Jumat, September 20, 2024

Sejarah Reog Ponorogo yang Diajukan Malaysia ke UNESCO

Malaysia mengajukan kesenian Reog Ponorogo sebagai sebagai kebudayaan negaranya ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Keputusan Malaysia tersebut tentu membuat masyarakat Indonesia gusar, khususnya seniman Reog Ponorogo di Jawa Timur.

Apalagi saat ini Indonesia juga sedang mengajukan Reog Ponorogo sebagai warisan budaya tak benda kepada UNESCO. Tak pelak, hal ini pun menuai reaksi keras dari Indonesia. Sebabnya apalagi ini bukan kali pertama Malaysia coba mengklaim kebudayaan Indonesia.

Lalu bagaimanakah sejarah kesenian tradisional khas Ponorogo, Jawa Timur, ini?

Wujud Reog adalah berupa barongan harimau berhias bulu merak yang mengembang. Sang pemain terkadang mengibas-ngibaskan bulu-bulu merak tersebut agar memunculkan keindahannya.

Dalam pertunjukan Reog, sepasukan prajurit berkuda atau jathil yang seorang sedang berangkat perang ikut mengiringi. Pertunjukan itu semakin lengkap dengan adanya para penari topeng pujangganong, penari kelana sewandana, dan penabuh alat-alat gamelan.

Di depan Reog berjalan para warok, laki-laki berbadan gempal berseragam hitam dengan bagian dada terbuka. Wajahnya sangar, dengan kumis dan jambang yang lebat. Mereka biasanya berjalan beriringan sambil menari dengan lincah mengikuti suara gamelan dan teriakan-teriakan “Hok’e hok’e Haaaaa..

Reog adalah kesenian tradisional khas Ponorogo, Jawa Timur yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Karena itu pula Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog.

Margaret J. Kartomi dalam “Performance, Music and Meaning of Réyog Ponorogo” di jurnal Indonesia No. 22, Oktober 1976, mengatakan “reyog” mungkin berasal dari kata “angreyok” yang ditulis pujangga Prapanca dalam Nagarakertagama. “Angreyok” berkaitan dengan dorongan semangat prajurit, pertunjukan tari reog, perang-perangan, dan mungkin berhubungan dengan pengetahuan militer kuno.

“Meskipun dapat dipastikan bahwa sebagian besar elemen dari Reyog Ponorogo memang sudah sangat tua, rujukan paling awal yang diketahui tentang bentuk-bentuk seni yang menyerupai itu terkandung dalam Serat Cabolang, sebuah tembang yang mungkin ditulis di Surakarta pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,” kata Margaret Kartomi.

Serat Cabolang mengisahkan pengembaraan Cabolang, putra seorang kiai di Ponorogo. Ia menyaksikan dan ambil bagian dalam sebuah pertunjukan yang mengisi acara khitanan.

Pertunjukan tersebut dimeriahkan 20 penari jaran (kura) kepang, lima gendruwon (sebutan lain Pujangganong) –semuanya warok– dengan tiga anak laki-laki kemayu (jathil) di tengah. Pertunjukan diiringi orkes srunen yang terdiri dari slomprit, angklung, kendang, kenong, dan kempul.

Seperti budaya-budaya lainnya di Indonesia, pertunjukan reog bertahan melintasi waktu. Beberapa melakukan penyesuaian sesuai perkembangan zaman. Jathil, yang awalnya diperagakan seorang pria kemayu, digantikan penari putri. Hasilnya, gerakan jathil menjadi lebih halus, lincah, dan feminin. ***

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles