Oleh DR Mas ud HMN*)
Muhammad Busyro Muqoddas menyatakan bahwa Presiden Jokowi tidak layak jadi panutan dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia karena keputusan Presiden yang dianggap tak tanggap pada pemberantasan korupsi. Hal ini menimbulkan kegelisahan banyak pihak. Sehingga figur Jokowi tidak bisa dijadikan teladan dalam pemberantasan rasuah di negeri ini.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah membidangi masalah hukum yang juga mantan Ketua KPK itu mencatat bahwa kini korupsi telah berubah menjadi pola tindak kebrutalan dan radikal. Adanya kegelisahan pada sebagian besar adalah merupakan akibat tindakan Jokowi selama ini yang seolah-olah ingin menunjukan standar moralitas.
Seperti dilansir lawjustice.com semua ini berangkat dari langkah Jokowi bukan hanya pada soal korupsi saja melainkan dalam lain yang tidak bisa dijadikan teladan. Demikian Muhammad Busyro Muqaddas.
Pemberantasan korupsi dalam perspektif ke depan dengan merujuk pada paparan Busyro Muqaddas tentang policy Jokowi yang seolah-olah memberantas korupsi tetapi sesungguhnya tidak, maka ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Setidaknya untuk menjawab pertanyaan  korupsi dijadikan apa. Korupsi sebagai musuh atau korupsi sebagai komoditi politik. Jawaban yang pasti dapat disampaikan KPK sebagai lembaga yang anti korupsi dan Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan pemerintah.
Meski demikian sebagai pelengkap uraian bagaimana korupsi di tengah bangsa ini kita hendak mencoba melihat idealisme pemberatasan korupsi, memakai analisa sejarah dengan harapan bahwa kita antisipasi dengan tidak main-main.
Gerakan reformasi sebagai era koreksi terhadap era Orde Baru atau Orba membingkai retrorika idealisme baru yaitu pemerintah baru bersih berwibawa dengan anti KKN. Tidak kolusi, tidak korupsi dan tidak nepotisme. Intinya memberantas korupsi menjadi idealisme reformasi. Tindak lanjutnya lahirlah lembaga anti korupsi atau KPK. Tindak lanjut itu disadari adalah langkah awal, mengingat disadari permasalahan tidak mudah.
Sebagaimana kita ketahui di situ lah diletakkan dasar bahwa KPK itu adalah Ad Hoc dalam arti sementara karena lembaga lain belum berfungsi maksimal. Berkenaan perkembangan muncul masalah dalam istilah extra ordinary crime dan muncul istilah super body untuk KPK. Implementasinya adalah penyadapan telepon dan operasi tangkap tangan atau OTT. Singkat kata ini merupakan bentuk pemberantasan korupsi dengan aktor utamanya KPK. Banyak yang terkena mulai kepala daerah, pejabat tinggi negara dan anggota parlemen.
Tahap berikutnya adalah rervisi Undang-undang. Soalnya adalah dirasakan Undang-undang tentang KPK tidak lagi nyaman untuk diterapkan. Yang mengemuka adalah bahwa KPK itu tugasnya memberaantas korupsi, bukan OTT saja atau tidak melulu action OTT setiap kala. Sementara penyelewengan korupsi berjalan terus.
Dua bentuk pengejawantahan aksi KPK melawan rasuah pertama dibiarkan Presiden Jokowi beralasan tidak boleh intervensi penegakan hukum. Meski banyak kritik bahwa KPK berubah fungsi lupa pada posisi KPK yang Ad Hoc. Ada gejala menjadi super body. Paling berwenang dan kuasa.
Bisa jadi kondisi ini disadari anggota perlemen dan pemerintah dengan perlunya pengawasan lembaga KPK. Mengingat kerja yang gesit, cepat, ternyata uang negara yang diselamatkan dan hasil sitaan koruptor tidak seberapa.
Pada era kedua reformasi selesai diundangkan revisi tentang Undang-undang KPK, intinya KPK akan diawasi yang anggotanya ditunjuk Presiden. Dampaknya kuat pada posisi strategis KPK yang akan menjadi bawahan pengarahan dewan pengawas. KPK merasa dilumpuhkan.
Reaksi kalangan KPK amat menentang dan minta UU tentang revisi KPK dibatalkan dengan Perpu. Keberadaan KPK dengan segenapnya menunjukkan reaksi menolak keras dan menuduh Jokowi tidak konsisten dalam pemberantasan korupsi. Dipertanyakan standar moralitasnya.
Terhadap penolakan revisi Undang-undang yang dituntut yang pro KPK masih terus berlangsung. Belum ada titik temu. Yang pasti berada pada kekuasaan Presiden Jokowi. Di sana lah letak penentuannya. Kemana arah kebijakan akan diberlangsungkan.
Selanjutnya kita dapat mencatat dari dua tonggak pase era reformasi dalam hal korupsi lalu dihubungkan dengan perspektif kebijakan Jokowi yaitu membiarkan dan mengambil alih. Hal ini dapat disampaikan sebagaai berikut:
Pertama, mendukung penuh KPK pada awal pemerintahannya. Ia menjadi tokoh yang anti korupsi.
Kedua, mengambil kekuasan pada KPK dengan elegan melalui Undang-undang. Bisa dikatakan nggota perlemen menjadi tertuduh pelemahan KPK. Sementara Jokowi memanfaatkan UU tersebut dengan kuasa dewan pengawas yang ada pada personil yang ditunjuknya.
Terhadap posisi ini Jokowi mengolah taktik strategis meraih sisi positifnya. Akan tetapi posisi ini menjadikan formula inkosistennya Presiden Jokowi. Inkosistensi itu menghilangkan peluangnya untuk menjadi figur teladan bangsa. Wallahu a’lam bishawab.
Jakarta, 8 Desember 2019
*) DR Mas ud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta