Karimun, Demokratis
Operasional Kapal Produksi BUMN PT.Timah Tbk dikarimun sudah puluhan tahun berjalan terhadap IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang lazim disebut dengan DU, tak terkecuali DU 747 D yang belakangan cukup santer menjadi sorotan DPRD Karimun, karena adanya pihak nelayan yang melakukan penolakan terhadap rencana operasional beberapa kapal hisap produksi timah diperairan Tebing Karimun, alasannya sekitar keberadaan IUP PT. Timah tersebut adalah lokasi tempat nelayan menjaring ikan dan udang, padahal sebelumnya pihak PT.Timah sudah melakukan sosialisasi secara benar dengan berbagai pertimbangan bahwa DU 747 D tidaklah seberapa luas dan hanya beberapa titik yang sudah melalui survei tidak akan berdampak luas terhadap kehidupan biota laut Karimun maupun nelayan, karena PT.Timah memiliki rencana kerja yang terukur dan terpantau, kapal hisap sebagai armada eksplorasi disesuaikan dengan kondisi lapangan yaitu sistem cutter bukan kapal keruk, seperti kapal-kapal lain yang sudah operasi diperairan Kundur, sehingga nelayan juga bisa melakukan kegiatan seperti biasa, hanya perlu menjaga jarak dengan lokasi operasinya kapal hisap, buktinya nelayan Kundur masih bisa mendapatkan ikan dan dapat melaut seperti biasa, demikian yang disampaikan beberapa sumber kepada media ini di Karimun,(10/12).
Sementara itu dari pihak nelayan sendiri mempersilahkan PT.Timah beroperasi dengan mengajukan beberapa syarat yang cukup memberatkan dengan permintaan yang tidak masuk di akal, bahkan terkesan “mencekik” pengusaha kapal hisap seperti harus menyediakan setiap nelayan Pompong 3 GT full fiber, satu unit mesin Yanmar 16 PK lengkap dengan alat tangkap berupa jaring 50 utas yang berukuran 3 setengah inci per unit/nelayan padahal terdapat sekitar 30 KUB (Kelompok Usaha Bersama) dan setiap KUB nya rata-rata terdapat 20 orang anggota, ini sangat memberatkan PT.Timah karena nilainya bisa mencapai 140 per nelayan dan kesannya justru tidak mau kompromi dan bernegosiasi, padahal kita baru akan mulai beroperasi. Terkait hal ini sumber PT.Timah Tbk tetap akan mengupayakan tetap beroperasi karena dasar hukumnya juga jelas dan legal.
“Adapun sanksi hukum pidana setiap orang atau kelompok yang berusaha atau dengan sengaja melakukan perbuatan menghalangi aktivitas perusahaan tambang yang memiliki izin Usaha Pertambangan (IUP) menurut pasal 162 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) bisa dipidana paling lama satu tahun kurungan atau denda paling banyak 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, demikian diungkapkan pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Jakarta, Prof.Suparji Ahmad. Menanggapi kasus lain terkait reaksi nelayan terhadap Operasional Kapal hisap Produksi, “jadi nelayan itu bisa diseret ke ranah hukum,” demikian ucap Prof. Suparji. (DAR)