Indramayu, Demokratis
Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Akibatnya, dari lahan pertanian yang semakin sedikit, besar kemungkinan hasil produksi juga akan terganggu.
Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga kebutuhan pangan juga bertambah.
Oxymoron bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Indramayu, jika sawah habis di daerah agraris. Walaupun Indramayu memiliki tradisi Ngarot, yang merupakan pesta menjelang musim tanam padi sebagai wujud suka cita masyarakat atas berkah yang diberikan Sang Pencipta, lambat laun tradisi Ngarot tersebut pun hanya akan tinggal hisapan jempol belaka.
Menurut Lutfi Alharomain, ST, MSi, Kepala Bidang (Kabid) Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup, di Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dengan adanya peristiwa dan laporan pengaduan warga masyarakat Desa Loyang, Kecamatan Cikedung, bahwa sawah atau lahan-lahan pertanian merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang.
Sehingga, jika lahan atau sawah yang dilaporkan tersebut mengalami perubahan atau alih fungsi dengan dieksploitasi tanahnya, maka lahan yang berada di desa itu perlu dikembalikan lagi fungsinya seperti sediakala.
“Hasil investigasi DLH menyikapi alih fungsi lahan setelah tanah diambil yang akan merusak lahan yang seharusnya ditata, diremajakan kembali untuk dibikin sawah misalnya. Tapi yang dilihat di lokasi adanya reklamasi tanah yang merusak ekosistem, tidak mengindahkan kaedah lingkungan hidup,” jelas Lutfi kepada Demokratis, pada Rabu (22/12/2021), ketika melakukan investigasi langsung ke lokasi pengerukan tanah merah di Blok Jetut.
Meskipun pemerintah pusat belum dapat mengatasi isu kejahatan lingkungan yang kian marak dan semakin sexy, setidaknya tingkat kesadaran tentang hukum oleh pengusaha maupun pengelola wajib mengedepankan aturan atau regulasi. Minimalnya, dampak resiko dengan berubahnya geografi yang akan terjadi dapat diantisipatif sejak dini.
“Dampaknya nanti akan terjadi longsor dan banjir. Belum lagi aktifitas mobil dumtruk yang merusak jalan, yang membawa tanah dari lokasi ketika musim hujan berceceran di jalan yang membahayakan pengguna jalan. Ditambah lagi permasalahan dengan masyarakat yang belum terselesaikan. Seharusnya ditutup sementara sampai pihak pengelola menyelesaikan permasalahan di atas,” ujarnya.
Adanya kecenderungan meluasnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian saat ini, telah menyebabkan susutnya lahan pertanian secara progresif. Sejatinya pemerintah telah memiliki Undang-undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 73 UU Nomor 41 Tahun 2009, dimana setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka bisa dikenakan pidana sanksi penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar.
Dari permasalahan yang terjadi tersebut dan diuraikan di atas, maka Pemda melalui dinas terkait bersama Aparat Penegak Hukum (APH) Indramayu perlu ada tindakan tegas dan sanksi untuk diberikan kepada sejumlah pihak yang nakal.
“DLH akan menyurati, memanggil pihak pengelola dan masyarakat, juga akan berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait, terkait perizinan dan lain-lain,” imbuhnya.
Meskipun kegiatan eksploitasi tanah yang berada di Desa Loyang telah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama, hingga saat ini warga masyarakat tidak pernah mendapatkan kompensasi dari sejumlah pihak.
“Saya hanya ingin meminta ganti rugi, akibat dari mobil pengangkut tanah, lahan sawah saya saat ini menjadi rusak. Sampai sekarang lahan sawah milik saya tidak diperbaiki,” keluh Carini 65 tahun, warga dari Blok 4 saat diwawancara oleh Demokratis.
Bahkan menurut warga lainnya, terdapat beberapa oknum yang menjanjikan kepada warga bahwa untuk tanah yang terpakai sebagai akses jalan kendaraan mobil pengangkut tanah akan dibayar dengan sistem kontrak per tahun. Namun hingga saat ini, tanah yang dipakai telah rusak, janji lisan oleh oknum tak kunjung didapatkan.
“Luas lahan panjang 80 meter kurang lebih, tanpa permisi tanah saya dipakai untuk tanggul. Belum pernah sepeser pun saya dapat. Padahal waktu itu padi sedang saya arit,” timpal Warsono 50 tahun warga Blok 2.
Nurul sebagai Kepala Kecamatan Cikedung dan Abdul Kolik Kuwu Desa Loyang, sebagai pejabat tingkat bawah ketika dikonfirmasi oleh Demokratis menyikapi permasalahan yang terjadi, kedua pejabat yang saat ini masih bertugas tersebut beralibi dan beralasan sedang memiliki agenda rapat Kamis (23/12/2021).
“Punten pisan kang. kulae lagi mesuk merapat teng kuwu tarkani terkait maju mundure GRIB kah (bahasa nasional; permisi banget kang. Saya lagi pagi merapat ke Kades Tarkani terkait maju mundurnya GRIB — LSM Gerakan Rakyat Indonesia Baru),” jawab Abdul Kolik Kuwu Desa Loyang kepada Demokratis. (RT)