Chairil Anwar, lahir di Medan Sumut, 26 Juli 1922 dan meninggal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, 28 April 1949. Pendidikan formalnya tidak tamat MULO. Chairil pernah menjadi Redaktur Gelanggang dan Gema Suasana setahun menjelang kepergiannya, 1948-1949. Dalam usianya 27 tahun, Chairil menghasilkan proses kreatif 94 buah karya; 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa dan 4 prosa terjemahan (HB Jassin: Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45, Gunung Agung Jakarta 1985).
Stigmatisasi Chairil
Dalam Aku Ini Binatang Jalang, ada 79 sajak asli, 7 sajak di antaranya ditulis dalam 2 versi, 2 sajak saduran dan 6 buah surat untuk HB. Jassin (Gramedia, 1988, Pamusuk Eneste – Editor). Aku Ini Binatang Jalang, ke-7 sajak yang ditulis berbeda itu adalah Sia-Sia versi DCD (Deru Campur Debu) dan KT (Kerikil Tajam) dan Yang Terhempas dan Yang Putus. Hampa versi DCD dan KT. Aku atau Semangat versi DCD dan KT. Selamat Tinggal versi Naskah Asli dan KT. Sajak Putih versi DCD dan SS (Surat-Surat). Prajurit Jaga Malam versi KT dan TMT (Tiga Menguak Takdir).
Karya Chairil Anwar juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel dan Lia suw Fang dengan bantuan HB. Jassin dan dalam bahasa Jerman oleh Walter Karwath. Figur Chairil Anwar tidak saja menyandang Pelopor Angkatan ’45, tetapi juga predikat lainnya yang merupakan stigmatisasi pada Chairil Anwar adalah Si Binatang Jalang, Si Pengembara Monumental, Manusia Wanderer, Vitalis, Individualistis, Eksistensialis, Hero, Romantis, Epigon, Plagiator, Bohemian, Jorok, Penyakitan dan sebagainya, dan yang terakhir dalam pidato kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri, 24 Mei 2013 di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta, Chairil disebut sebagai Penyair Pesanan Zaman. Impian Sutan Takdir Alisyahbana telah terwujudkan oleh Chairil Anwar, di mana kita harus belajar dari Barat (Renesan), sekalipun Sutardji memberikan catatan kritis terhadap Sutan Takdir Alisyahbana mengenai Renesan (Barat). Apa yang dikatakan Sutardji, kita bisa memahaminya, karena Chairil dengan sajak-sajaknya merupakan keniscayaan zaman pada masanya yang hingga kini tidak lekang oleh waktu.
Chairil Sang Pemberontak
Sejak HB. Jassin mempredikati Pelopor Angkatan ’45, sampai kini tak ada penolakan terhadap posisi Chairil Anwar dalam sejarah sastra Indonesia modern. Gugatan yang kemudian muncul adalah Chairil-Plagiator. Sayangnya gugatan itu hanya merupakan snapshot, selintas mata saja tanpa kajian yang cermat dan cerdas, sehingga tidak mampu menumbangkan tesis pembelaan HB. Jassin terhadap karya-karya Chairil. HB. Jassin sangat cermat dan cerdas dan arif dalam memberikan penilaian terhadap karya Chairil dalam posisinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia pada masanya, Pelopor Angkatan ’45.
Tanggal kepergiannya, hari kematian Chairil pada 28 April menjadi historis dan filosofis bagi peringatan Hari Sastra Nasional, meskipun dalam kalender nasional kita pada tanggal tersebut tidak ada hari dan tanggal merah, tidak dikenal. Kendatipun demikian, pada tanggal tersebut di berbagai kota dan daerah, terutama komunitas sastra, pada tanggal 28 April merupakan peringatan Hari Sastra Nasional atau ada juga yang menyebutnya Hari Memperingati (Mengenang) Chairil Anwar dengan berbagai kegiatan apresiasi sastra, yang tidak melulu membicarakan karya Chairil Anwar dalam relevansinya dalam sejarah negeri ini. Akan tetapi, diskusi atau dialog pun lebih melebar, seperti pembicaraan terhadap sastra dunia sampai pada persoalan kebudayaan.
Satu-satunya penolakan Hari Sastra Nasional pada tanggal 28 April itu datangnya dari kubu LEKRA (Kebudayaan Rakyat) yang berhaluan kiri (Komunis-PKI) yang berselimut di mantel kekuasaan rezim penguasa Soekarno di bawah komando Panglima Besar Kebudayaan Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Joebar Ajoeb, Bakri Siregar dkk. Penolakan tersebut dikarenakan gagasan dan konsepsi berkesenian Chairil Anwar tidak sejalan dengan prinsip Manifesto Politik Bung Karno-Manipol Usdek- pada saat itu.
Paham Humanisme Universal oleh LEKRA dianggap kontra revolusioner, sehingga dengan tegas menolak tanggal 28 April sebagai Hari Sastra Nasional yang berakar dari figur Chairil Anwar yang menancapkan tonggak baru bagi sejarah sastra Indonesia modern. HB. Jassin pun kemudian dihujat, dan kemudian LEKRA mengadakan konfrontasi dengan Manifes Kebudayaan-Wiratmo Soekito, HB. Jassin, Hamka, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Arief Budiman, WS. Rendra, Bur Rasuanto, Sutan Takdir Alisyahbana (STA), dkk.
Chairil Anwar di alam Manipol tak luput dari dari gugatan. Chairil Anwar tidak punya arti apa-apa. Sitor Situmorang dengan tegas mengatakan, Chairil dengan sadar atau tidak sadar masuk orbit dan perangkap jaringan kontra revolusi kebudayaan, dalam arti: Chairil dan sekelompok sastrawan/intelektual lainnya dibuat asing dari revolusi (Prahara Budaya. 1995: “Olah Raga & Budaya”, lampiran Harian Suluh, 8 Maret 1965).
Dalam alam Manipol, seperti dikatakan penyair Goenawan Mohamad, bahwa setelah Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang (dari penulis, baca: dibrangus rezim penguasa Soekarno), situasi seni-budaya di negeri ini benar-benar, “Dengan apa pembicaraan dari hati ke hati menjadi sulit, dengan apa diskusi menjadi kandas, dengan apa telaah perundang-undangan hampir menjadi mustahil. Tidak terlalu mengerikan: kita telah berada dalam ambang situasi, di mana kesusastraan, ilmu, hukum-semuanya adalah soal-soal yang tidak relevan. Yang ada cuma 1 Revolusi, 1000 slogan dan 0 puisi” (Ibid: Horison, No. 5, Th. II, Mei 1967).
Membaca karya Charil dan surat-suratnya yang ditulis untuk HB. Jassin, maka kita temui Chairil sebagai sosok figur manusia – tokoh – reformis (pembaharu) yang karakteristiknya antara lain, Revolusioner, bisa kita baca pada sajak “Aku atau Semangat” dan prosanya “Berhadapan Mata dan Hopla.” Progresif-reaksioner, bisa kita baca pada “Kawanku dan Aku”, prosanya “Tiga Muka Satu Pokok” dan Pidato Radio 1946, Pecinta – Pejuang – kemerdekaan, bisa kita baca pada sajak “Prajurit Jaga Malam”, “Persetujuan Dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, “Krawang-Bekasi”, prosanya “Membuat Sajak”, “Melihat Lukisan.” Intelektual, bisa kita baca pada prosanya antara lain, Pidato Chairil Anwar 1943 dan beberapa surat RM Rilke.
Pemberontakan Chairil tidak hanya pada situasi zamannya saja (pendudukan Jepang, 1942-1945), tetapi tentu pemberontakannya pada kondisi dan situasi sosial politik bangsanya. Sebagai pemberontak dalam pengertian sebagai tokoh pembaharu dalam dunia perpuisian, Chairil tidak mau terbelenggu oleh pola persajakan sekalipun Chairil tetap mempertimbangkan rima persajakan atau yang kita kenal pola rumus a-a-a atau a-b-a-b dan seterusnya. Hal ini kita bisa lihat pada sajaknya yang berjudul “Aku”. Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang kan merayu/Tidak juga kau//Tak perlu sedan sedang itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak peduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi (Maret 1943).
Sebagai seorang reformis, Chairil tidak bisa terkungkung dalam kestatisan proses kreatif, seperti adanya konvensi dan pola persajakan, bahasa, pencitraan, majas, dan penjelajahan intelektual. Chairil sadar benar bahwa dunia kepenyairan harus diperjuangkan. Penyair harus mampu menaklukan bahasa dan kata, karena bahasa dan kata adalah media ekspresi penyair, sekalipun kata-kata bukanlah alat untuk mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. (Sutardji Calzoum Bachri: Kredo Puisi dalam O AMUK KAPAK, 30 Maret 1973). Meski begitu, Sutardji tetap mengatakan, dia bebas, yang berarti kata harus bebas menentukan dirinya sendiri, tidak terbelenggu oleh konvensi dan pola persajakan dan kata bebas dari belenggu moral kata itu sendiri.
Kesadaran akan kemerdekaan kata itu sendiri, maka kata Chairil Anwar, tidak harus menunggu datangnya wahyu. Intuisi harus tetap digosok dan idea harus tetap dicari, dirambah, bukan harus ditunggu. Oleh karenanya, tidak setiap yang menggetarkan kalbu, wahyu yang sebenarnya. Kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu harus mengumpul-satukan (Pidato Chairil Anwar 1943). Keterlibatannya (gagasan dan konsepsi) dalam berkesenian sangat tegas dan jelas. Chairil tidak main-main, tidak setengah-setengah atau ikut-ikutan dalam pergulatannya dengan dunia kepenyairan.
Katanya, jika kerja setengah-setengah saja, mungkin satu waktu nanti kita jadi impropisator. Sungguhpun impropisator besar, tapi hasil seni impropisator tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni cipta. Statemen tersebut dikemukakannya pada usia ke-21, Pidato Cgaril Anwar 1943. Itu pula yang Chairil buktikan dalam sajak-sajaknya: Nisan, Derai-Derai Cemara, Cintaku Jauh Di Pilau, Yang Terempas dan Yang Putus, Aku Berkisar Antara Mereka, Mirat Muda, Chairil Muda, Sajak Putih, Puncak, Senja Di Pelabuhan Kecil dan Aku. Maka, Charil ingin hidup seribu tahun lagi.
Pada masa kepenyairannya, Chairil Anwar, berhadapan dengan dua tembok besar yang membelit dirinya, yaitu tardisi perpuisian kita yang menganut konvensi, pola sampiran dan irama yang seolah-olah harus mengikuti pola bersahut-sahutan antara larik atau baris pertama dengan baris keduanya, atau harus pola a-a, a-a, a-b, a-b, sehingga apa yang ditulis Chairil dalam sajak-sajaknya dianggap tidak lazim bahkan melompat amat jauh pada masa kepenyairannya.
Pada sajak Aku, seolah-olah atau terkesan Chairil masih amat patuh pada konvensi perpuisian pada masanya, padahal jika cermati, itu karena unsur ritme, irama yang dibangun dalam pola persajakannya, sehingga terasa betul adanya pola dan konvensi pada bait pertama dan kedua, tetapi jika kita lihat pada bait kelima, Chairil tidak terbelenggu dengan kesan pola, karena kata harus menentukan dirinya sendiri; //Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang.
Pada sajak yang berjudul “Sorga”. Seperti ibu + nenekku juga/tambah tujuh turunan yang lalu/aku minta pula supaya sampai di sorga/yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/dan bertabur bidadari seribu. Dalam sajak “Sorga”, Chairil tidak menganut konvensi atau pola, tetapi irama persajakan yang dibangun menjadi terasa berpola. Di sinilah salah satu kelebihan Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya.
Sebagai reformis, Chairil Anwar telah melepaskan diri dari tradisi Pujangga Baru (lihat Hopla). Chairil Anwar juga melompati kungkungan konvensi persajakan yang berpola. Kalau Pujangga Baru berkecenderungan impresif dengan alur riak danau, maka Chairil dalam mengekspresikan pengalaman empriknya dan imaji liarnya cenderung ekspresif dengan alur riak gelombang lautan atau samudra.
Pada sisi lain, tembok yang harus dihadapi dalam kepenyairan Chairil Anwar adalah politik pendudukan Jepang, sehingga Chairil harus mensiasati agar sajak-sajak yang dipublikasikan tidak terkena sensor pemerintah pendudukan Jepang. Pilihan kata (diksi) yang dianggap garang atau sebagai ekspresi pemberontakan, harus dilunakan sedemikian rupa, sehingga bisa luput sensor, tetapi tidak mengurangi kepekatan sajaknya. Hal ini bisa kita baca dalam sajaknya yang berjudul Aku diubah menjadi Semangat. Dalam sajak yang berjudul Aku dan Semangat ada kata yang dilunakan untuk menghindari sendor Jepang, seperti pada sajak Aku: Ku mau tak seorang kan merayu. Dalam sajak yang berjudul semangat, dilunakkan menjadi: Ku tahu tak seorang kan merayu. Kata “mau” diganti dengan kata “tahu”.
Chairil Anwar terus berjalan sekalipun dikutuk, dibuang dan terancam oleh struktur kekuasaan politik. Chairil Anwar menyadari betul akan hal itu, apa yang seperti dikatakan oleh Alfred de Vigny (1832), penyair adalah “kaum yang akan selalu dikutuk mereka yang berkuasa di atas bumi”.
Pada era rezim penguasa Soeharto, sajak Chairil Anwar yang berjudul Sorga dilarang disertakan dalam naskah Lomba Baca Puisi di Indramayu pada 28 April tahun 1986 yang digelar komunitas sastra. Waktu itu selaku lembaga sensor terhadap kegiatan sastra adalah Dinas P&K (Pendidikan dan Kebudayaan), Polres, Kodim dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Argumentasi yang dikedepankan, terutama Polres, Kodim dan KNPI (KNPI jauh lebih militeristik dan saya waktu itu terbayang era Lekra, dimana Pamoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang menyerang habis-habisan kelompok Manifes Kebudayaan-Wiratmo Soekito, HB, Jassin, Taufiq Ismail dkk.) P&K, sesungguhnya masih bisa lunak, bukan harga mati, sekalipun sajak Sorga dikatakan sarat bermuatan politik yang dilarang oleh Orde Baru Soeharto, karena ada kata Masyumi + Muhammadiyah mengalir sungai susu/dan bertabur seribu bidadri. Masyumi adalah partai politik yang dilarang, maka sajak Sorga dilarang disertakan dalam naskah lomba.
Karena saya tetap menyertakan sajak tersebut dan banyak dibaca peserta lomba, maka keesokan harinya menjadi masalah politik yang berujung penginterogasian. Panitia lomba tidak ada yang mau bertanggungjawab dan membubarkan diri, maka demi sajak Sorga dan demi sastra, saya harus bertanggungjawab kemudian mengambilalih sebagai penanggungjawab dan tetap naskah itu disertakan dalam naskah lomba dengan argumen utama, bahwa buku Chairil Anwar yang memuat sajak Sorga itu beredar di toko-toko buku se-nusantara dan tidak dilarang, maka tidak ada landasan yuridis untuk melarangnya. Tapi, apa lacur, namanya kekuasaan seperti yang dikatakan Alfred de Vigny, saya pun kemudian diinterogasi oleh Kodim dan dituduh subversif dengan alasan menyebarkan paham Masyumi, dan saya diberi sanksi pencabutan KTP (Kartu Penduduk) Indramayu, kemudian saya ber-KTP Jakarta waktu itu. Saya tetap berjalan dan tetap terlibat dalam dunia kepenyairan hingga kini. Semua penyair juga ingin seperti Chairil Anwar, aku ingin hidup seribu tahun lagi, bahkan itu impian semua penyair, ingin hidup seribu tahun lagi.
Tidak seperti membalikkan tangan ingin hidup seribu tahun lagi, kepenyairan harus diperjuangkan dengan habis-habisan dengan gagasan dan konsepsi berkesenian yang ajeg. Dalam hal ini Sang Binatang Jalang Yang Terbuang Dari Kumpulannya, Chairil Anwar bisa menggapai impian dan mimpinya, bisa hidup seribu tahun lagi. Sajak-sajaknya jika dibaca hingga kini masih terasa dahsyat dan menggetarkan, tragik dan menggelak bagaikan darah mendidih. Gasan dan konsepsi kepenyairan Chairil Anwar sungguh banyak pelajaran buat kita, yang masih muda, penyair pemula.
Ada 7 sajaknya yang ditulis berbeda, ada penghapusan dan ada penghilangan tanda baca, kata dan bait. Kita (saya) makin tidak yakin, jika Chairil sebelum usia 20 tahun tidak menulis sajak, karena sajak-sajaknya telah menjadi, matang dan kental. Namun, hingga kini ternyata belum ada yang mengungkapkan (menemukan) sajak-sajak Chairil yang ditulis sebelum tahun 1942. Padahal, jika dicermati pada sajak-sajaknya yang ditulis periode 1942 boleh dikatakan bahwa Chairil Anwar sudah dalam kepenyairan yang established, mapan dan bereda dalam zona puncak kepenyairan.
Kegetiran Chairil
Sajak Nisan yang ditulis Oktober 1942 dalam usianya yang ke-20 tahun, sangat kental, menggelegak, tragik dan sangat menggetarkan. “Bukan kematian benar menusuk kalbu/Kerinduanmu menerima segera tiba/Tak kutahu setinggi itu di atas debu/dan duka maha tuan bertahta.” Tidak semua orang bisa mengusir atau melupakan duka begitu saja, sehingga dalam kegetiran itu Chairil harus mengatakan: duka maha tuan bertahta. Kegertiran yang tercermin dalam sajak Nisan ini menjadi kontras dengan stigmatisasi terhadap Chairil, dimana Chairil mengatakan: Aku binatang jalang dari kumpulannya terbuang.” Kejalangannya yang tegar berhadapan dengan banyak hal dalam kehidupan sosial politik dan kepenyairan yang dengan garang meradang dan menerjang semua konvensi persajakan pada waktu itu, ternyata luluh lantak ketika Sang Chairil harus berhadapan dengan duka maha tuan bertahta.
Pada sajak Yang Terempas dan Yang Putus juga mencerminkan kegetiran yang tak berdaya dan menjadi tiada terkira, seolah-olah dalam hidupnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, pasrah dan menyerah pada keadaan yang dihadapinya, dan semua seakan-akan telah menjadi padam, sehingga Chairil harus mengatakannya; Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Stok Imajinasi
Dalam sajak-sajak Chairil tidak saja kaya akan metofora-metafora tetapi juga padat dengan personifikasi-personifikasi yang membawa kita harus terbang dan melayang-layang untuk menjangkaunya. Dalam memahami dan menafsirkan sajak-sajak Chairil, kita dipaksa untuk melengkapi stok imajinasi dan pengembaraan bathin, sehingga kita bisa menyatu padu dan merasakannya ketika membacanya. Sajak-sajaknya penuh metafora dan personifikasi.
Cemara menderai sampai jauh/Terasa hari akan jadi malam/Ada beberapa dahan ditingkap merapuh/Dipukul angin yang terpendam//Aku sekarang orangnya bisa tahan/Sudah berapa waktu bukan kanak lagi/Tapi dulu memang ada satu bahan/Yang bukan dasar perhitungan kini//Hidup hanya menunda kekalahan/Tambah terasing dari cinta sekolah rendah/Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/Sebelum pada akhirnya kita menyerah (Sajak Derai-Derai Cemara).
Sajak Derai-Derai Cemara, membawa kita ke dunia nestapa dalam riak danau yang tenang, begitu terasa tapi kita merasa asing seperti kapal yang berlabuh dan tak tahu dermaga persinggahannya, sehingga ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah. Sajak-sajaknya yang lain, seperti Isa (Kepada Nasrani Sejati), Doa, Di Masjid dan sajak Buat Reksobowono, metafora-metafora dan personifikasi-personifikasi yang dibangun dalam sajaknya dengan dunia kata yang magis dan tragik dan bahkan menggelegak, seperti pada sajak Doa (Kepada Pemeluk Teguh): Caya-Mu panas suci,/Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi.//Tuhanku…/Aku hilang bentuk,/Remuk.
Sebagai manusia, Chairil memiliki romantisme, kemesraan, kenangan, kerinduan dan kesenduan. Chairil Anwar juga tidak terus menerus meradang. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju/Ajal bertahta, sambil berkata:/”Tunjukkan perahu ke pangkuanku saja.” (Sajak Cintaku Jauh Di Pulau). Dan lihat sajak yang lainnya, Senja Di Pelabuhan Kecil, Mirat Muda, Chairil Muda. Sajak Putih dan Hampa.
Religiositas Chairil
Chairil juga sangat kritis dalam pemahaman religiositas. Chairil menyadari betul bahwa keabadian terhadap cinta, kerinduan, kenangan, keharuan dan lainnya itu fana, harus ditinggalkannya, manakala maut maut menjemput. Atas dasar pemahaman religiositasnya yang kritis sebagai intelektual, pertemuan dengan maut terus membayang.
Maka tatkala ada titik kesadaran reliligiositas berpelukan, kematiuan harus diterima tanpa meradang. “Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang.” (sajak Yang Terempas dan Yang Putus). Dan lihat pula sajak yang lainnya, Nocturno, Selama Bulan Menyinari Dadanya dan Derai-Derai Cemara. Dari pemahaman religiositas itu pula Chairil menjadi arif dan pemaaf. “Kalau kau mau kuterima kembali/Untukku sendiri tapi/Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.” (Sajak Penerimaan).
Sekalipun Chairil Anwar adalah binatang jalang, tetapi dalam kejalangan masih tetap ingat pada sang penciptanya. Tuhanku…/Dalam termangu,/Aku masih menyebut nama-Mu.//Biar susah sungguh,/Mengingat Kau penuh seluruh. Sebagai manusia, Chairil bukanlah manusia tanpa salah atau tanpa dosa. Ketidaksempurnaanya Chairil katakan: Caya-Mu panas suci,/Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi.//Tuhanku…/Aku hilang bentuk,/Remuk.//Tuhanku…/Aku mengembara di negeri asing (Sajak Doa).
Ketika dalam kehidupan ada hal misteri yang tak bisa terungkap, dimana manusia hanya mempunyai kemampuan yang terbatas dalam banyak hal. Hal-hal yang trasendental tidak bisa tersentuh, seperti kematian, bencana dan petaka tanpa bisa kuasa untuk mencegahnya dan bahkan kita tidak bisa menhidar darinya, maka hal ini pun disadari oleh Chairil Anwar, sehingga mengatakannya dengan tegas tetapi kemudian mejadi sangat tidak berdaya. Tuhanku…/Di pintu-Mu aku mengetuk./Aku tak bisa berpaling. (Sajak Doa).
Chairil menyadari suatu saat kematian akan datang, seolah Chairil sedang dalam pertemuan dengan maut. Begitu pasrah. Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,/menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,/malam tambah merasuk, rimba jadi semati trugu//Di Karet, di Karet (daerah y.a.d)/sampai juga deru dingin (Sajak Yang Terhempas dan Yang Putus, 1949).
Sekalipun Chairil Anwar bukanlah berkeyakinan Nasrani (Kristiani), tetapi sebagai pemahaman kereligiositasannya dalam keberagamaan, Chairil pun menuliskan persoalan Isa dalam konteks penyaliban. Apa yang Chairil katakan dalam sajak Isa (Kepada Nasrani Sejati) bukanlah sebuah olok-olok seperti yang diperlihatkan Ustad Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya bahwa Patung di Tiang Salib tersebut ada jin kafirnya. Chairil justru kebalikan dari UAS dalam sajak Isanya. Chairil paham betul bahwa urusan keyakinan adalah masing-masing, agamamu-agamamu, agamaku-agamaku. Jadi agamamu adalah urusanmu dan agamaku adalah urusanku. Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah/Rubuh/patah//mendampar Tanya: aku salah?//kulihatTubuh mengucur darah/aku berkaca dalam darah//terbayang terang di mata masa/bertukar rupa ini segara//mengatup luka//aku bersuka//Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah/(Sajak Doa, 12 November 1943).
Dengan sajak Isa tersebut, bukan berarti Chairil Anwar meleburkan akidahnya atau harus dikatakan pemurtadan dalam keyakinannya, dalam hal ini Islam. Chairil hanya ingin mengatakan, bahwa itulah sebuah keyakinan yang harus diyakininya. Yang tentu bagi pemeluknya, maka sajak Isa tersebut dikatakan Kepada Nasrani Sejati.
Dalam sajak Di Masjid, Chairil mengaktualisasikan dirinya sebagai pemeluk Islam dengan majas hiperbol (binasa membinasa) dan metaforanya (ia bernyala-nyala, diri yang tak bisa diperkuda, ini ruang gelanggang kami berperang). Kuseru saja Dia/sehingga datang juga//Kami pun bermuka-muka//Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkanya//Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda//Ini ruang/Gelanggang kami berperang//Binaasa membinasa/Satu menista lain gila (Sajak Di Masjid, 29 Mei 1943)
Binatang Jalang Tidak Berpangku-tangan
Masa-masa sensor ketat atas karya-karya sastra pada zaman pendudukan Jepang, Chairil Anwar masih bisa menyiasati sajak-sajaknya untuk bisa tetap menulis dan dipublikasikan. Gagasan pemberontakan yang tetap meradang menerjang setelah Jepang kocar kacir pulang karena bom Atom yang memporak-porandakan negaranya, ternyata tentatara Belanda ingin kembali menduduki Nusantara (Indonesia).
Chairil tidak bisa berpengku-tangan melihat situasi bangsanya. Chairil ambil bagian dalam memompa semangat (heroistik) untuk melawan dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya. Chairil katakan: Kami kini terbaring antara Karawang-Bekasi/tidak bisa berteriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi/Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,/terbayang kami maju dan mendegap hati?//Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi/Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak/Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu/Kenang, kenanglah kami//Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa//Kami cuma tulang-tulang berserakan/Tapi adalah kepunyaanmu/Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan//Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan/atau tidak untuk apa-apa,/Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata.
Chairil sangat menghormati para pemimpinnya yang telah berjuang dan bahkan berpesan untuk menjaganya. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi/Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak//Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir//Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian//Kenag, kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliuputi debu/Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi….(Sajak Kerawang Bekasi, 1948). Agresi Belanda ke-2 adalah terjadi pada tahun 1948, dan Chairil Anwar sudah meduganya, maka teruskan jiwa kami.
Tidak sajak sajak Kerawang Bekasi yang membakar nasionalisme yang heroik, dalam sajak Prajurit Jaga Malam, Persetujuan Dengan Bung Karno, Maju, Diponegoro adalah nafas Chairil Anwar soal bangsanya. Maju/Serbu/Serang/Terjang (Sajak Maju, Februari 1943). Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/Di zatmu di zatku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh (Sajak Persetujuan Dengan Bung Karno, 1948).
Sebagai Penyair Avant-Garde
Chairil Anwar, ternyata juga sebagai penyair avant-garde (garda depan) pada masanya, tetapi Chairil Anwar tidak pongah dan tidak menunjukkan identifikasi kecongkakkan atas kebesaran kepenyairannya. Menyadari betul, meski sudah habis-habisan dengan kesungguhan hati dalam mencipta sajak, namun dianggap masih ada yang belum menjadi. Kegelisahan kreatifnya terus mengkoyak-koyak, yang sesekali ternyata ragu pada apa yang ditulisnya sendiri.
Jassin! Aku malu dengan 10-15 sajak-sajak yang penghabisan di antara ada juga yang tak bisa diterima sebagai sajak!! Jassin! Kubaca sajak-sajakku semua. Kesal aku, sesekali….., jiwaku tiap menit bertukar rupa, sehingga tak kutahu aku apa aku sebenarnya (Kartu Pos, 10 Maret 1944 dan 11 Maret 1944).
Kartu Pos untuk HB. Jassin tersebut merupakan hal yang menyelinap dalam ketidakpercayaan diri apa yang ditulisnya, padahal Chairil adalah penyair yang sudah matang, apalagi kita yang masih hijau, tentu keragu-raguan pada tulisanya sendiri apa yang ditulisnya adalah hal yang wajar dan manusiawi. Akan tetapi, jika kemudian terus menghantui dan membayang-bayangi, akan bisa melumpuhkan proses kreatif, maka Chairil pun mempertegas dirinya dengan mengatakan, tidak setiap yang menggetarkan kalbu, wahyu yang sebenarnya. Kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu harus mengumpul-satukan (Pidato Chairil Anwar 1943).
Sisi lain dari talenta kepenyairannya, ternyata juga seorang pembedah kritis dengan mata pisau yang tajam. Chairil Anwar memilih pendekatan non akademik dalam mengupas sajak. Akan tetapi, bukan berarti tidak tahu atau tak mengenal teori model Greimts (struktur aktantial), Levis Strauss (struktur spasial, temporal), Turner (liminalitas), Fawler (sudut idiologis), dan model teori Thompson (idiologi yang dioperasikan) atau kini model Geerts dan Gurvitch (hubungan sosiologisnya).
Maka ketika mengupas sajak Sularko, Tahun Bertahun, sajak yang terdiri dari 3 bait, setiap baitnya berisi 4 baris atau larik, dengan pola persajakan a-b-a-b, a-a-a-a, a-b-a-b, Chairil mengatakan: Sajak ini sajak yang bernapas pendek, mulanya sangat baik, sangat lancar, bandingan-bandingan dan persamaan-persamaan yang menarik hati dan baru isi mengisi, memenuh, tetapi ketika mau habisnya bertahan, dipaksa, dan lagu iramanya tertegun, tercecer dalam bentuk masih tradisi Pujangga Baru (HB. Jassin, Chairil Anwar Angkatan ’45).
Pada akhirnya,, setiap sajak akan dihadapkan pada persoalan sistem nilai, baik atau buruk, layak atau tidak layak muat di media massa, sangat bergantung pada sajak itu sendiri, bobotnya. Suatu sistem nilai itu pun akan sangat bergantung pada siapa yang memberikan penilaian, yang mana sangat bergantung pada pengalaman empiriknya masing-masing.
Maka, Chairil Anwar mengatakan: Sebuah sajak, sebuah hasil kesenian menjadi penting dan berarti bukanlah karena panjang pendeknya, tetapi karena tingkatnya, kadarnya, keluasannya, jauhnya penglihatan, kupasan, pandangan si seniman tadi dalam menyatukan, memadukan suasana, kehidupan dan tokoh.
Untuk itu, Chairil Anwar bagi kita (saya) adalah seorang reformis dan penyair garda depan pada masanya. Seorang anak muda yang gigih dan habis-habisan dalam memperjuangkan kepenyairannya, tidak menunggu wahyu. Penyair yang tidak pongah, tetapi di dadanya matahari terus menyala. Pembedah yang kritis dan bijak. Seorang intelektual. Penterjemah dan penyadur yang cermat dan cerdas. Guru yang arif, yang berkehendak maju dengan menunjukkan kelemahannya dan selalu membimbing.
Selama 6,5 tahun itu pula, Chairil Anwar berupaya untuk tidak terjatuh pada manerism (pengulangan) yang kata Sutardji adalah musuh utama penyair senior dan epigonisme (pengekoran) adalah musuh penyiar muda, pemula. Selama 6,5 tahun itu pula dalam proses kreatifnya, Chairil Anwar sangat berarti bagi sejarah sastra Indonesia modern. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), dan Accountant Freelance. Tinggal di Singaraja. No. Kontak: 081931164563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com)