Setiap tanggal 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Peringatan Hari Nelayan Nasional telah ditetapkan pada tahun 1960 saat masa Orde Baru.
Hari Nelayan Nasional diperingati untuk mengapresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Peringatan ini merupakan tradisi turun-temurun untuk mengungkapkan syukur atas kesejahteraan hidup yang didapatkan dari laut.
Perayaan Hari Nelayan biasanya dilakukan dengan tarian tradisional dan pelepasan sajen ke laut dengan harapan agar hasil tangkapan nelayan semakin meningkat.
Upacara yang diselenggarakan setiap tanggal 6 April ini didasari oleh keadaan geografis Indonesia yang diapit oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Selain mencari ikan, tak jarang nelayan singgah dan menginap di pulau-pulau terluar saat berlayar mencari ikan. Mereka menjadi penjaga garis pantai terluar Indonesia, serta pemberi informasi terhadap kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia.
Nelayan juga berperan sebagai penyedia protein hewani dari sumber ikan, sebagai perekat hubungan antar daerah, dan sebagai penghasil devisa negara dari sektor perikanan dan kelautan.
Menurut situs Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim, penting mendidik setiap nelayan dengan berbagai cara tangkap hasil laut yang dikategorikan ramah lingkungan dan berkelanjutan akan membantu mengurangi kerusakan yang terjadi pada ekosistem perairan Indonesia.
Nelayan Indonesia
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan agar kalangan nelayan di berbagai daerah harus dapat memperoleh akses mudah kepada bahan bakar minyak (BBM) yang murah agar biaya melaut nelayan dapat ditekan dan pendapatan nelayan dapat meningkat.
“Kuncinya ada di kepastian kuota BBM pertalite dan solar bagi nelayan kecil dan memperbanyak infrastruktur distribusi agar nelayan tidak membeli BBM di eceran,” kata Ketua Harian KNTI Dani Setiawan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (3/4/2022).
Dani Setiawan menyatakan hal tersebut terkait dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan menyatakan bahwa pertalite telah masuk ke dalam jenis bahan bakar penugasan.
Menurut dia, konsekuensi dari perubahan ini antara lain regulasi yang dikeluarkan oleh BPH Migas harus diubah tentang syarat pembelian BBM untuk nelayan dengan memasukkan jenis baru ini.
“Sebab di lapangan, nelayan pengguna premium, sekarang pertalite, tidak bisa beli BBM di SPBU karena harus pakai surat rekomendasi. Kedua, harga beli pertalite di tingkat nelayan berpotensi lebih mahal karena sebagian besar nelayan membeli BBM di eceran. Hal ini akan menyebabkan biaya melaut nelayan lebih tinggi,” kata Ketua Harian KNTI.
Buat nelayan kecil, lanjutnya, dampak struktural hilangnya premium lebih besar daripada solar karena pengguna premium itu biasanya kapal kecil (berukuran 3 gross tonnage/GT ke bawah) yang menggunakan perangkat mesin tempel.
Jika diasumsikan mereka beli pertalite 5-10 liter per hari, menurut dia, maka biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp43.000-Rp85.000, dengan asumsi beli di eceran, atau 38 ribu-76 ribu, bila membeli di SPBU.
“Biaya yang dikeluarkan lebih besar dari sebelumnya ketika gunakan premium,” katanya.
Dani mengungkapkan, respons nelayan kecil terkait hal itu adalah dengan mengurangi pembelian BBM, yang akibatnya jarak tempuh atau lama melaut akan dikurangi, sehingga bisa berdampak pada berkurangnya pendapatan mereka.
Selain itu, ujar dia, respons nelayan kecil adalah dengan tetap membeli BBM dengan jumlah normal, yaitu jarak tempuh dan lama melaut tidak berubah, tetapi pendapatan akan menyusut dipotong biaya BBM. ***