Kepercayaan akan selalu sejalan dengan ucapan, per(kata)an dan perbuatan. Jika ucapan dan perkataan tidak lagi sejalan atau menjadi kebalikannya, niscaya kepercayaan akan hilang atau lenyap, dan tidak menyertainya.
Keniscayaan akan kepercayaan atas ucapan, perkataan dan perbuatan (sikap dan tindakan), value-nya berada dalam hal “konsistensi”. Jika tidak, akan menjadi hilang. Plintat-plintut, pancla-plence, bunglon atau bergantung pada deras arus, itu semua akan menyirnakan keniscayaan akan kepercayaan itu sendiri. Sungguh sulit membangun kepercayaan.
Bagi seorang pemimpin, kepercayaan (publik) menjadi persoalan fundamental sebagai legitimasi untuk terhindar dari krisis kepercayaan atas kepemimpinannya. Tidak hanya berhenti sampai di situ. Dampaknya akan menjalar pada krisis kepemimpinan, dan akan menjadi kegaduhan nasional jika kepercayaan itu hilang. Yang pada titik kulminasi akan menjadi masalah bagi bangsa dan negara. Menjadi niscaya adanya.
Mahfud MD (sebelum menjadi Menko Pulhukam, sebagai kaum intelektual akademik). Apa kata Mahfud MD: “Seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya oleh masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi karena tingkah lakunya, tak usah menurut hukum kita belum salah. Tidak bisa begitu. Mundur kata TAP MPR ini. Mundur kalau anda tidak dipercaya oleh masyarakat.”
Setelah menjadi Menko Pulhukam, video Mahfud MD menjadi olok-olok publik, satire yang meukul dirinya sendiri. Pernyataannya menjadi TikTok yang selalu diunggah ulang dan di-share ke setiap sudut ruang publik sebagai olok-olok, menggelikan dan menjengkelkan bagi kita yang mendengarnya.
Mahfud MD (setelah menjadi Menko Polhukam) menjadi garda depan rezim penguasa tatkala munculnya kegaduhan sosial. Yang oleh penyair sekaligus seorang filsuf (Prancis) Pierre Bourdieu dikatakannya sebagai pengkhianatan intelektual, untuk tidak ekstrim kita katakan sebagai penghamba kekuasaan ataupun pecundang (akademik).
Presiden Jokowi pada periode kedua ini dihadapkan pada pusaran tersebut. Jika tidak disadari intensitas, frekuensi dan resonansinya dalam ruang publik, akan menjadi keniscayaan pada krisis kepercayaan atas kepemimpinannya. Bisa jadi akan lengser di tengah perjalanan jika angin kampus makin menderu-deru berhembus kencang.
Pemicu utamanya nanti adalah jika terjadi krisis ekonomi (krismon), karena kesulitan mencari hutang luar negeri dan atau akan tetap merayap dalam senyap untuk bisa mengkudeta konstitusi; Pasal 7 UUD’45, perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Taat Konstitusi
Dalam sejarah, kita punya pengalaman buruk yang panjang dan pahit atas kekuasaan yang otoritarian. Hasrat hendak berkuasa senantiasa bersemayam pada para pemimpin setelah negeri ini menyatakan kemerdekaannya, Proklamasi 17 Agustus 1945.
OrLa (Orde Lama)-Soekarno, tak mampu mengendalikan syahwat politik dan libido berkuasanya, mendaulat dirinya menjadi presiden seumur hidup.
Jika saja Soekarno tidak ejakulasi dini, dan tidak mendewa-dewakan komunisme (PKI), berpeluang besar untuk bisa menjadi Presiden dalam waktu yang relatif lama ketimbang Orba (Orde Baru)-Soeharto.
Konstitusinya tidak membatasi masa jabatan Presiden, sehingga bisa dipilih kembali setelahnya, tanpa batas, apalagi mekanisme politiknya berada di tangan MPR(S). Soekarno tidak sabaran, merasa dirinya paling berjasa bagi negeri ini, dan merasa dirinya sebagai paling lima besar revolusi.
Sejarah bicara lain. Soekarno tumbang sebelum waktunya. Ada tiga hal pokok: karena memelihara PKI (Partai Komunisme Indonesia), selalu mendewakan sosialisme-komunis (PKI), dan bahkan men-Tuhan-kan sosialisme dengan mengatakan, “Kebudayaan dari suatu zaman adalah selalu kebudayaan kelas yang berkuasa” (berbasis dari pikiran Karl Marx).
Pada pidato ulang tahun PKI ke-45 mengatakan, “Tanpa kaum komunis, revolusi Indonesia TAK AKAN BISA SELESAI!” (Iwang Simatupang: Surat-Surat Politik 1964-1966, D.S. Muljanto-Taufiq Ismail: Prahara Budaya, Kilas Balik Ofesif Lekra/PKI, 1995).
Kedua, Soekarno dengan syahwat politik dan libido kekuasaannya makin represif, menyingkirkan demokrasi, menjadi otoritarian. Yang tidak sejalan dengan Manipol Usdek diganyang-istilah Lekra, bahkan dalam pamflet- pamflet Lekra menyebutnya ‘setan-setan kota’, ‘para komprador’, dan seterusnya yang bersifat permusuhan dan sangat agitatif. Yang dianggap tidak progresif revolusior, harus diganyang. Perang dingin di lembar kebudayaan sangat luar biasa dan masif.
Akhirnya, PKI menjadi senjata makan tuan. Puncak sejarahnya 1965, meletus peristiwa G30S/PKI, dan yang ketiga, karena krisis ekonomi yang melanda perekonomian bangsa. Rakyat menjerit dan berteriak tak tahan lagi. Makin menggesitkan resonansi kemarahan sosial.
Angin kampus bertiup kencang. Kampus memanggil: mahasiswa, akademisi, kaum intelektual akademik dan rakyat bersatu padu melawan otoritarianisme rezim Orla dengan Tritura-nya.
Angin kampus memilih takdir sosial lainnya. Jatuhlah rezim Soekarno. Yang dalam sejarah Gerakan Mahasiswa Angkatan 1966, dikenal dengan Angkatan ’66, yang sekaligus menandai genre sastra kita.
Tidak sedikit tokoh Angkatan’66 masuk Kabinet Orba dan atau berada dalam sumbu kekuasaan rezim, kemudian menjadi penghamba ataupun menjadi pecundang.
Hal itu tidak bisa dipungkiri sejarah. Setiap masa dalam era kekuasaan, fakta sejarah seperti itu benar adanya. Seolah-olah kita harus melegitimasinya sebagai “takdir sosial” di setiap era rezim penguasa. Sama halnya yang terjadi pada rezim Jokowi sekarang ini.
Soeharto, syahwat politik dan libido kekuasaanya dikemas dengan santun, ramah dan senyuman. Setiap kesempatan, dengan ramah dan tenang mengakatan, dirinya taat pada konstitusi.
Tidak pernah kecepolasan akan kekuasaan seumur hidup. Tetapi, jika itu bisa diakal-akali, mengapa tidak, sehingga mampu bertahan 32 tahun. Itulah kelebihan yang sekaligus kelemahan fatal dengan mekanisme pemilihan Presiden di tangan MPR jika hegemoni kekuasaan sedemikian kuat.
Soeharto sangat licin dan cerdas mengendalikan syahwat politik dan libido kekuasaannya. Paham dan mengerti betul bahwa konstitusi membuka peluang untuk tetap menjadi Presiden tanpa batas, asalkan bisa memainkan MPR. Di ruang publik tetap mendalilkan dirinya sebagai pemimpin yang taat konstitusi.
Untuk itu, upaya masif tetap dilakukan, bagaimana merayap dalam senyap, seolah-olah suara yang menggema itu adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei) dari bawah. Menembus tembok MPR, dan partai politik (parpol) sebagai tangan-tangan kepentingannya.
Untuk sampai pada telinga MPR, bermuncullah kebulatan tekad dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan pemuda. Kelompok Pencapir, sangat dikenal waktu itu. Soeharto secara rutin mendengarkan aspirasi (terselubung) itu. Katanya, hanya Soeharto yang bisa menjaga bangsa dan negara.
Merayap dalam senyap mengikuti skenario lakon: satu komando, satu sinyal dalam morse. Tidak mungkin jika tidak sistemik, tidak terstruktur dan tidak masif. Itulah kepiawaian Soeharto. Tidak bisa dipungkiri, dan itu tak terbantahkan dalam sejarah. Hal yang serupa dipakai juga oleh rezim Jokowi.
Jika Soeharto mendalilkan dirinya taat konstitusi, tetapi faktanya terus berkuasa, logika dan akal waras masih bisa terima. Konstitusinya terbuka ruang, tidak ada pembatasan masa jabatan Presiden. Tetapi, tidak bagi Jokowi, jika menempuh amandemen konstitusi merayap dalam senyap.
Demokrasi harus tetap dielu-elukan untuk mengelabui mata dunia, tetapi yang berseberangan, dibrangus, dipenjarakan, diculik dan atau dilenyapkan. Itu berlangsung dari 1971 hingga 1998.
Soeharto berkuasa 32 tahun itu tidaklah inkonstitusional. Rezim Soeharto jatuh, ada variabel penentu: represitas-militeristik-otoritarian-fasis, korup, dan ‘krismon’ yang mendera 1997-1998.
Lagi-lagi, takdir sosial sangat ditentukan angin kampus (bersama Tuhan-Allah SWT); mahasiswa, akademisi dan kaum intelektual akademik yang bersatu padu dengan rakyat pemilik kedaulatan, untuk memilih takdir sosial menuju takdir sosial lainnya
Soeharto harus segera dilengserkan. Benteng tirani kekuasaannya tidak bisa lagi mempertahankan. Angin kencang kampus yang makin menderu. Usianya menggerogoti kecerdasannya membaca situasi dan kondisi.
Krismon, menjadi pemicu utama. Angin kampus makin menderu, gelombangnya ke seluruh daerah. Soeharto tetap tampil dengan ramah, santun dan senyuman. Namun, ekspresinya tak mampu menyembunyikan kekecewaannya atas orang-orang di sekelilingnya sebagai pengkhianat.
Gedung DPR/MPR jebol didera angin kampus. Soeharto terpaksa memberikan pernyataan mundur dari kursi kepresidenannya pada Kamis, 21 Mei 1998. Sejarah mencatatnya sebagai Gerakan Reformasi 1998, setelahnya, sejarah menyebutnya Angkatan’98 atau Gerakan’98.
Gerakan’98, sesungguhnya telah menyala sejak 1974 yang dimotori Syahrir, Hariman Siregar dkk, yang dikenal sebagai peristiwa Malari’74 (Malapetaka Lima Belas Januari’74).
Setelah itu, kampus tetap membara, gelombangnya terus menggemerincing. Penghujung 1979 banyak menelan korban jiwa, seperti yang terjadi pada pendudukan kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) oleh militer (ABRI), dan kampus-kampus lainnya serupa juga.
Gerakan’98 dengan 6 tuntutan: Penegakkan Supremasi Hukum, Pemberantasan KKN, Mengadili Soeharto dan Kroninya, Pencabutan Dwi Fungsi TNI/POLRI (ABRI), Amandemen Konstitusi (pembatasan masa jabatan Presiden) dan Pemberian Otonomi Daerah Seluas-luasnya.
Merayap dalam Senyap
Taat konstitusi berkali-kali diucapkan Presiden Jokowi. Tetapi, sayap-sayap kekuasaannya merayap dalam senyap untuk bisa mengkudeta konstitusi menjadi tiga periode dengan membangun wacana berbaju demokrasi dan HAM dengan narasi yang digemakan adalah perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.
Dalilnya sama, hanya Jokowi yang bisa menyelamatkan negeri ini. Begitulah para penghamba kekuasaan dan buzzer-nya sebagai sayap Istana mendengungkan dan berdengung. Wacana tiga periode terus dinarasikan, digemakan sebagai wacana demokrasi.
Wacana tersebut, tentu sangat merusak fundamental demokrasi itu sendiri yang membatasi kekuasaan, yang oleh Bivitri Susanti dikatakannya sebagai wacana inkonstitusional.
Wacana inkonstitusional tersebut akhirnya menimbulkan kegaduhan nasional, tetapi dilakuan pembiaran, dan bahkan diproduksi kalangan Istana bersama sayap-sayapnya. Wacana inkonstitusional lantas dimainkan dengan politik papan catur. Dukungan tiga periode itu harus digolkan melalui amandemen konstitusi di MPR.
Padahal, wacana inkonstitusional itu sejatinya merupakan pengkhiatan atas amanat reformasi’98, apalagi jika itu benar-benar terjadi.
Logika dan akal waras kita harus mengatakannya, bahwa merayap dalam senyap itu merupakan rangkaian gerakan rencana kudeta konstitusi. Jika menggunakan politik kekinian kita disebut sebagai gerakan makar.
Tak ada kata yang lebih tepat selain apa yang dikatakan Zainal Arifin Mochtar, bahwa yang mendukung, yang menyuarakan dan atau menarasikan perpanjangan masa jabatan presiden itu harus dikatakan sebagai teroris konstitusi.
Apalagi, umpamanya, jika Jokowi baik langsung maupun tidak langsung, tidak terlibat dalam gelombang gerakan reformasi’98 yang berdarah-darah dan banyak menelan korban.
Jika hanya sebagai penonton, mudah-mudahan waktu itu bukan penonton yang mencemooh dan atau mengolok-olok aksi’98. Sebagaimana para penghamba kekuasaan, mencemooh dan atau mengolok-olok gelombang gerakan kampus memanggil dalam aksi demontrasi mahasiswa secara nasional yang dilakuan pada Senin, 11 April 2022 di depan gedung DPR.
Presiden Jokowi (kanal youtube Sertpres, Rabu 6/4/2022 mengunggah videonya) mengatakan, stop bicara perpanjangan tiga periode. Berkali-kali juga dikatakannya, bahwa dirinya taat konsititusi, dan itu jauh hari diucapkannya-sebelum 2022. Mengapa fakta dan realitasnya terus bergema dan merayap dalam senyap?
Pernyataan taat pada kosntitusi dan atau tegak lurus pada konstitusi itu ternyata mengandung makna konotatif dan metaforis, dan yang awam memahaminya secara denotatif, sehingga celaka dan akan mejadi bencana.
Terbukti, elit politik, sebagian parpol, para penghamba kekuasaan, buzzer, dan bahkan pembantunya sendiri, seperti Menko Marves, Menko Polhukam, Mendagri dan atau yang lainnya yang berada dalam lingkaran Istana tetap mendengungkannya. Pernyataan metaforis yang ambigu ditangkap sebagai sinyal politik yang bisa dimainkan dalam politik papan catur, merayap dalam senyap.
Untuk itu, tidaklah keliru apalagi dikatakan salah, jika tingkat kepercayaan atas pernyataan Presiden itu menjadi (sangat) rendah atau tidak dipercaya, lenyapnya keperceyaan publik.
Fakta dan realitas politiknya bisa dlihat dengan nyata, merayap dalam senyap. Artinya, jika politik papan catur itu bisa dimainkan, konstitusi dengan mulus nantinya bisa diamandemen.
Secara konotatif-ambigu, berarti Jokowi akhirnya mau dicalonkan kembali, dengan apologi ketaatannya dan tegak lurusnya pada konstitusi yang berlaku. Diakui atau tidak, itu yang mengemuka secara politis.
Ucapan dan kata: hentikan bicara perpanjangan masa jabatan, itu sama dengan menampar muka, dan menjerumuskannya. Secara tekstual tidak terekspresikan dengan tegas, tetapi di balik social text-nya-pinjam istilah Rocky Gerung, berbicara lain.
Di balik social text-nya itu mengafirmasi kebenaran spekulatif bahwa Presiden Jokowi berdiri di atas empat kaki, ambigu, karena lingkaran Istana ternyata masih tetap mewacanakan itu dengan berbagai dalil, hak berwacana dan bicara dalam demokrasi dikedepankannya.
Implikasi dari kausalitas sebab akibat di balik social text tersebut, melahirkan kegaduhan nasional. Kampus: mahasiswa, akademisi dan intelektual akademi menjadi gayung bersambut. Gelombang angin kampus kemudian menderu, melakukan aksi ekstra parlementer di seluruh daerah pada Senin, 11/4/2022.
Istana berupaya meredam, dan mengantisipasi dengan sinyal rapat kabinet yang mendadak. Tetapi resonansinya justru mengundang banyak pertanyaan.
Ada apa sehari menjelang gelombang kampus menderu, Presiden pada Minggu, 10/4/2022 tiba-tiba mendadak rapat kabinet membahas pelaksaan tahapan Pemilu, dan pelaksanaan Pemilu ditetapkan pada 24/2/2024? Mengumumkan pelantikan 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu periode 2022-2027 pada hari Selasa, 12/4/2022 di Istana Negara, dengan Keputusan Presiden No. 33 P Tahun 2022 dan No. 34 P Tahun 2022.
Tanda-tanda itu bisa dibaca dengan konkret. Bukankah hal itu mengafirmasi keniscayaan, sesungguhnya ada rencana atau niatan untuk menunda Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Semula, rencana penundaan Pemilu itu berbagai apologi dan alibi situasi dan kondisi dikedepankan, misalnya, masih adanya pandemi Covid-19. Padahal, alasan pokok tersebut terpatahkan jika kita sandingkan dengan alasan fakta atas Pemilu serentak 2020 harus tetap digelar, sekalipun di tengah puncak pandemi saat itu.
Penguatan Wacana
Penguatan wacana terus dilakukan. Untuk itu, kita harus kilas balik membaca dan melakukan pembacaannya secara historis. Mereka yang berada di sekeliling Istana, bukanlah patung-patung hidup. Mereka cerdik pandai.
Sejarah mencatat, mereka cukup panjang bersama Orba. Mereka bukanlah stunting dalam merespon sinyal politik. Mereka menangkap dengan cermat dan cerdas atas sikap ambigu Jokowi, sekalipun menjengkelkan buat kita.
Sehingga, jika konstitusinya membolehkan tiga periode, mengapa tidak! Untuk itu merayap dalam senyap untuk bisa mengamandemen konstitusi dulu, Presiden pasti taat konstitusi.
Politik papan catur, memainkan bidak-di-back-up peluncur, benteng dan menteri. Kuda harus melangkah zigzag, untuk menyamarkan, mengelabuhi pergerakan. Karena itu jalan terjal berliku. Merayap dalam senyap.
Tidak hanya APDESI. Sayap-sayap kekuasaan, penghamba kekuasaan dan buzzer merayap dalam senyap untuk dukungan Jokowi tiga periode dengan upaya membuka jalan amandemen konstitusi.
Logika dan akal waras kita sulit bisa menerima ke-logic-kan, dan bahkan tidak bisa dirasionalisasikan lagi, jika ada pertanyaan benarkah semua itu bergerak dan berdiri sendiri, tidak sistemik, tidak terstruktur dan tidak masif atau tidak ada kakak pembinanya?
Sekali lagi, wacana inkonstitusional itu merusak demokrasi. Demokrasi nukleusnya adalah pembatasan kekuasaan supaya tidak menjadi otoritarian.
Jika kekuasaan bercokol lama, instrumen negara tidak terhindarkan dipakai sebagai alat kekuasaan untuk merepresi siapapun yang tidak mendukung. Instrumen negara dipakai untuk melindungi segala tindakan dan kebijakan rezim penguasa. Sejarah itu tak bisa terbantahkan.
Menjadi keniscayaan terhadap apa yang ada di balik social text. Pernyataan Presiden yang diulang-ulang: hentikan bicara perpanjangan masa jabatan, ternyata politik papan catur tetap merayap dalam senyap.
Faktanya, merayap dalam senyap itu sudah jauh hari dilakukan dan berlanjut hingga sekarang. Itu semua bukan ilusi, dan bukan pula halusinasi dan atau imaji-imaji liar yang tak waras, yang tak bertuan, tetapi fakta dan realitas politik yang meng-ada, dan tak terbantahkan lagi atas keniscayaannya.
Sayap-sayap kekuasaan tetap merayap dalam senyap antara lain, RI Satu Jokowi, Kobar, Bara JP, GK Jokowi, Bravo 5, Sedulur Jokowi, Posraya, Almisbat, Balad Jokowi dan Jojo (Lipitan6.com, 26 Maret 2022, 16:00 WIB, Viva.co.id, Sabtu, 2 April 2022-12:08 WIB)
Relawan Jokowi Mania (JoMan) mendukung perpanjangan masa jabatan presiden (2-3 tahun) karena pandemi Covid-19. Wacana penambahan jabatan Jokowi itu bisa direalisasikan lewat amandemen UUD’45. (Detiknews, Kamis, 02 Sep 2021 09:21 WI, CNN Indonesia, Kamis, 02 Sep 2021 11:55 WIB).
Koalisi Bersama Rakyat (Kobar) memasang spanduk, tersebar di Kota Pekanbaru dengan tulisan: Rakyat Butuh Kerja Nyata dan Mendukung Presiden Jokowi untuk lanjut ke tiga periode. #2024SetiaBersamajokowi (Populis, Rabu, 9 Maret 2022, 00:00 WIB).
Tak mau ketinggalan kereta, Jokpro 2024 Galang Dukungan Jokowi 3 Periode, dan akan melakukan deklarasi secara nasional. Simpatisan Jokpro sudah tersebar di 32 propinsi seluruh Indonesia (JPNN.com, Sabtu, 05 Maret 2022 13:37 WIB).
Istana, masih tetap menarasikannya, dikemas dalam topeng bicara rasional dan bicara intelektual dengan mendalilkan kebebasan berwacana, bicara itu hak demokrasi dan HAM.
Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin: dukungan APDESI terhadap wacana Jokowi tiga periode, mempersilakan APDESI berbicara sesuka mereka, penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden. APDESI mempunyai hak untuk berwacana Jokowi tiga periode, masa tidak boleh, karena Presiden Jokowi tegak lurus, taat kepada konstitusi (Detiknews, 31 Mar 2022 17:33 WIB).
Penguatan secara tersamar pun terus dimasifkan. Menko Polhukam Mahfud MD: pemerintah tidak akan menghambat wacana politik dengan segala pro dan kontra yang terjadi (Koran Tempo, Selasa, 12/04/2022). Menko Polhukam pun memberi penegasan, itu urusan partai politik, bukan pemerintah.
Tentu bisa kita pahami. Artinya, jika MPR (DPR dan DPD) bersepakat mengamandemen, Jokowi pun taat konstitusi. Yang berarti masih mau lanjut ke tiga periode.
Politik post truth dipakai secara masif. Mendagri Tito Karnavian: konstitusi bisa diubah karena bukan kitab suci (CNN Indonesia, Kamis, 7 April 2022 07:26 WIB). Itu memberikan sinyal yang kuat bahwa amandemen konstitusi bisa dilakukan berbagai cara, merayap dalam senyap.
Bertolak pantat dengan Presidennya, mengatakan, stop bicara perpanjangan. Rakyat sedang dalam kesulitan karena kenaikan harga bahan pokok dan BBM (Ibid). Logika apalagi jika bukan untuk penguatan wacana inkonstitusional itu.
Penguatan merayap dalam senyap gamblang dinyatakan Ketua Wantipres Wiranto: Kepada teman-teman mahasiswa perlu kita diklarifikasi (setelah dialog cukup panjang), mengapa kita meributkan itu, tatkala itu masih berbentuk wacana.
Dalam UUD kita, berwacana itu boleh dan berwacana itu adalah hak azasi manusia, kecuali, tidak seorang pun bisa melarang orang berwacana, kecuali wacana tentang berbuat kejahatan.
Wacana untuk menimbulkan kekacauan di masyarakat. Wacana yang menimbulkan instabilitas di negeri ini, itu yang dilarang, tapi wacana-wacana lain dipersilakan.
Mari kita bicara rasional. Mari kita bicara intelektual. Dalam konteks UUD 45 karena akan menyangkut dalam pasal UUD45. Sekarang mungkinkah perubahan itu terjadi? Ini kan baru wacana.
Mengamandemen UUD harus kehendak masyarakat Indonesia yang direpresentasikan dalam majority di MPR, dan ada majority di MPR yang setuju di UUD ada perubahan mengenai jabatan presiden. Hal itu tidak mungkin terjadi. (Kompas.id, 8/4/2022 02.30 WIB, artikel Wiranto: Bersitengang Mempersoalkan Peristiwa yang Tak Mungkin Terjadi, dimuat di Kompas.id juga, materinya sama seperti dengan video yang diunggah).
Jika postulat yang dikedepankan seperti itu, bukankah wacana perpanjangan Presiden dan mengamandemen konstitusi fakta dan realitasnya justru menimbulkan kegaduhan nasional, ketidakstabilan dan kekacauan. Aksi kampus, 11/4/2022 membuktikan argumentasinya patah dan berantakan.
Apakah kita boleh mewacanakan Negara Khilafah dan memperjuangkannya? Jika tidak boleh megapa? Bukankah itu baru wacana, dan wacana itu baru bisa melalui amandemen konstitusi, dan MPR harus majority yang setuju?
Apakah wacana Negara Khilafah tidak akan menimbulkan kegaduhan nasional, kekacauan dan instabilitas, dan akan merusak Pancasila dan demokrasi, dan bubarnya NKRI?
Bukankah itu pasti akan menjadi kegaduhan nasional, kekacauan dan instabilitas di negeri ini. Bukankah jika wacana tersebut tidak dihentikan, atau berakhir dengan revolusi, pastilah akan menjadi bencana, berdarah-darah dan perpecahan bangsa.
Sebab, ada persoalan fundamental; pluralisme agama, dan ada keberagamaan yang beragam aliran meskipun dalam satu agama. Itu pasti akan berdarah-darah, dan bangsa menjadi terbelah.
Apakah tidak akan menimbulkan kekacauan dan perpecahan bangsa, jika ada upaya melalui berbagai narasi dan wacana, yang terstruktur, sistematik dan masif mengenai komunisme harus bisa hidup kembali, dan harus menjadi partai politik baru. Demokrasi dan HAM harus memberi ruang. Tidak bisa dibungkam atau dilarang.
Komunisme jika diberi ruang terbuka untuk bangkit, tidak akan lagi PKI namanya. Pastilah dengan nama lain. Taufiq Ismail (Penyair Angkatan’66 dan salah satu tokoh Manifes Kebudayaan) mengatakan, kita harus mewaspadai adanya KGB (Komunis Gaya Baru) mengingat peristiwa kejam dan kelam masa lalu.
Idiologi (komunis) tak akan pernah mati, itu dishahikan oleh politisi PDI-P dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati (Aku Bangga Jadi Anak PKI). Idiologi (komunis) tidak akan pernah mati, itu pun dinyatakan kembali oleh Ilham Aidit (anak D.N. Aidit) pada acara dialog di televisi. Konkret betul itu.
Sekalipun benar, tidak semua anak keturunan PKI akan menganut paham (idiologi) komunis seperti orang tuanya, dan bukan kemuskilan, yang bukan keturunan PKI pun bisa menjadi komunis akhirnya.
Untuk itu, jika ada ruang yang terbuka akan lahirlah KGB, dengan alasan hak asasi dan ruang demokrasi. Apa tidak akan menimbulkan kegaduhan nasional, kekacauan dan perpecahan bangsa? Apakah itu tidak akan menimbulkan instabilitas di negeri ini?
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 jika didengungkan kembali harus dicabut, dengan dalil melanggar HAM dan demokrasi. Apa itu tidak akan menjadi instabilitas negeri ini? Apakah itu tidak akan menimbulkan kegaduhan nasional dan perpecahan bangsa? Kampus pasti memanggil kembali dan bergerak.
Untuk itu, mari kita bicara rasional, dan mari kita bicara intelektual. Bisakah itu semua, logika dan akal waras kita menerimanya, dan mengatakannya, itu hak demokrasi dalam berwacana. Itu baru wacana. Setiap orang tidak berhak melarang berwacana.
Sungguh teramat naïf dan konyol. Logika dan akal waras mana yang bisa membenarkan, yang bisa melakukan pembenaran atas nama demokrasi, HAM dan konstitusi, selain pembenarannya dengan mendalilkan syahwat politik dan libido kekuasaan.
Perlu menjadi catatan yang harus kita stabilo, bahwa dalam politik, setiap detik atau dalam sekejap mata bisa saja berubah, karena adanya syahwat politik dan libido kekuasaan dari parpol itu sendiri untuk tetap berkuasa.
Di negeri ini, tidak ada hal yang tidak mungkin tidak terjadi dalam politik kekuasaan dan kekuasaan politik, sehingga keberadaan negara seringkali menjadi gugatan dan atau sekaligus dipertanyakan, di manakah kehadiran negara?
Pengalaman buruk yang panjang dan pahit, memberi pelajaran buat kita yang waras, bahwa di negeri ini dalam hal politik dan kekuasaan, tidak ada hal yang tidak mungkin bisa terjadi. Serba mungkin.
Semua bisa terjadi. Nyawa yang hak absolut Tuhan saja bisa dirampas begitu saja, bisa dilenyapkan begitu saja, karena politik dan kekuasaan, karena instrumen negara dijadikan alat kekuasaan rezim penguasa.
Siapa yang bisa membayangkan dalam kewarasan, dari Presiden ke Presiden tidak peduli dengan HAM. Tak merasakan pedih. Empatinya terkubur dalam-dalam. Tak pernah tersentuh nuraninya, manakala setiap Kamis-an melihat bergerombol pakaian hitam, payung hitam, dan pita hitam, berkumpul di depan Istana.
Mereka adalah sanak saudara dan kerabat keluarga korban atas pelenyapan nyawa sanak saudaranya. Merela adalah orang-orang yang masih punya air mata kepedihan atas korban penculikan dan pelenyapan nyawa para aktivis. Hingga hari ini tak pernah ada ujung pangkalnya. Masih ada aktivis yang hilang atau belum ditemukan hingga hari ini. Masih kasat mata kita melihat tindak kekerasan aparatus negara dalam setiap gelombang aksi kampus.
Sungguh betapa konyol, mengajak bicara rasional dan bicara inlektual, tetapi argumetasinya intelektualnya berantakan. Argumentasinya bersandar pada politik kekuasaan dan kekuasaan politik. Berlepasan dari argumentasi intelektual akademik.
Yang (pasti) akan terjadi, jika kampus; mahasiswa, para akademisi dan kaum intelektual akademik yang berada dalam civil society dan atau rakyat banyak tidak bersuara, berdiam diri, dan berpangku tangan, tidak melakukan penolakan dengan reaksi yang keras secara nasional, bisa dipastikan apa yang bakal terjadi?
Kudeta konstitusi akan berjalan mulus. Merayap dalam senyap tak akan berhenti jika belum sampai tujuan, bahkan para penghamba kekuasaan mengatakan, biarkan saja Presiden ngomong hentikan bicara perpanjangan masa jabatan, kami (akan) terus bersuara dan bergerak untuk sampai di MPR.
Merayap dalam senyap akan terus dilakukan. Jika sudah menggelembung menjadi mayoritas, akan dijadikan dalil untuk melakukan amandemen konstitusi untuk masa jabatan presiden bisa tiga periode apalagi disokong mayoritas parpol.
Sipa bilang Istana berhenti bersuara? Dengan tersamar masih berlanjut, dengan mendalilkan demokrasi dalam wacana. Ketua Wantimpres berapologi, bahwa itu sebagai kebebasan berwacana.
Padahal, wacana itu sangat merusak demokrasi. Apakah wacana yang merusak demokrasi harus kita dibiarkan? Bukankah demokrasi adalah untuk mencegah dan atau membatasi kekuasaan, karena kekuasaan yang tanpa batas akan menjadi otoritarian dan fasis.
Wacana yang merusak demokrasi merupakan wacana yang inkonstitusional, sehingga alasan rasionalitas apa, dan alasan logika dan akal waras yang mana, bahwa wacana tersebut merupakan pembenaran atas nama demokrasi dan HAM.
Jika kita mau berwacana yang sehat, seperti yang dilontarkan Salim Haji Said: masa jabatan Presiden sebaiknya tidak perlu dua periode, cukup satu periode saja; 8 atau 10 tahun.
Itu wacana demokrasi yang sehat dan cerdas, bukan wacana demokrasi yang jahat. Itu wacana dengan logika dan akal waras namanya. Premis itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Apa yang dilontarkan Salim Said, itu sangat rasional dan bisa dirasionalisaikan. Sebab, karakteristik para pemimpin kita, syahwat politik dan libido kekuasaannya terus membara. Begitu juga dengan parpolnya.
Empirik sejarahnya, kekuasaan yang lama selalu saja menjadi otoritarian dan fasis. Untuk dua periode masa jabatan saja, periode keduanya tersungkur dalam kekuasaan politik dan politik kekuasaan yang otoritarian.
Menjadi korup, dan instrumen negara tak terhindarkan lagi menjadi alat kekuasaan, menjadi represif. Fasilitas negara menjadi tak terhindarkan dipakai untuk kepentingan politiknya dalam mensukseskan periode keduanya bagi petahana (incumbent). Itu soalnya. Itu yang terjadi di negeri ini.
Teroris Konstitusi
Tentu, kita baru akan yakin, atau mencoba untuk bisa percaya, jika Presiden mengatakannya dengan tegas seperti Presiden Amerika Serikat Geoge Washington ketika kanan kirinya menekan dan mendaulat untuk menjadi Presiden ketiga kalinya (lengkapnya bisa dibaca pada artikel: Kita harus Bercermin pada George Washington).
Oleh sebab itu, logika dan akal waras kita bisa menerima ketika Zainal Arifin Mochtar dalam webinar “Demorasi Konstitusional dalam Ancaman”, Rabu, 16/3/2022, mengatakan, siapapun pelakunya, kita harus naming dan shaming sekarang.
Harus beri catatan khusus. Nama-nama orang yang mendukung dan membenarkan isu perpanjangan masa jabatan presiden (lewat penundaan Pemilu 2024) harus diberi catatan khusus sebagai teroris konsitusi.
Orang-orang yang mencoba bermain-main dengan masa jabatan presiden tersebut berhadapan tidak hanya dengan konstitusi dan demokrasi, juga berhadapan dengan seluruh penduduk Indonesia (Kompas.com, 16/3/2022, 17:17 WIB).
Agar kita bisa percaya, yang menampar muka dan yang menjerumuskannya seharusnya dibredel, dipecat dengan tidak hormat. Bukan kebalikannya, pembiaran. Bagaimana kepercayaan (publik) bisa kembali pulih jika seperti itu.
Tidak cukup dengan ngomong saja atau marah-marah soal itu, lalu videonya diunggah di kanal Setpres, di-share ke medsos untuk rakyat mendengarkannya. Kita diminta kemaklumannya, begitu?
Bagaimana kita harus mempercayainya, antara kata dan tindakannya ambigu. Sebelumnya, tidak akan merevisi UU KPK, faktanya sebaliknya. Tidak lagi impor, faktanya sebaliknya.
Produk lokal (gerabah) akan membanjiri pasar dunia, faktanya, produk impor yang membanjiri kita. Mobil Esemka, faktanya, mobil-mobilan, dan masih banyak lagi fakta dan realitasnya antara kata dan tindakannya yang ambigu, berdiri di empat kaki, bukan dua kaki lagi.
Itu semua untuk menyadarkan kita pada semua persoalan di balik social text tersebut. Mereka tidak sadar diri, tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Soeharto jatuh, merekalah yang menikmatinya.
Kita tentu mencoba memahaminya, jika Presiden tidak bersikap, kecuali hanya bisa sekedar ngomong, keluh kesah dan marah-marah pada menterinya, lantas rakyat harus mendengarkannya, untuk memberi kemakluman, seolah-olah selesailah tanggung jawabnya seperti dalam sintron kejar tayang.
Pada akhirnya apa yang dikatakan Rizal Ramli tak bisa terbantahkan lagi, Istana dikelilingi Peng Peng; Ya Pengusaha Ya Penguasa sekaligus. Itu soal dan problemnya. Lantas, bagaimana mungkin kita yang punya logika dan akal waras harus percaya begitu saja?
Mungkinkah Jokowi Jatuh?
Merayap dalam senyap akan terus dilakukan atau diupayakan untuk meredam aksi kampus. Trik dan intrik biasanya dilakukan dengan masif.
Sesama mahasiswa (BEM SI) dibentur-benturkan. Aksi (mahasiswa) akan dibenturkan dengan (adanya) penunggang gelap, penumpang gelap dan pembonceng. Itu semua biasanya akan didramatisir, agar gerakan kampus terpecah belah, dan selalu akan ada aksi mahasiswa (BEM) tandingan yang lebih gagah perkasa.
Mungkin mengira, dengan Presiden ngomong tidak ada penundaan Pemilu, kampus tidak akan lagi bergerak. Patut dicatat, kampus bergerak tidak hanya soal penolakan penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode Presiden.
Ada sejumlah tuntutan yang krusial: soal stabilitas harga kebutuhan pokok dan atau ekonomi. Sejumlah 18 tuntutan diluar soal tiga periode itu bisa jadi menjadi naïf untuk bisa ditunaikan oleh Presiden.
Pasalnya, Presiden (negara) sendiri sangat amat kesulitan mencari hutang untuk menyelamatkan perekonomian negara. Di sisi lain, membengkaknya hutang luar negeri, yang sudah tak mungkin lagi untuk menerbitkan SUN (Surat Utang Negara), sedangkan pertumbuhan ekonomi terbilang stagnan.
Akibatnya, sangat berpotensi terjadinya krismon seperti pada 1997-1998 jika hutang luar negeri tidak didapat. Sementara, China-Komunis kerabat dekat rezim masih harus konservatif, tengok kanan kiri, masih konsentrasi membantu invasi Rusia membombardir Ukraina.
Untuk menghindari kejatuhannya, satu-satunya dewa penolong hanyalah dari hutang luar negeri. Semua sudah diakal-akali; menaikkan PPN, (akan) menaikkan harga BBM, elpiji melon, tarif listrik. Mengenakan tarip biaya akses NIK dan seterusnya.
Di lain sisi, korupsi tak terkendalikan lagi, merajalela dari Sabang hingga Merauke. Aparat penegak hukumnya menyelam sambil minum air (kotor). Berburu waktu, untuk mewujudkan ambisi politik mercusuarnya, dipaksakan harus terwujud.
Itu semua tak akan mampu menolong APBN, justru akan menjadi senjata makan tuan. Gelombang aksi akan makin membara secara nasional jika derita ekonomi menjadi ketidakpastian. Kemarahan sosial akan makin menjadi dan akan memuncak, tidak akan terbendung lagi.
Pemberian subsidi dan atau bantuan tunai pada akhirnya hanya merusak mentalitas masyarakat KPM (Keluarga Penerima Manfaat), dan tidak saja karena persoalan tidak tepat sasaran, tetapi juga terjadi penyutan di lapangan. Yang oleh Faisal Basri dikatakan, akibat ulah pemerintah masyarakat menjadi rusak.
Gelombang kampus, tidak serta merta bisa dibaca sebagai berakhirnya tiupan angin kencang. Bisa jadi, jika Presiden gagal memenuhi tuntutan mahasiswa-bergerak secara nasional, menjadi sinyal yang harus dibaca sebagai tuntutan Jokowi harus mundur dan atau dipaksa harus mundur seperti 1998, karena dianggap telah gagal dan atau sudah tidak dipercaya lagi, kebijakannya menimbulkan kegaduhan sosial, dan kemarahan nasional.
Gelombang kampus 11/4/2022 belum bisa menandai bakal jatuhnya kekuasaan rezim Jokowi. Paling tidak harus ada variable sebab akibat lainnya, yaitu, merayap dalam senyap berhasil mengkudeta konstitusi, dan krismon terjadi serupa 1997-1998.
Krismon sinyalnya sudah di depan pintu dengan adanya kebijakan yang sensitif urusan derita rakyat yang akan berlanjut dengan kemarahan sosial karena: menaikan BMM, elpiji, tarif listrik dan seterusnya. Kebutuhan pokok yang mahal dan langka, dan korupsi yang merajalela, dimana aparat penegak hukumnya menyelam sambil minum air (kotor).
Kesulitan hutang luar negeri akan memperjelas sinyal kemungkinan krismon, apalagi jika jatuh tempo kewajiban pembayaran hutang tak bisa dipenuhi atau di-rescheduling. APBN kita akan ambruk.
Kita tentu harus menolak lupa, dan kita pun harus menolak melupakan melawan lupa. Takdir sosial bangsa dan negara bergantung pada kita. Tidak sekonyong-konyong datang dari langit, karena kabar dari langit sudah terbaca. ***
*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com