POLITIK identitas belakangan menjadi isu besar dalam blantika pemikiran kebangsaan kita. Hal ini mengingat adanya penolakan politik identitas khususnya dalam konteks umat Islam pasca Pilpres yang disampaikan banyak tokoh. Itu lantas menjadi masalah debatable alias penuh pro dan kontra.
Sehingga timbul pertanyaan, seberapa bahayakah politik identitas itu? Mari kita respons dengan menghubungkan kedaulatan sebagai berikut ini:
Pertama, identitas itu mengandung kedaulatan yang utuh tidak terombang-ambing.
Kedua, identitas itu memberi ruang eksistensi berkelanjutan menjadi ciri yang membedakan dengan nilai yang lain.
Memang ada yang disesalkan dari asah intelektual sebagian kaum politik muda kita. Antara esensi politik idealisme dengan eksistensi politik praktis. Ironinya menjadi pertentangan dan pro kontra tidak dalam intelektual sehat.
Bagi yang tertarik mengamati sejarah politik Partai Masyumi akan menemukan hal seputar idealisme politik. Secara intern, partai banyak masalah, namun masalah yang berada pada posisi intelektual yang jernih. Menariknya soal pro dan kontra Amerika dari Partai Masyumi dalam politik luar negeri Indonesia yang baru merdeka. Dari segi idealisme dipresentasikan oleh sayap Burhanuddin Harahap dan Syafrudin Prawiranegara. Sementara sayap pro Amerika adalah Sukiman, Yusuf Wibisono dan Abu Hanifah.
Idealisme dasar Islam Masyumi sangat kuat. Artinya perjuangan untuk membangun Indonesia dengan kedaulatan, berkemajuan dan kemakmuran sangat jelas. Meskipun dalam kaitan cara mencapai tujuan terdapat variasi pandangan seperti disebutkan di atas. Termasuk politik luar negeri.
Bisa dicatat bagaimana kedua grup itu berargumentasi kuat dengan segenap alasannya. Dapat dicatat Sukiman adalah intelektual penting yang pro Amerika. Bagi Sukiman amat strategis untuk pro Amerika ketimbang nanti jatuh di bawah pengaruh Komunis yang notabene punya basis dalam negeri sejak awal kemerdekaan. Sukiman melihat bahaya faham Komunis.
Secara kategoris yang tidak pro Amerika identik dengan aliran idealis, sikap independen, kekuatan sendiri dan itu lebih ideal. Ketimbang pro Amerika (baca: Barat) yang memang diperlukan untuk mendukung pembangunan Indonesia, namun sangat berisiko. Barat adalah kaum penjajah yang identik dengan praktis atau eksistensialis.
Agaknya dua grup ini beranjak dari orsinilitas faham mencapai Indonesia yang kuat dan makmur. Namun yang terjadi tidak satupun grup itu mendominasi yang lainnya. Tidak sependapat namun terus seiring sejalan. Sama-sama kuat. Ini bukan dua nakhoda satu kapal dua tujuan. Tapi satu tujuan.
Sekali lagi tidak. Ini betul sebuah proses idealisme intelektual dengan imaniyah. Anti Komunis dan pro Amerika sebuah jalan. Tidak pro Amerika tapi anti Komunis sikap yang lain. Ide sama di situ adalah Indonesia yang kuat dan bebas.
Mungkin melihat kenyataan estimasi Sukiman memang terjadi. Yaitu dengan masuknya Indonesia di bawah pengaruh Komunis era Sukarno. Dengan puncaknya pemberontakan Komunis (Partai Komunis Indonesia). Hanya gagal. Lalu kemudian Indonesia menjadi pro Amerika di era Suharto. Yang kemudian membawa persoalan hingga Suharto pun jatuh dari kekuasaan.
Singkat kata, ini orsinil Masyumi. Yaitu anti Komunis tanpa pro Amerika. Inilah bentuk politik identitas yang ditunjukkan Masyumi. Tetap kokoh dalam politik identitas berkedaulatan.
Saya kira harus kita lihat dari idealisme. Sehingga politik identitas itu tidak diluluhkan ke dalam makna sempit. Seperti sekarang ini, yakni pecah belah. Melainkan dalam mengejawantahkan idealisme kedaulatan. Nilai idealisme yang membedakan dengan idealisme yang lain.
Akhirnya politik identitas tidak perlu ditakuti. Bahkan lebih dari itu, politik identitas dapat menjadi acuan politik kebangsaan ke depan. Karena berbasis nilai, kedualatan dan berkelanjutan. Wallahu a’lam bishawab.
Jakarta, 8 April 2022
*) Penulis adalah Dokter Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Uhamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com