Jakarta, Demokratis
Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh Megawati dan Prabowo dengan hadirnya Prabowo di Kongres PDI P di Bali, karena masih ada rakyat yang telah memilih presiden terpilih, dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah.
“Saya mengkhawatirkan ini akan jadi blunder buat ajaran Soekarno yang diusung oleh PDI P karena seolah-olah yang tahu ajaran Soekarno adalah Megawati dan anak biologis Megawati,” kata guru besar peneliti ilmu politik Poltak Partogi kepada pers di Jakarta, Kamis (8/8).
Kongres PDI Perjuangan dibuka dengan resmi di Sanur Bali oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, berlangsung dari tanggal 8 sampai 10 Agustus 2019, dengan mengundang mantan Capres Prabowo secara kusus.
Salah satu agenda yang akan diputuskan adalah terkait dengan pemilihan Ketua Umum DPP PDI P, dan masuknya anak Megawati dalam kepengurusan DPP PDI P kembali.
Disebu-sebut calon pengurusnya adalah akan diisi oleh Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Yang keduanya adalah putra putri dari Megawati Ketua Umum PDI P.
“Apalagi Soekarno itu adalah tokoh solidarity maker dan merakyat. Terbukti Soekarno begitu selesai setelah dilantik menjadi Presiden tetap makan sate di kaki lima di depan Gedung Pola sekarang,” paparnya.
Mengapa Soekarno mau begini, imbuhnya lagi, karena Soekarno sadar tidak mau jadi Raja setelah Indonesia Merdeka.
Dikatakannya, PDI P harus banyak belajar, bahwa PDI P bisa menang pemilu dua kali berturut-turut tahun 2014 dan 2019 adalah karena faktor hadirnya kader idiologis Jokowi salah satunya. Selain Jokowi juga lebih menjiwai semangat ajaran Soekarno. “Mungkin pula karena sama-sama insinyurnya juga,” jelasnya.
Soal terkait dengan hadirnya Prabowo kembali dalam Kongres PDI P lewat undangan secara khusus yang disampaikan oleh Megawati.
“Apa Mega sudah lupa bahwa tentara doktrinnya adalah kill or to be kill. Yang pernah dialami oleh ayahnya Soekarno di akhir masa kekuasaannya saat menghadapi Jenderal Suharto dan Jenderal AH Nasution,” tukasnya.
“Apabila ini benar, Mega berarti telah menciptakan oligarkhi elite pertama di PDI P kembali dengan menempatkan dinasti keluarga ke dalam kepengurusan hasil Kongres di Bali, yang malah akan bisa memberatkan PDI P di masa depannya,” kata Poltak.
Dari pelajaran hengkangnya Dimyati Hartono, Arifin Panigoro dan Sophan Sophian jelang Pemilu 2004. Yang hasilnya diikuti dengan turunnya suara PDI P pada Pemilu 2004.
“Sebaiknya ini harus dijadikan cermin dan kajian oleh Megawati,” kata Poltak alumni UI Jakarta ini. (Erwin Kurai)