Akhir-akhir ini ramai berita perihal mundurnya Hotman Paris Hutapea (HPH) dari Peradi pimpinan Otto Hasibuan. Walaupun belum ada kepastian terkait alasan mundur, sebagian publik sudah mencium adanya aroma masalah di antara kedua lawyer kondang itu.
Mengapa tiba-tiba HPH mengajukan surat pengunduran diri dari keanggotaan Peradi, yang notabene wadah tunggal advokat yang sah dan diakui IBA. Wadah tunggal yang Ikadin sejak adanya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
Penomena mundurnya HPH dari Peradi menjadi berita hangat. Ngetren di kalangan advokat Indonesia. Muncul pertanyaan, apa hubungannya kemunduran HPH dengan Otto Hasibuan?
Berita beredar, HPH meminta awak media untuk mengundang Otto Hasibuan adu debat. Dikabulkannya tawaran tersebut atau tidak, tergantung pada Otto Hasibuan. Begitu pula halnya dengan surat pengunduran diri Hotman Paris dari Peradi yang telah direspons Otto Hasibuan, selaku Ketua Umum DPN Peradi. Pada intinya, surat pengunduran diri tersebut, akan dipertimbangkan sesuai dengan mekanisme organisasi yang berlaku di Peradi.
Bicara soal pengunduran diri, memang merupakan hak asasi setiap manusia. Namun walaupun demikian, bila terkait dengan Peradi, maka hak tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Peradi, yakni merujuk pada ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
Dalam Pasal tersebut mewajibkan setiap advokat menjadi anggota Peradi tanpa melihat kondisi Peradi yang pecah. Banyaknya organisasi yang mengatasnamakan Peradi tidak serta merta membuat seorang advokat berbuat sesuka hati. Seseorang yang tersandung kasus kode etik, tidak bisa serta merta keluar dari Peradi dan mencari organisasi lain sebagai naungan dugaan pelanggan kode etik tersebut harus diproses terlebih dahulu.
Jika ditelisik, biang kerok kesemrawutan dan menjamurnya organisasi advokat saat ini adalah Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 073 Tahun 2015. Dalam surat tersebut, calon advokat dari organisasi manapun diperbolehkan diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi setempat.
Padahal, menurut tata urutan perundang-undangan, hukum atau peraturan yang lebih rendah statusnya harus tunduk pada hukum yang lebih tinggi. Surat biasa (bukan Surat Edaran) status hukumnya lebih rendah dan bertentangan dengan Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
Berkaitan dengan pengunduran diri HPH, tindakan tersebut merupakan suatu hal biasa yang terjadi dalam organisasi. Potret organisasi di era perpecahan ini merembet dengan terbitnya Surat 073 /2015. Surat tersebut merusak tatanan organisasi advokat Indonesia.
Maraknya organisasi advokat dengan aturan yang berbeda-beda, dipastikan berdampak pada kualitas calon advokat. Padahal profesi advokat harus memiliki standarisasinya.
Jika Peradi tetap dengan sistem single bar, pastinya tidak akan ada cerita soal anggota yang menyatakan pengunduran diri. Jika terbukti melanggar kode etik, hukuman skors 3 bulan, 6 bulan ataupun 12 bulan tidak boleh beracara, advokat tersebut pasti akan menerimanya.
Namun demikian, seandanya pindah organisasi jika terbukti bersalah, secara moral advokat tersebut sudah di hukum. Untuk itu janganlah melanggar kode etik. Apapun ceritanya, seseorang yang melanggar kode etik terbukti bersalah berdasarkan putusan Dewan Kehormatan (DKP) merupakan putusan akhir (inkrah).
Karenanya, berbahagialah seorang advokat yang menjalankan tugas profesinya dengan baik serta tidak melanggar hukum dan kode etik advokat. Dengan demikian, barulah yang bersangkutan tepat menyandang predikat profesi mulia dan terhormat (officium nobile).
Kesimpulan, tawaran adu debat tersebut tidak perlu ditanggapi dengan serius. Apa yang dilakukan oleh Otto Hasibuan semata-mata hanya menjalankan tugas sebagai Ketua Umum DPN Peradi. Masalah Hotman Paris dengan Otto Hasibuan tidak perlu dibesar-besarkan. Dalam organisasi, kesalahfahaman pastinya akan selalu terjadi di mana dan kapan pun. ***