cita dengan membangun negeri ini dari pinggiran, memperkuat daerah-daerah dan desa, sepertinya kurang direspon sepenuhnya oleh sejumlah desa-desa di wilayah Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Padahal terkait itu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam suatu postingan bertage line mewanti-wanti agar Dana Desa tidak disalahgunakan. “Saya titip anggaran itu bukan untuk kepala desa,tapi untuk rakyat di desa,” tandasnya.
Sementara dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke desa secara tunai melalui dana transper seperti Dana Desa/DD (APBN), Bantuan Keuangan Propinsi (APBD-I), Alokasi Dana Desa/ADD, Bantuan Keuangan Desa/Kelurahan (BKUD/K), Bantuan Desa (APBD-II), dan Bagi Hasil Pajak oleh Kepala Desa terkesan hanya sebatas menggugurkan kewajiban, bahkan lebih memprihatinkan sebagianya dana tersebut diduga dijadikan ajang bancakan. Tak peduli apakah hasil (output) dan manfaatnya (outcome) betul-betul dapat dirasakan masyarakat, yang terpenting dana tersebut bisa diserap, sementara sisanya raib entah hinggap dimana.
Tudingan miring itu seperti temuan yang dirilis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang dan diterima Demokratis belum lama ini.
Kabid Pengaduan Masyarakat GNPK-RI Kabupaten Subang Yudi Prayoga Tisnaya membeberkan adanya indikasi sejumlah desa yang mengangkangi regulasi dan menyelewengkan keuangan desa. Kades selaku Pengguna Anggaran (PA) ditengarai tidak berpedoman Perbup No.18/2015, Jo Psl 27 ayat (2) yang mengatur jumlah uang tunai di brankas (Bendahara Desa) maksimal hanya sebesar Rp 2,5 juta.
Kemudian tidak sedikit Pemerintah Desa yang tidak mengerjakan administrasi desa secara benar terkait Buku Kas Umum (BKU), Buku Kas Pembantu (BKP) dan Buku Bank Desa. Hal ini dianggap mengangkangi Permendagri No. 47 tahun 2016, tentang Administrasi Pemerintahan Desa.
“Padahal buku-buku itu sebagai sarana evaluasi, monitoring dan pengendalian transaksi keuangan desa,” ujar Yudi.
Tak hanya itu, sejumlah kegiatan fisik kedapatan diborongkan kepada pihak ketiga, semestinya dikerjakan oleh Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD) yang personalianya terdiri unsur Lembaga Kemasyarakatan dan tokoh masyarakat, hal ini agar misi program terkait pemberdayaan masyarakat terwujud.
Adapun modus operandi penjarahan dana program itu dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB, mark up upah tenaga kerja (HOK). Selain itu adanya joki pembuatan SPJ dan atau SPJ fiktif, dengan itu pihak-pihak yang terlibat membuat administrasi bodong (aspal-Red) dianggap telah melakukan kebohongan publik, sehingga terancam dipidana.
Terkait temuan dugaan penyimpangan keuangan desa bersumber Bantuan Desa (Bandes) APBD kabupaten (Dana aspirasi/pokir-Red), modusnya terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kelompok abal-abal penerima bantuan. Disebut abal-abal lantaran kelompok itu dibentuk secara tiba-tiba sementara kepengurusan dan anggotanya tidak jelas, diduga kelompok itu dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang bantuan.
“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar Yudi.
Masih menurut Yudi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10% – 30% dari total dana yang dikucurkan.
Eksesnya bagi Pemdes selaku Pengguna Anggaran (PA) dan para penerima bantuanpun latah (ikut-ikutan-Red) turut menyunat, sehingga dana yang direalisasikan hanya berkisar 70% bahkan 60% saja.
Adapun dana Bandes yang menggelontor di desa-desa Kecamatan Binong, di TA 2018 (APBD) Desa Mulyasari untuk 2 titik kegiatan senilai Rp 200 juta, Desa Binong 2 titik kegiatan senilai Rp 75 juta, Desa Karangwangi 1 titik senilai Rp 50 juta, Desa Citrajaya 5 titik senilai Rp 155 juta, Desa Cicadas 1 titik kegiatan senilai Rp 30 juta dan Desa Kihiyang 3 titik senilai Rp 40 juta.
Bandes TA 2018 (APBD-P) Desa Binong 4 titik kegiatan senilai Rp 80 juta, Kediri 1 titik kegiatan senilai Rp 20 juta, Karangwangi 1 titik senilai Rp 15 juta, Desa Kihiyang 2 titik senilai Rp 50 juta dan Nanggerang 1 titik kegiatan senilai Rp 25 juta. Sementara TA 2019 (APBD) Desa Mulyasari 2 titik kegiatan senilai Rp 200 juta, Desa Binong 1 titik senilai Rp 50 juta, Desa Kediri 1 titik kegiatan senilai Rp 50 juta, Desa Karangwangi 2 titik kegiatan senilai Rp 50 juta, Desa Citrajaya 3 titik kegiatan senilai Rp 315 juta, Desa Cicadas 1 titik senilai Rp 50 Juta, Desa Kihiyang 1 titik senilai Rp 30 juta dan Desa Nanggerang 1 titik kegiatan senilai Rp 30 juta.
Atas temuan itu awak media minta konfirmasi tertulis terhadap Kepala Desa penerima bantuan, namun tidak mendapat jawaban semestinya. Adapun surat terkirim ke Kades Binong No.142/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Kihiyang No.144/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Citrajaya No.145/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Mulyasari No.146/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Kediri No.147/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Cicadas No.148/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Karangwangi No.149/Biro-Sbg/Konf/IX/2019, Kades Nanggerang No.150/Biro-Sbg/Konf/IX/2019.
Masih menurut Yudi, keuangan Desa bersumber dari ADD dan DD TA 2017 yang diduga diselewengkan ada dua katagori, pertama dana yang harus dikembalikan ke Kas Desa terdiri Desa Nanggerang sebesar Rp 4.500.000, Desa Karangsari sebesar Rp 11.641.900, Desa Kediri sebesar Rp.5.000.000, Desa Cicadas sebesar Rp 61.923.262, Desa sebesar Kihiyang Rp 315.141.363.
Kedua uang pajak yang diduga digelapkan mestinya disetor ke kas negara, Desa Binong sebesar Rp 5.031.168, Desa Citrajaya sebesar Rp 40.838.894, Desa Nanggerang sebesar Rp 27.854839, Desa Karangsari sebesar Rp 60.883.451, Desa Karangwangi sebesar Rp 23.120.112, Desa Kediri sebesar Rp 11.182.464, Desa Cicadas sebesar Rp 41.982.849, Desa Mulyasari sebesar Rp 28.244.014, Desa Kihiyang sebesar Rp 15.903.004. Atas temuan itu untuk mengetahui progresnya awak media konfirmasi tertulis ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu/Sekretaris IRDA Kabupaten Subang melalui surat No.152/JP/Biro-Sbg/IP/IX/2019, namun pihaknya tidak berkenan memberi keterangan, dalihnya data itu bukan ranah konsumsi publik berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2017.
Yudi menyesalkan atas tindakan oknum Kepala Desa dan pihak-pihak yang diduga terlibat menyelewengkan keuangan desa itu dikatagorikan perbuatan korupsi. “Kepala desa itu posisinya sebagai Pengguna Anggaran (PA) ketika mengelola keuangan desa bersumber dari dana-dana transfer dimana merupakan sumber penerimaan APBDes harus dipertanggung jawabkan secara baik dan benar,” tandasnya.
Perilaku Kades itu bisa dijerat UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No 20 Tahun 2001, Jo Pasal 3 bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Melihat kondisi seperti ini, pihaknya mendesak aparat pengawas seperti Inspektorat Daerah (Irda) dan penegak hukum Kepolisian dan Kejari Subang segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaraan hukum itu. “Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tak usah menunggu laporan pengaduan, karena ini merupakan peristiwa pidana,” tegas Yudi.
“Bila terbukti beri hukuman setimpal, agar ada efek jera karena dana itu berasal dari uang kenduri rakyat yang dihimpun melalui pajak yang benar-benar harus dipertanggung jawabkan,” pungkasnya. (Abh)