Jakarta, Demokratis
Pembahasan legislasi di DPR diharapkan dapat lebih banyak melibatkan publik. Sebab, undang-undang (UU) yang baik, tentu harus berguna untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu contoh UU yang melibatkan masyarakat dan berdampak adalah UU tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
Demikian disampaikan oleh Peneliti senior BRIN Siti Zuhro menanggapi pernyataan ketua DPR Puan Maharani terkait dengan kinerja legislasi para wakil rakyat. Beberapa waktu lalu, Puan meminta kepada anggota DPR agar tolok ukur program legislasi yang dirumuskan DPR, tidak berdasarkan dari banyaknya UU, tetapi kualitasnya.
Siti menegaskan untuk membuat UU yang berkualitas tentunya lebih banyak lagi melibatkan masyarakat sipil, sehingga aspirasi yang diserap lebih komprehensif dan berdampak bagi rakyat.
“Produk legislasi ini akan dieksekusi sebagai keputusan politik. Ketika dieksekusi oleh eksekutif yang menerima dampaknya adalah rakyat. Harus ada perumusan yang betul betul sampai ada konsultasi publik yang gayeng, betul enggak pasal ini ayat ini akan berdampak positif terhadap negara bangsa terutama,” kata Siti, Sabtu (30/4/2022).
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengungkapkan kuantitas produk perundangan memang selalu menjadi sorotan kinerja legislasi DPR. “Tentu beban legislasi itu selalu menjadi sorotan DPR ya kuantitas, tetapi hari ini, periode ini, sangat produktif, cukup banyak,” ujar Willy.
Kinerja legislasi pada tahun prioritas 2022 mencatatkan sembilan RUU yang sudah selesai, termasuk RUU TPKS yang sudah disahkan. Kemudian masih ada 11 RUU dalam tahap pembahasan, sembilan RUU berstatus terdaftar, tiga RUU dalam tahap penyusunan, enam RUU dalam tahap harmonisasi, dan dua RUU dalam tahap penetapan usul.
Akan tetapi, menurut Willy, UU TPKS termasuk cepat dalam pembahasan sekaligus tidak meninggalkan substansi. Dalam waktu delapan hari, RUU itu selesai ditingkat pembahasan. Ada tiga hal yang menjadi penting.
Pertama, kesamaan kehendak politik dari DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan RUU tersebut. Kedua, partisipasi dan dukungan dari elemen masyarakat yang terus mengalir. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah juga melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.
“Political will DPR dan pemerintah memiliki frekuensi yang sama, ditambah partisipasi publik yang begitu intensif dan DPR yang terbuka, sidangnya terbuka semua. Enggak ada yang diumpet-umpetkan,” katanya. (Kurai)