Pengantar. Artikel ini merupakan trilogi tulisan, yaitu, APDESI dan 3 Periode, Antara Kepala dan Dengkul Terlampau Jauh Terbentang, Wacana Inkostitusional Merayap dalam Senyap, dan Kita Harus Bercermin Pada George Washington, ketiganya saling kait mengkait.
Silatnas (Silaturahmi Nasional) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) di Istora Senayan, Selasa (29/3/2022), dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Mendagri Tito Karnavian, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menkeu Sri Mulyani, dan kalangan Istana lainnya.
Silatnas berujung politis dengan menyampaikan dukungan 3 periode Jokowi sebagai Presiden. Sesungguhnya, tidak hanya APDESI yang mendengungkan dan menarasikan 3 periode bagi Jokowi, ada politisi, partai politik, dan sayap-sayap kekuasaan Jokowi, serempak menarasikan penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode Jokowi.
Akibatnya, menimbulkan kegaduhan nasional dan mendapat reaksi keras dari belbagai kalangan, terutama dari kalangan kampus (mahasiswa-bergerak), akademisi, dan kaum intelektual akademik yang berada dalam elemen civil society.
Benarkah itu aspirasi dan atau dukungan dari bawah tanpa campur tangan politik kekuasaan. Benarkah bahwa itu semua sebagai wacana demokrasi, sah-sah saja dan lumrah, dan itu sebagai bentuk dari sebuah demokrasi yang sehat dan dinamis. Aspirasi dan atau dukungan tersebut merupakan suara Tuhan (vox populi, vox dei) dari bawah, bukan top down seperti pada era rezim Orba (Orde Baru) Soeharto.
Bantah Membantah
Yang patut kita perbincangkan dan atau kita pertanyakan, apakah benar itu semua adalah aspirasi (suara Tuhan) dari bawah, tanpa ada campur tangan politis, dan merupakan kesadaran arus bawah?
Jika itu benar, sebab, apa kemudian hari saling bantah, dan saling berapologi bahkan beralibi, seperti apa yang dikatakan Mendagri, membantah pernyataan Ketua Umum (Ketum) APDESI Surtawijaya di berbagai media cetak dan media online.
“Deklarasi akan dilakukan per daerah dari Sabang hingga Merauke. Gerakan akan dimulai dengan pemasangan spanduk dukungan Jokowi 3 periode. Deklarasi akan dilakukan setelah Idul Fitri. Habis lebaran kami deklarasi. Teman-teman di bawah, kan ini bukan cerita, ini fakta. Apa yang kita inginkan, beliau kabulkan. Sekarang kita punya timbal balik, beliau peduli sama kita. Teman-teman sepakat tadi, 3 periode. Sebenarnya deklarsi akan dilakukan hari ini di depan Jokowi. Namun, Menko Kemaratiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melarang deklarasi itu.” (Ketum APDESI Surtawijaya, CNN Indonesia (29/3/2022).
Pernyataan publik Ketum APDESI dibantah Mendagri, bahwa dalam Silatnas tersebut tidak membahas dukungan pada Jokowi untuk 3 periode. APDESI menyampaikan empat aspirasi. Pertama, meminta agar gaji kepala desa per tiga bulan dijadikan satu bulan.
Kedua, minta APBDes itu sekitar 4 sampai 5 persen digunakan untuk operasional mereka, karena mereka enggak punya operasional. Ketiga, permintaan untuk merubah Perpres (Peraturan Presiden) terkait dana pandemi Covid-19. Ada Perpres yang digunakan oleh Peraturan Mendagri, Menteri Keuangan dan Menteri Desa minimal 40 persen (dana desa) digunakan untuk penanganan pandemi, bantuan tunai langsung bagi yang terdampak.
Mereka ingin diubah dari minimal ke maksimal 40 persen karena pandeminya sudah berkurang, masyarakat sudah stabil, jadi lebih baik digunakan untuk infrastruktur, bangun jembatan, saluran air dan lain-lain. Dan keempat, para kepala desa minta agar cap stempel mereka berlambang Garuda. Jadi enggak sepertinya capnya ormas (Mendagri Tito Karnavian, kompas.com (1/4/2022)).
Penjelasan Mendagri pastilah tidak salah, karena itu yang formalnya, sekalipun sekaligus juga harus dan atau patut dipertanyakan, karena kata Ketum APDESI jauh hari (waktu demo akhir Desdember 2021) hal itu telah disampaikannya.
Untuk itu, jika bukan karena untuk kepentingan politis dukung mendukung 3 periode Jokowi, tentu secara adminstratif ketatanegaraan bisa disampaikan jawaban dan atau penjelasan Pemerintah Pusat melalui mekanisme formal, bisa dalam bentuk Surat Edaran. Logika dan akal waras tidak bisa memahaminya, lompat melompat.
Pada sisi lain, harus kita katakan indikasi kuatnya adalah kepentingan politik atau adanya politisasi dualisme kepemimpinan APDESI. Ketum Surtawijaya menyatakan organisasinya adalah sah, telah terdaftar di Kemendagri. “Kami sudah memiliki Surat Keterangabn Terdaftar (SKT) di Kemendagri.” (tempo.co (1/4/2022)).
Kok bisa begitu? Bagaimana Mendagri memahami peraturan perundang-undangan, ketika APDESI Surtawijaya yang dianggap legal dan atau berhak untuk menggelar Silatnas, sedangkan APDESI kubu Arifin Abdul Majid menilai APDESI Surtawijaya adalah ilegal, karena dirinya sebagai Ketum APDESI telah mendapatkan pengesahan sebagai Ormas berbadan hukum sejak 2016 dengan Keputusan Menkumham No: AHU.0072972-AH.01.07 Tahun 2016 dan Keputusan Menkumham No. AHU.0001295-AH.01.08 Tahun 2021 tentang Perubahan Perkumpulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia dengan Ketua Umum Arifin Abdul Majid dan Sekjen Muksalmina (Dewan Pimpinan Pusat APDESI: Persyataan Sikap APDESI No. 061/rls-dppapdesi/III/2022).
Apakah itu dibenarkan ada dualisme kepemimpinan dalam satu wadah organisasi yang menyebut dirinya APDESI? Pertanyaan berikutnya, mengapa yang menggelar Silatnas adalah APDESI Surtawijaya, bukan APDESI Arifin Abdul Majid, ada apa?
Itu semua tidak ada penjelasan dari Mendagri, sehingga yang tak terbantahkan adalah fakta dan realitas politiknya secara de facto adalah bahwa APDESI Surtawijayalah yang diakui, yang direpresentasikan oleh sikap dan tindakan, dan tentu bisa kita baca benang merah politisnya.
Mendagri telah meregistrasi APDESI Surtawijaya tanpa mencabut dan atau membekukan keberlakukan APDESI Arifin Adul Majid, yang APDESI-nya mendapat pengesahan dari Kemenkumham. Sungguh luar biasa politik mempolitiki di negeri ini, dan itu tak bisa terbantahkan.
Untuk itu, jika kemudian publik menilai, mengapa APDESI Surtawijaya yang diakui, karena secara politis harus dikatakan bahwa kubu APDESI Arifin Abdul Majid tidak dan atau menolak dukungan 3 periode Jokowi. Secara politis APDESI kepengurusan Arifin Abdul Majid tidak menguntungkan bagi Istana.
Saling bantah pun kemudian terjadi pada diri Ketum APDESI Surtawijaya sendiri, menjadi paradoks. Dirinya membantah pernyataan dirinya sendiri di berbagai media setelah ada reaksi publik tentang dukungan 3 periode Jokowi. Tidak mengakui pernyataannya yang dimuat berbagai media.
Kita menjadi bertanya, apakah sedungu itu para jurnalis media nasional yang punya prestise tersebut, untuk mendengarkan dan atau mencatat pernyataan publik Surtawijaya kok salah atau ngawur. Hal itu tentu sangat naif. Di acara Kompas TV dan CCN Indonesia TV pun membantah, bahwa dirinya tidak mengatakan seperti itu yang ditulis berbagai media.
Yang menyesakkan dada bagi kita adalah Ketum APDESI Surtawijaya dengan enteng mengatakan, apalagi 3 periode, selamanya juga tidak masalah. Pada kedua acara TV tersebut, pernyataan Ketum APDESI Surtawijaya diulang dibacakannya, tetapi tetap pada penegasannya, bahwa tidak seperti itu apa yang ditulis dalam pemberitaan media.
Apologi balik pantat itu sesungguhnya bagi kita bukan hal yang baru apalagi mengagetkan, karena itu karakteristik gen politik kekuasaan dan kekuasaan politik yang meng-ada di negeri ini. Jejak digital seolah-olah bisa dilenyapkan begitu saja, dan bisa dibrangus dari ingatan kolektif kita. Lantas membuat cerita baru dengan narasi baru dan dengan diksi baru pula untuk mengubur jejak pernyataan yang sebelumnya.
APDESI Berpolitikkah?
Ketum APDESI mengatakannya boleh-boleh saja, teman-teman menyampaikan aspirasi dan atau dukungannya kepada Presiden Jokowi untuk berlanjut 3 periode atau selamanya. Agenda deklasinya diniatkan setelah Idul Fitri (Lebaran).
Jika seperti itu, berpolitikah APDESI, dan bolehkah? Boleh, jika peraturan perundang-undangan membolehkannya. Oleh karena itu, apa yang dinyatakan Ketum APDESI itu adalah kepala dan dengkul terlampau jauh terbentang.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa; Pasal 29 huruf (g dan j) melarang kepala desa berpolitik atau terlibat dalam politik praktis. Pasal 51 huruf (g dan j): Perangkat desa (pamong desa) yang terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis dilarang terlibat dalam politik praktis.
Larangan untuk BPD (Badan Permusyawaratan Desa) berpolitik, secara tegas dinyatakan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 pada Pasal 64 huruf (h). Pasal 30 ayat (1) merupakan pemberian sanksi jika ikut-ikutan berpolitik praktis, bisa dijatuhi sanksi pemberhentian sementara hingga pemberhentian permanen.
Bahkan, sanksi pidana juga bisa dikenakan, dimana UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 490 merupakan pasal pidana bagi kepala desa yang berpolitik praktis, dukung mendukung seperti dukungan 3 periode Jokowi.
Yang menarik adalah, ada apa dengan Mendagri, Presiden dan lingkaran Istana ketika APDESI menyatakan dukungan politik 3 periode dibiarkan begitu saja. Bukankah seharusnya dilarang dan atau diberikan peringatan keras, jika memang itu benar bukan sebuah desain dan atau skenario politik Istana yang memainkan papan catur politik.
Yang tak bisa terbantahkan adalah seperti yang dikatakan Ketum APDESI Surtawijaya (yang dilansir berbagai media online), waktu mau menyatakan deklarasi 3 periode saat Silatnas Pak Luhut (LBP) mengatakannya, tidak perlu koar-koar, dan Presiden juga menerimanya.
Artinya, jika dilakukan secara diam-diam, merayap dalam senyap, berarti itu dibolehkan dan atau didukung. Bukankah itu berarti tak bisa terbantahkan bahwa Istana sepakat soal itu? Itu pula, nyata-nyata bahwa APDESI sangat kasat mata dan vulgar, sehingga dengan sendirinya tak terbantahkan adalah berpolitik praktis, melakukan sikap dan tindakan politik namanya.
Yang menggelikan adalah Mendagri tidak membekukan dulu APDESI kepengurusan Arifin Abdul Majid yang telah mendapatkan pengesahan Kemenkumham, tetapi kemudian memilih, mengakui dan atau merestui APDESI kepengurusan Surtawijaya, untuk menggelar agenda besar yang bernama Silatnas bersama Presiden dan para pembantunya di Istora Senayan.
Agenda besar APDESI tersebut, yang tak terbantahkan adalah adanya fakta dan realitas terjadinya ejakulasi dini memberikan pernyataan politik, dengan amat gamblang mengatakan dukungannya kepada Presiden Jokowi untuk 3 periode, dengan alasan timbal balik balas jasa (berhutang budi).
Disadari atau tidak, akhirnya menimbulkan kegaduhan nasional dan mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan intelektual akademik, kampus dan para akademisi. Akhirnya, harus memainkan politik papan catur untuk saling bantah setelah Silatnas, termasuk Presiden sendiri, yang waktu itu menerimanya sebagai aspirasi politis APDESI.
Presiden Jokowi beserta jajaran Menteri dan kalangan Istana, saat Silatnas, justru terlihat sumringah. Tidak tampak ekspresi penolakan, yang seharusnya geleng-geleng kepala. Padahal, itu berarti antara kepala dan dengkul terlampau jauh terbentang. Bisakah itu kemudian dinafikkan sebagai sesuatu yang naïf dalam politik kekuasaan dan kekuasaan politik di negeri ini?
Lantas, Istana mecoba menjelaskan reka ulang kepada publik. Tetapi, itu semua sudah terlambat, karena semua itu sudah bagaikan gunung es yang tak bisa terbendung lagi, mencair dan melelah hingga ke akar rumput kampus-kampus di seluruh daerah.
Ketidakpercayaan itu yang kemudian menjadi gelombang reaksi secara nasional yang berbuntut panjang. Gelombang angin kampus yang mendera secara nasional pada Senin, 11 April 2022 dengan berdemontrasi di depan gedung DPR, yang semula diagendakan di depan Istana. Bahkan potensi gelombangnya tidak berhenti di situ saja.
Kampus memanggil (sebagai jeritan rakyat), ada 20 tuntutan yang diajukan yang berpotensi terjadinya gelombang reformasi kedua jika pintu krisis ekonomi terbuka lebar atau juga jika terus berlangsung memainkan politik papan catur merayap dalam senyap untuk menggoalkan perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen Pasal 7 UUD’45.
Fakta dan realitasnya, sayap-sayap kekuasaan Istana terus merayap dalam senyap, sekalipun kepala dan dengkul terlampau jauh terbentang, dan itu semua menjadi terbalik dengan ucapan Presiden Jokowi sendiri; hentikan bicara penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan 3 periode. Fokus, kerja, kerja!
Dukungan 3 periode dan atau wacana perpanjangan masa jabatan Presiden, bagi kita yang punya logika dan akal waras, tentu itu merupakan pengkhianatan atas amanat Reformasi 1998 yang berdarah-darah dan banyak menelan korban yang kita telah perjuangkan.
Dukungan tiga periode dan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden adalah merupakan dukungan dan wacana “mengkudeta” konstitusi, dan merusak demokrasi dan HAM (Hak Asasi Manusia) itu sendiri. Karena, demokrasi (yang sehat) tidak membiarkan kekuasaan berlama-lama dan atau tanpa batas.
Dukungan 3 periode dan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden, bagi kita yang punya logika dan akal waras, harus kita tolak, karena itu merupakan wacana yang oleh Bivitri Susanti dikatakan sebagai wacana inkonstitusioal.
Sedangkan yang memberikan dukungan 3 periode dan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dikatakan oleh Zainal Arifin Mochtar sebagai teroris konstitusi. Untuk itu, narasi-narasi itu harus kita tolak dan hentikan sebelum demokrasi kita makin rusak.
Oleh sebab itu, bagi kita yang punya logika dan akal waras, harus menolak dukungan 3 periode dan atau wacana tersebut. Mereka, terus merayap dalam senyap, agar sukses sampai di MPR di kemudian hari.
Untuk itu, bagaimana mungkin bagi kita yang punya logika dan akal waras akan mengatakannya, bahwa itu adalah demokrasi, hak berbicara setiap orang, dan merupakan HAM bagi setiap orang.
Penolakan itu, karena demokrasi nekleusnya adalah prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan dan atau adanya pembatasan atas kekuasaan yang absolut, dalam hal ini, masa jabatan Presiden, yang semula tanpa batas.
Kekuasaan yang bertengger lama akan menjadi otoritarian dan atau akan menjadi fasis. Syahwat politik dan libido kekuasaan akan terus membara untuk tetap ingin berkuasa dan menjadi penguasa. Itu semua akan menjadi bencana bagi negeri ini, bangsa dan negara. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com