Meningkatnya pertumbuhan dan peran bank syariah tentu saja (amat) dinantikan. Intinya adalah, bank syariah ini solusi terhadap kepentingan masyrakat, utamanya masyarakat kecil dan menengah. Harapan itu sekaligus angin segar dalam suasana pandemi. Hanya jangan lupa pertumbuhan tak selalu identik dengan peran atau fungsi di lapangan.
Tulisan Faozan Amar untuk dibaca tentang pertumbuhan ekonomi syariah cukup menarik. Dengan judul Berkah Syariah Semakin Merekah Saat Wabah menggambarkan ekonomi syariah kian bagus. Ada peningkatan yang signifikan (RepublikaNews, 16 April 2021).
Kecuali itu, Faozan Amar memberi sudut pandang optimisnya yaitu ekonomi syariah akan sangat berarti dalam solusi pembanguanan ekonomi Indonesia berkemajuan di masa depan.
Seperti disiarkan oleh Bank Indonesia pertumbuhan ekonomi syariah Indomesia selama lima tahun sejak 2017 rata-rata 23%. Sementara data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan itu, tercatat 21,34% pada Agustus 2020. Dalam konteks ini, OJK menilai ada pertumbuhan memuaskan.
Keadaan memuaskan tersebut bisa dikaitkan dengan baiknya pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah. Hal ini didukung oleh kemajuan pancapaian zakat nasional lewat BAZNAS sebesar Rp131 miliar tahun ini dibandingkan hanya Rp80 miliar (2020).
Selain itu, ada penguatan konsep literasi ekonomi tanpa riba yang dapat dibentangkan dalam hal seperti berikut:
Pertama, pemahaman keagamaan bekaitan kepatuhan pada hukum negara dan hukum agama.
Kedua, adanya konsep bagi hasil tidak merugikan.
Ketiga, terciptanya kesadaran masyarakat pada konsep ekonomi syariah menguntungkan.
Keempat, kian bagusnya kinerja lembaga keuangan syariah. Kelima, adanya kemudahan dalam operasi izin usaha dari pemerintah.
Berdasar lima poin tersebut ditambah dengan penerapan UU Cipta Kerja maka terjadi penguatan konsep ekonomi berdasarkan syariah tersebut.
Berdasar adanya penguatan pada ekonomi syariah dengan data yang ditunjukkan di atas hal itu dapat diberikan apresiasi tinggi. Namun keadaan itu menyisakan persoalan seperti menjawab persoalan seberapa jauh hal itu mengurangi kemiskinan yang juga bertambah. Jawaban yang dicari, adalah fungsi pertumbuhan ekonomi syariah terhadap kemiskinan atau ekonomi kaum lemah yang miskin itu.
Data BPS mencatat tingkat kemiskinan meningkat lebih 12% pada Maret 2020 atau setara 26,3 juta orang pada posisi September 2020.
Meminjam pendapat Dr Riawan Amin, seorang ekonom mantan Dirut Bank Muamalat menyatakan, pertumbuhan lembaga keuangan syariah (baca: ekonomi syariah) dibandingkan dengan pertambahan kemiskinan tidak sebanding. Artinya, pertumbuhan ekonomi syariah atau keuangan syariah 23%, itu tidak cukup berarti sebagai solusi berhadapan 12% penduduk miskin yang setara 26, 4 juta orang, yang akan terus bertambah.
Kerisauan Riawan Amin yang dinyatakan pada penulis dalam satu pertemuan 23 Maret 2021 di sebuah resto Kemang Jakarta. Menurut dia, cukup beralasan melihat upaya untuk membesarkan lembaga keuangan syariah umpamanya belum solusi pada persoalan pokok kemiskinan. Pertumbuhan ya. Tapi ya, apa gunanya untuk kelompok miskin.
Penulis setuju dengan kerisauan Riawan Amin. Intelektual jebolan Universitas Hawaii Amerika itu beralasan menolak atas dua hal sbb:
Pertama, pertumbuhan seharusnya untuk memastikan mengentaskan kemiskinan. Ini perlu dilakukan secara transparan dan jelas. Kedua, pertumbuhan sesungguhnya area kompetisi untuk berkontribusi mengentaskan kemiskinan. Jangan sampai terjadi pertumuhan semu dan tak berfungsi apa-apa.
Keinginan kuat kita adalah mensyariahkan ekonomi dengan menjauhkan spekulasi, investasi yang halal, keuntungan bisnis bagi hasil diberlangsungkan dengan sabar dan istiqamah, asalkan ekonomi riil berdiri tegak dengan kuat berkeadilan dan berkemajuan. ***