Bandung, Demokratis
Bantuan yang diterima oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 11 Bandung merupakan bantuan APBN 2021 yang dikucurkan Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek. Bantuan yang dikucurkan untuk SMK Pusat Keunggulan berkisar antara Rp2 miliar sampai Rp5 miliar untuk masing-masing SMK. Dana yang jumlahnya cukup fantastis tersebut digunakan untuk membangun gedung Ruang Praktek Siswa (RPS) dan belanja pengadaan peralatan praktik siswa sesuai dengan jurusan yang diunggulkan di sekolah tersebut.
Dana bantuan tersebut menurut Ino Suparno, Kepala Sekolah (dalam jawaban konfirmasi tertulis Demokratis), dipakai untuk pembangunan gedung Ruang Praktek Siswa (RPS) senilai Rp1.277.527.000 dan membeli barang bahan praktek siswa senilai Rp832.000.000. Pembangunan gedung RPS dilakukan dengan swakelola dan pembelian barang alat praktek siswa dilakukan dengan Siplah.
Untuk pembangunan gedung RPS bukanlah membangun gedung baru, tapi hanya rehab total, dengan luas bangunan 270 m2 (termasuk salasar dan sanitasi). Biaya pembangunan gedung tersebut apakah masih wajar atau ada rekayasa. Menurut Hery pemerhati bangunan dan upah di Bandung, luas bangunan 270 m2 dengan anggaran Rp1.277.527.000, itu sudah tinggi. Walaupun di sana ada pajak Rp12% (Rp153.303.240) dan pembelian prabot Rp150.000.000. “Anggaran Rp974.223.760 untuk membiayai pembangun gedung seluas 270 m2, itu sangat berlebihan,” katanya.
Pernyataan kepala sekolah Ino Suparno tentang HOK, ia mengatakan bahwa pembangunan Gedung RPS tersebut dibangun selama 150 hari kerja. Begitu juga dengan pernyataan Sapras SMKN 11 Bandung, Martendi. Kepada wartawan Demokratis, belum lama ini, dia mengatakan bahwa upah yang dibayarkan untuk pembangunan gedung RPS tersebut adalah senilai Rp400.000.000. Apakah ini tidak terlalu mencolok?
“Ini sungguh luar biasa. Pembangunan gedung RPS seluas 270 m2 dikerjakan oleh 10 orang selama 150 hari kalender baru Rp100.000.000,” ujar Hery, ini benar-benar ngaco.
Apa lagi seperti yang dikatakan Murtendi, untuk membangun gedung RPS seluas 270 m2 sekolah harus meneluarkan biaya untuk tim perencana senilai Rp32.000.000.000, ditambah lagi harus membayar biaya tim pengawas senilai Rp21.000.000.
Berdasarkan dari pernyataan kepala sekolah dan Murtendi bisa dilihat bahwa pembangunan Gedung RPS di SMKN 11 Bandung tersebut bermasalah dan patut diduga saat dengan korupsi. Sehingga pihak penegak hukum wajar jika melakukan penyelidikan.
Selain itu, Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek juga perlu meninjau kembali program bantuannya, jangan sampa disalahgunakan oleh pihak panitia pembangunan di sekolah penerima. Pihak Direktorat harus transparan dan menginstruksikan kepada sekolah yang menerima bantuan agar transparan dan bersedia dikontrol oleh masyarakat, karena uang yang mereka gunakan tersebut adalah uang rakyat, seperti di SMKN 2 Bandung. Pihak sekolah ini juga tidak memberikan jawaban konfirmasi tertulis wartawan Demokratis. (IS)