Jakarta, Demokratis
Dalam waktu dekat Kemendikbudristek segera menawarkan opsi kebijakan kurikulum untuk pemulihan pembelajaran. Kurikulum prototipe ini menjadi opsi yang mendorong pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa, serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar.
“Di tahun depan tidak ada kebijakan kurikulum baru, tetapi kebijakan pemulihan pembelajaran akibat pandemi. Dalam dua tahun ke depan, kurikulum yang disederhanakan akan terus dievaluasi sambil memperkenalkan kepada seluruh masyarakat,” tutur Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Zulfikri dikutip, Kamis (30/12/2021).
Untuk melihat efektivitas penerapan kurikulum prototipe secara terbatas, satuan pendidikan yang telah bergabung dalam barisan Sekolah Penggerak akan dilibatkan. Ia menekankan bahwa penerapan kurikulum prototipe bukan suatu perintah, melainkan pilihan.
“Kami ingin, satuan pendidikan (sukarela) menerapkannya berdasarkan pemahaman yang baik sehingga merasa memiliki dengan kurikulum apapun yang dipilih. Bukannya mengatakan ini kurikulum pusat. Sekali lagi, tidak ada unsur paksaan karena kalau status kebijakan ini (sifatnya) wajib, maka siapapun akan menjalankannya meski sebenarnya dia tidak mau atau tidak paham,” tegasnya.
Bagi satuan pendidikan yang tertarik, sebagai langkah awal, mereka akan diberi pemahaman tentang paradigma kurikulum ini terlebih dahulu. Lalu, sekolah diberi kebebasan untuk memilih apakah ingin langsung belajar sambil praktik atau ingin mempelajari dulu konsepnya selama satu tahun untuk kemudian baru diimplementasikan di tahun berikutnya.
Kemudian, guru dan siswa diberi kesempatan untuk memberi umpan balik terkait pengalaman mereka selama menjalankan kurikulum ini. Kurikulum prototipe ini berbasis proyek yang mengacu pada nilai-nilai Pelajar Pancasila.
Misalnya, ketika siswa belajar kepedulian terhadap lingkungan dengan cara mengelompokkan sampah, maka di saat yang sama mereka juga belajar bekerja sama. Sangat mungkin satu proyek terkait dengan beberapa materi pembelajaran maupun lintas mata pelajaran. Proyeknya tidak menambah waktu belajar tapi mengambil 20-30 persen jam pelajaran.
“Orientasinya memberi ruang kepada anak untuk berkreasi dan mengembangkan potensi belajar mereka supaya anak merasa menemukan makna dari belajar itu dan bisa memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri maupun berkelompok sehingga sisi akademik dan nonakademiknya berkembang secara utuh,” pungkas Zulfikri. (Djoni)