Oleh Abdulah SSos MM/Wartawan Demokratis (Korwil Subang)
Menjelang diperingatinya hari anti korupsi dunia pada 9 Desember 2019 mendatang, dan carut marutnya penegakan hukum kasus-kasus korupsi di negeri ini, kita patut mengapresiasi langkah prestisius lembaga anti rasuah atau lebih popular disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang belakangan telah mempidanakan sejumlah pembesar dan figur penting di negeri ini.
Sebut saja semisal orang kuat yang malang melintang di lembaga legislatif Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI), sosok yang dikenal bagai belut berlumur oli itu terlibat kasus suap e-KTP, divonis penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta, sementara tuntutan Jaksa 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar; Akil Muchtar (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) terlibat kasus suap pengurusan 15 sengketa Pilkada, divonis penjara seumur hidup dan denda Rp 10 miliar, sementara tuntutan Jaksa pidana seumur hidup dan denda Rp 10 miliar; Andi Mallarangeng (mantan Menpora di era SBY) yang terlibat kasus korupsi proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang (Bogor), divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, sementara tuntutan Jaksa penjara 10 tahun dan denda Rp 300 juta; Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), terlibat korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang dan proyek APBN lainya, divonis 8 tahun dan denda Rp 300 juta, sementara tuntutan Jaksa 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Namun jujur saja, cita-cita memberantas korupsi di negeri ini seperti masih menggantung di langit bagai mengepel lantai di bawah genting bocor, lantainya tak akan pernah kering.
Aneka praktek kekuasan yang korup dan menyimpang dari etika pemerintahan yang bersih (clean goverment) telah memakzulkan impian kesejahteraan 200-an juta jiwa penduduk negeri tercinta ini.
Perilaku korupsi di negeri ini bukan lagi merupakan gejala, melainkan sudah akut dan merupakan bagian dari kehidupan dan kegiatan di hampir semua lini, baik di birokrasi, sosial, ekonomi, budaya dan tak terkecuali di bidang politik.
Berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan rezim penguasa bersama oknum politisi dinilai telah menghianati legitimasi yang diberikan rakyat.
Virus korupsi dengan berbagai dalih dan modus ditengarai kian mewabah dan cenderung sporadis. Hal itu tidak saja merugikan keuangan negara, menghancurkan perkonomian dan menyengsarakan masyarakat, tetapi dalam skala lebih luas juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional sebagai akibat efek domino.
Korupsi bukanlah kejahatan biasa, melainkan pelanggaran hukum luar biasa. Namun apa jadinya, jika vonis hukumannya terbilang ringan? Apalagi, terdakwa masih diberi kesempatan untuk mendapat remisi atau potongan masa tahanan. Bukankah seharusnya hakim menjatuhkan putusan berdasarkan tuntutan jaksa atau malah lebih berat dari pada tuntutan Jaksa?
Sepertinya tidak usah malu, bila kita mengangguk-anggukan kepala berkali-kali, manakala mencermati tekad seorang tokoh reformis yang berkuasa di negeri China saat itu. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat keras menyuarakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepoteisme (KKN) dalam rangka moderenisasi perekonomian dua dasa warsa lalu di negerinya.
Sejak menjabat Wali Kota Shanghai di akhir tahun 1980-an, Ia sudah dikenal kevokalannya. Dialah Zhu Rongji yang menjabat Perdana Menteri China di tahun 1997-2002.
Komitmennya yang cukup melegenda ialah “Beri aku 100 peti mati, 99 akan saya pergunakan untuk mengubur para koruptor dan satu peti mati untuk mengubur saya, manakala saya melakukan tindakan korupsi,” kata Zhu Rongji pada saat itu.
Upaya keras yang dilakukan Zhu Rongji menunjukkan, bila tekad Pemerintah China untuk secara konsisten mengawal pembangunan dan mengikis tindak korupsi dengan cara menekan seminimal mungkin penyalahgunaan di tubuh birokrasi semakin terlihat hasilnya.
Sungguh mencengangkan. Betapa tidak, untuk menunjukkan keseriusan pemberantasan KKN ketika memproses kasus korupsi kelas kakap, semisal Banker ternama Zhu Xiaohua yang dikenal dekat dengan Perdana Menteri Zhu Rongji pada saat itu. Tapi Zu Xiaohua dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 15 tahun pada tanggal 10 Oktober 2002.
Keseriusan yang sama ditunjukan tatkala pemerintahan menyeret Wang Xuebing, juga orang dekat Zhu Rongji. Kasusnya tidak setransparan Zhu Xiaohua, sehingga dibutuhkan waktu satu tahun lebih sampai vonis Pengadilan. Ia divonis hukuman penjara 12 tahun pada Desember 2003, karena terbukti korupsi ketika menjabat sebagai Presiden Bank Of China 1993-1999.
Kemudian menuyusul beberapa pejabat yang divonis, karena terbukti korupsi, seperti Hu Changging, Wakil Gubernur Jiangxi terbukti menerima suap senilai USS 650.602, divonis mati pada Maret 2000. Lalu Cheng Kejie, Ketua Pemerintah Daerah Otonom Guang Xi, terbukti menerima uang suap senilai USS 5 juta, divonis mati pada Juli 2000.
Made mantan Sekretaris Partai Komunis China (PKC) Komite Kota Suihua, Hellongjiang terbukti menerima suap bersama istrinya sebesar USS 743.500, divonis mati pada Juli 2005.
Konon dikabarkan di negeri Tirai Bambu ini kini memberlakukan hukuman bagi koruptor yang divonis mati, berlaku juga terhadap istrinya karena dianggap turut menikmati. Keduanya ditembak mati dengan jarak beberapa inci saja. Itu rupanya dimaksudkan supaya bagi orang yang hendak berbuat korupsi menjadi miris dan harus berhitung seribu kali.
Menurut hemat penulis, bila pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara konvensional seperti sekarang ini, maka 100 tahun lagi belum tentu korupsi di Indonesia dapat diberantas.
Sekiranya diperlukan upaya revolusioner dalam memberantas korupsi, seperti pemberlakuan pembuktian terbalik sampai hukum tembak mati. Oleh karenanya sudah sepantasnya sistem pemberantasan korupsi dievaluasi secara kritis.
Di banyak negara, dengan lahirnya lembaga khusus yang menangani korupsi seperti di kita semacam KPK, mampu menekan secara efektif praktek korupsi hingga level terendah. Pasalnya para koruptor di negeri yang bersangkutan rata-rata divonis hukuman mati, sehingga timbul efek jera.
Salah satu penyebab gagalnya upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, karena hukuman bagi koruptor rata-rata nyaris terlalu ringan, sehingga tidak membangkitkan rasa takut. Alih-alih memberikan efek jera, vonis-vonis yang dihasilkan Pengadilan Tipikor cenderung lebih membuat para calon koruptor mengkalkulasi, bila harta yang diperoleh hasil korupsi harus lebih bernilai ketimbang hukuman yang bakal diterima kelak bila terjerat hukum.
Oleh karenanya, penjatuhan hukuman yang tanpa menimbulkan efek jera segera diakhiri. Opsinya koruptor diberi hukuman seberat-beratnya.
Agaknya tak berlebihan bila kita merenungi peringatan di Hari Anti Korupsi Dunia mengadopsi metode pemberantasan korupsi di negeri China dengan menghukum mati koruptor dan meneladani pemimpin yang konsisten terhadap komitmennya (*)
Subang, 23 November 2019