Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Eijkman yang Melebur ke BRIN

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah beroperasi hampir tiga dekade. Kini lembaga tersebut telah melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Lembaga ini merupakan lembaga pemerintah yang bergerak di bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran. Sebelum bergabung dengan BRIN, Eijkman berada di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Setelah bergabung dengan BRIN, Lembaga Eijkman berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.

Nama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pertama kali muncul pada 31 Juli 1992, namun sebetulnya lembaga riset ini sudah ada sejak 1888 dengan nama yang berbeda.

Lembaga Eijkman sebelumnya bernama Central Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat) yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.

Pada saat itu, lembaga ini berlokasi di sebuah bangunan dalam Kompleks Rumah Sakit Militer Hindia Belanda yang kini menjadi RS Gatot Subroto di Jakarta Pusat.

Christiaan Eijkman yang merupakan dokter syaraf dan ahli mikrobiologi asal Belanda tercatat menjadi direktur pertama di lembaga tersebut pada 1888-1896.

Nama Christiaan Eijkman kemudian dijadikan nama lembaga pengganti Central Geneeskundig Laboratorium. Hal tersebut dilakukan sebagai pengakuan atas pencapaian Eijkman yang meraih penghargaan Nobel pada 1929.

Penghargaan Nobel didapatkan Eijkman berkat jasanya menyibak misteri penyakit beri-beri, yang saat itu banyak menyerang negeri-negeri tropis, termasuk Hindia Belanda.

Kemudian hal penting yang dicatat Eijkman adalah tidak semua penyakit diakibatkan oleh kuman sebagaimana yang dipahami oleh dunia kedokteran saat itu.

Sepeninggal Eijkman yang kembali ke Belanda, Geneeskundig Laboratorium tetap berkiprah. Dokter-dokter lulusan Sekolah Kedokteran STOVIA pun mulai dilibatkan.

Sejak awal 1920-an, Kampus Stovia dan Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) berada di dalam satu blok di Jalan Salemba, lokasi yang kini menjadi Kompleks RSCM, FKUI, serta Lembaga Eijkman.

Geneeskundig Laboratorium kemudian secara resmi berubah menjadi Eijkman Institute pada 1938.

Eijkman Institute melakukan penelitian patologis, terutama penyakit menular dan epidemi, termasuk proses pembuatan vaksin. Namun, di era pascakemerdekaan lembaga ini mengalami kesulitan, bahkan sempat dihentikan operasinya sejak awal 1960-an.

Baru pada 1992, lembaga ini diaktifkan kembali melalui inisiatif yang dicetuskan Menteri Riset dan Teknologi saat itu BJ Habibie.

LBM Eijkman berdiri berdasarkan atas Surat Keputusan Nomor 475/M/Kp/VII/1992 tentang Pendirian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang ditandatangani Habibie.

Untuk mengikuti perkembangan, Habibie meminta lembaga tersebut beralih dari dunia mikrobiologis ke ranah biomolekuler. Dam Sangkot Marzuki, ahli biomolekuler lulusan University of Monash, University Australia diberikan mandat untuk memimpin lembaga ini.

Sangkot bekerja dengan didampingi oleh ahli-ahli biomolekuler muda (saat itu), seperti Amin Soebandrio dan Herawati Sudoyo yang telah menorehkan reputasi akademis yang menonjol. Sangkot sendiri memimpin Lembaga Eijkman hingga 2014.

Lembaga Eijkman ini disebut sebagai pintu penting bagi masuknya teknologi biomolekuler mutakhir ke Indonesia. Bahkan perangkat Real Time Polymerase Chain Reactor (RT-PCR) dan Genom Sequenser sudah berada di sana sejak hampir 30 tahun lalu.

Lembaga Eijkman pun terlibat dalam jejaring dunia riset dan penyelidikan penyakit HIV-Aids, flu burung (H5N1), SARS-1, hingga kini SARS COV-2 yang menjadi penyebab Covid-19.

Lebih lanjut, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa terkait transisi kelembagaan BRIN, Eijkman termasuk salah satu yang akan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Namun Handoko optimistis perubahan dari Eijkman akan membawa kebaikan dalam jangka panjang. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles