Oleh Andri Wikono*
Selasa, 17 Mei 2016, sebuah esai berisi gagasan besar, terbit di Kompas. Berbagi Rasa Merdeka, judul esai itu.
“Sejak ditemukannya simbol dan aksara hingga hari ini, sebagian besar pustaka di dunia ini adalah pustaka tak bergerak,” katanya dalam esai tersebut. Karenanya ia tahu, bahwa pustaka bergeming ini kerap memancarkan aura kuasa dan pengetahuan. Tapi ia mengerti sebabnya: sejak peradaban berdiri, berawal pada masa sebelum kertas ada dan mesin cetak belum lahir, proses pembangunan pustaka terbilang perih, juga butuh dana dan waktu yang tak sedikit agar dapat mewariskan kazanah. Mitologi, puisi, filsafat, sabda, atau bahkan firman yang telah ditulis juga digandakan, menjadi berharga dan perlu ditempatkan di tempat yang istimewa bak pagoda. Sampai kemudian, “mereka yang memerlukan pustaka itu harus datang ke tempat pustaka itu dijaga, dan harus tunduk pada sejumlah aturan yang tak jarang menimbulkan rasa berjarak buat mereka yang pertama kali berkunjung.”
Sementara, dua tahun sebelum United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia paling rendah kedua di dunia dalam minat baca, Nirwan Ahmad Arsuka (sang penulis esai) sedang berkuda melintasi jalan-jalan kecil, dari Pamulang ke Parompong. Kuda itu mengantarkannya pada kenyataan tentang orang-orang yang lupa atau tak tahu asal-usul kampungnya. Tak ada catatan dalam buku. Tak ada apa yang disebut buku di sana. “Kalau cerita kampung itu hilang, mereka tidak ada ikatan emosional dengan kampung itu,” kata Nirwan. Orang-orang perlu membaca, mengenali, dan menimbang kampung halamanya agar mereka tidak bersedekap terhadap nasib kampungnya. Satu cara utama: buku-buku perlu diedarkan di sana, dan berharap mereka mencatat kampung halamannya.
Perpustakaan yang “berbenteng” dan akses bacaan yang sulit didapat, membuat Nirwan berinisiasi untuk memburu pembaca. Beberapa eksemplar buku diselipkan di kantung pelana sandalwood pony. Semakin merangsek Nirwan pada marwah buku, dan, barangkali menganggapnya lebih mendesak tenimbang teknik nuklir yang pernah ia geluti dibangku kuliah. Ditengah negara-negara yang berusaha memanfaatkan energi nuklir demi pengobatan kangker atau demi keamanan-kedigdayaan paling canggih dan menakutkan dengan bukti hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, Nirwan berbalik arah. Ia masuki lorong sepi. Ia pungut lagi sesuatu yang mendasar dan merupakan kearifan tua: pembangunan kemanusiaan.
Bersama kudanya, Nirwan menuju sudut-sudut terpencil di Indonesia. Dibawanya buku-buku itu melintasi semenanjung demi semenanjung, menanjaki kerakal di bukit-bukit. Kita kemudian mengenal gerakan ini sebagai pustaka bergerak. Nirwan tak sendirian. Ada cukup banyak volunter yang juga memburu pembaca dipelbagai daerah yang mereka tuju. Tak hanya kuda, masing-masing mereka punya jenis kendaraan sendiri seperti perahu, bendi, becak, sepeda, atau bahkan jalan kaki. Menariknya, hampir semua volunter memiliki latar belakang sebagai pekerja kecil seperti tukang tambal ban, tukang foto keliling, guru bergaji minim, atau kuli bangunan. Tiap kali melapakkan buku-buku, seringkali anak-anak, remaja, bahkan jika beruntung: orang tua, nimbrung. Mereka antusias mencomot beberapa buku.
Mengukur Gerakan
Tetapi, sesuatu mengganjal. Apakah gerakan tersebut efektif dalam menyebarkan budaya baca dan tulis? Jangan-jangan ia hanya lesatan-lesatan visual. Dalam sebuah acara di Cirebon, saya bertanya kepada penulis asal Barru, Sulawesi Selatan itu: bagaimana mengukur keberhasilan dari gerakan tersebut?
Sebagai orang yang pernah menulis esai berdasarkan manuskrip besar I La Galigo—epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis yang kurang lebih memiliki 6000 halaman atau 300.000 baris teks dan ditulis dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno; Iliad—wiracarita Yunani yang dituturkan oleh penyair buta, Homeros; atau Ramayana—epos India hasil gubahan Ratnakara; Nirwan tak memiliki jawaban sederhana. Satu indikasi keberhasilan yang paling sederhana dari gerakan tersebut adalah ketika pembaca meminta sebuah buku yang belum dituntaskan, meminta buku yang akan ia baca, atau bahkan meminta koleksi buku yang baru karena semua buku yang ada sudah dibaca. Dari mana gairah baca ini muncul?
Selain dari diri pembaca sendiri, juga tentu kendaraan pustaka yang menarik, orang-orang pun bisa terpancing oleh pola pustaka bergerak. Polanya seperti Homo Ludens—manusia petualang—, dan seorang volunter-nya bagai Habil si pengembara. Setiap waktu, mereka datang. Di waktu yang lain, mereka pergi. Ketidaktetapan ini, menurut Nirwan, bisa menimbulkan tanda tanya bahkan kegelisahan bagi para pembacanya. Dimana ya orang itu? Dimana ya paman itu? Dimana ya bibi itu? Dimana ya kakak itu? Pertanyaan yang juga dapat berarti dimana ya buku-buku itu? Mereka gelisah. Warga menelpon volunter agar datang melapak lagi. Inilah pola mengulur ruang dan waktu yang sengaja dilakukan agar dirindu. Pergi untuk dicari.
“Ukuran keberhasilannya juga dapat dilihat ketika jalan-jalan yang dulu rusak,” kata Nirwan, “kemudian volunter-volunter pustaka bergerak sering melintasinya sekaligus mem-viralkannya, hingga menggerakkan pemerintah setempat untuk memberbaiki jalan tersebut, maka dia (volunter) telah berhasil.” Jika Anda datang ke tempat yang sepi, tak ada kegiatan dan kumuh, tetapi karena Anda sering melapak buku di sana, sehingga tak lama kemudian tempat itu jadi ramai dan bersih, maka Anda berhasil. Jika Anda bisa membuat anak-anak fasih dalam membicarakan sejarah dan budaya, juga telibat dalam membentuk realitas sosial dan politik kampungnya sendiri, Anda berhasil. Jika Anda mampu mengubah masyarakat yang sebelumnya imperior terhadap orang asing, menjadi merasa setara dengannya, dan yang sebelumnya takut akan ide-ide ganjil menjadi lebih tenang dan terbuka terhadapnya: di sini Anda berhasil.
Adapun keberhasilan yang sangat tidak sederhana, misalnya, adalah ketika semakin banyak orang Indonesia yang meraih Nobel Prize, pungkas Nirwan. Kalau akhirnya orang-orang Indonesia bisa mengangkat mutu masyarakatnya, kalau kesenjangan atau ketimpangan ekonomi sudah semakin terkikis, maka kita sudah berhasil menerapkan kekuatan literasi.
Semua bentuk keberhasilan di atas hanya segelintir contoh. Tetapi dari sini, kita melihat bahwa Nirwan membayangkan gerakan pustaka bergerak bukan semata-mata sebagai peristiwa Calistung (baca-tulis-hitung), melainkan juga peristiwa sosial-budaya. Dan, pada kenyatan pergerakannya, volunter-volunter dipelbagai penjuru Indonesia pun, secara sadar atau tidak, telah mengetengahkan literasi selain teks. Mereka tak sekadar mengusung littera (kata Latin) dalam pengertian dasar sekaligus pertama, yakni aksara/abjad/huruf. Perluasan litteris mandare (mencatat) sebagai “sastra/pengajaran”, lebih diperluas lagi menjadi sesuatu diluar teks.
Literasi selain teks, misalnya, benda-benda khas tradisional suatu tempat seperti noken (wadah khas asal Papua usungan Noken Pustaka di Monokwari), bois (keranjang pangan usungan Bois Pustaka dari Banggai Laut), atau perahu (usungan Perahu Pustaka dari Mandar, dengan maksud melestarikan—meski simbolik—ilmu maritim nenek moyang). Keahlian-keahlian, tradisi, adat, hukum, mitos, nyanyian, dan lain segala yang tidak atau belum dituliskan, juga disebut literatur. Para volunter pustaka bergerak pun mengampanyekan literasi jenis ini.
Buku-Buku Hidup
Disamping, jika ditilik kembali, ada banyak variabel dalam gerakan tersebut. Tak hanya buku. Ditambah lagi niat baik mereka yang sering disalahartikan, seperti dianggap pedagang keliling, bahkan dicurigai sebagai penculik anak, plus, medan yang seringkali sulit dilalui ditengah kondisi ekonomi yang pas-pasan, rasa-rasanya, variabel utama dari gerakan ini adalah sang volunter itu sendiri. Volunter-volunter itulah buku hidup. Sebab saya lihat, diantara mereka pun banyak yang tidak hanya mengajar baca-tulis. Ada dari mereka yang membagikan pula ilmunya dibidang lain. Semisal workshop sablon cukil, fotografi, atau melukis. Sementara memang, seperti apa yang dicita-citakan Nirwan, para volunter pustaka bergerak mesti berjejaring. Tak pula hanya dengan para donatur buku atau sejenisnya. Individu-individu lain atau komunitas-komunitas lain yang mungkin tak hanya bergelut didunia perbukuan, amat dibutuhkan.
Bergabungnya individu atau komunitas dalam gerakan pustaka bergerak (atau sebaliknya), akan menambah nilai lebih. Disinilah situasi pertukaran pengetahuan lintas ilmu dan kemampuan lintas bidang terjadi. Komunitas reptil, contohnya, ikut bersatu dan mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dunia hewan. Komunitas pencinta gunung, memberi wejangan ihwal dunia pendakian atau siasat hidup secara survival di gunung. Individu-individu yang konsen dibidang ekonomi, robotik, biologi, fisika, sejarah, botani, dan lain sebagainya, ikut mengedarkan gratis ilmunya di tengah lapakkan buku-buku. Para usahawan-usahawan membagikan pengalaman bisnisnya. Para musikus mengajarkan kita bermain musik. Para seniman mabel mengajarkan keahliannya. Bayangkanlah semua bergabung tanpa pamrih.
Atas semua itu, bayangkanlah ruang dan waktu dalam gerakan tersebut, telah berfungsi layaknya sebuah sekolah, dimana semua mata pelajaran ada. Sekolah yang tanpa biaya. Tanpa hirarki rangking. Tanpa UN. Tanpa berebut reputasi. Tanpa perlu zonasi. Tanpa kurikulum nasional. Juga tanpa ijazah. Yang tanpa dinding. Yang tanpa pintu. Yang tanpa jendela. Yang belajar-mengajar dilakukan tepat berada di bawah angin. Sekali lagi mari kita bayangkan tentang adanya sekolah dalam pengertian paling purba: taman berbagi. Dan, tentang adanya sekolah dalam fungsi paling murni: belajar.
Tapi apa dengan begitu Nirwan menolak perpustakaan berdinding, mungkin pula sekolah bertembok? Saya kira tidak. Dalam esai Kisah-kisah Kuda Hingga Doa yang Melawan Mitos Indonesia Malas Baca, Nirwan mengakhiri tulisannya dengan doa: “Semoga ada perpustakaan menetap di sini.” Agar apa? “Agar anak-anak bisa membaca tiap hari.” Jadi, pola ketidaktetapan pustaka bergerak, pada akhirnya, bisa saja hanya sebuah stimulus agar perpustakaan menetap pun berlimbak-limbak di seluruh daerah, mungkin pula sekolah-sekolah gratis tumbuh di pelosok-pelosok sana.
Saya mengimajinasikan telunjuk Nirwan terangkat mengurai mendung di langit, lalu ia berkata, “anak-anak yang siap untuk mengikat diri secara produktif dalam pertautan besar yang kita sebut bangsa, dan mampu membaca buku raksasa alam semesta.” Nirwan berharap, kelak, anak-anak ini berada satu barisan sebagai warga dunia, sebagai open society. Merekalah yang bersekolah di sekolah semesta.
*Penulis adalah pegiat Senja Sastra