Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pemdes Patimban Diduga Lakukan Pungli SKD/SKA Hingga Ratusan Juta Rupiah

Subang, Demokratis

Dugaan tindakan Pungli yang berlangsung sejak lama di tubuh Pemerintah Desa (Pemdes) Patimban, Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, seakan tak tersentuh aparat peĀ­negak hukum.

Tidpikor Polres Subang dan Satgas Saber Pungli Kabupaten Subang diminta segera memeriksa oknum Pemdes Patimban yang diduga telah melakukan pungutan liar (Pungli) uang garapan ribuan hektar tanah timbul/negara (TN) hingga ratusan juta rupiah, yang saat ini dijadikan lokasi pembangunan pelabuhan internasional.

Padahal, bila merujuk ketentuan yang berlaku Pemdes dilarang mengutip biaya administrasi terhadap jasa layanan masyarakat. Hal itu seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi (Permendes PDTT) No 1 /2015, Jo Psl 22, ayat (1) berbunyi desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat desa, ayat (2) Jasa layanan itu, meliputi ; a). Surat Pengantar b). Surat Rekomendasi dan c). Surat Keterangan. Dengan begitu pungutan yang dikutip dari warga yang ingin memperoleh Surat Keterangan Desa (SKD) dan Surat Keterangan Amprahan (SKA) dianggap Pungli. Sementara praktek Pungli bagian dari perbuatan korupsi.

Informasi yang berhasil dihimpun awak media dari berbagai sumber menyebut, warga yang mengajukan permohonan garapan tanah timbul/negara (TN) harus mengantongi Surat Keterangan Desa (SKD) atau Surat Keterangan Garapan (SKG) dari Pemdes setempat.

Tapi ternyata tidak mudah, untuk memperoleh dokumen hak garap setiap warga pemohon harus merogoh koceknya hingga Rp 2,5 juta/SKD untuk disetor kepada Pemdes setempat. ā€œSaya bersama sejumlah KK lainnya telah mengajukan permohonan garapan tanah timbul ke desa, saya memohon luasnya sekitar dua hektar. Untuk mendapat SKD saya menyetor Rp 2,5 juta,ā€ ujar R (57 th) penduduk setempat.

Saat itu, menurut mereka, sudah ratusan lebih warga yang mengajukan SKD/SKG, agar bisa menggarap lahan timbul di kawasan pesisir pantai desa tersebut. Bahkan, menurut mereka, kutipan biaya tidak hanya dikenakan terhadap warga yang mengajukan permohonan SKD/SKG tanah darat saja, tapi bagi mereka yang ingin menandai garapan tanah timbul masih berbentuk laut (cakupan lahan/tanah timbul) agar bisa memperoleh dokumen Surat Keterangan Amprahan (SKA) juga dikutip biaya sebesar Rp 500 ribu/bidang/pancer.

ā€œMereka yang berminat menggarap tanah timbul masih berbentuk laut, istilahnya amprahan atau mengamprah, juga dikutip biaya Rp 500.000/bidang/pancer,ā€ ujarnya.

Ketika ingin dikonfirmasi awak media di kantornya, Kades Patimban Darpani Taufik tidak berada di tempat. Namun kepada sejumlah media online lokal Darpani mengakui, adanya pungutan sejumlah uang terhadap warga yang mengajukan SKD/SKG/SKA. Tetapi uang pungutan itu dimasukkan ke kas desa untuk digunakan keperluan pembangunan desa. ā€œUangnya masuk ke kas desa, sebagai sumber penerimaan APBDes merupakan PAD,ā€ ucapnya.

Menurut Darpani, diterbitkannya SKD/SKG dan SKA berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) dan direkomendasi Panitia Amprahan. Pihaknya menegaskan, tidak sembarangan dalam membuat kebijakan Amprahan (pematokan kawasan laut untuk cakupan lahan timbul), karena sudah berdasarkan Perdes dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak Pemkab dan BPN Subang.

ā€œSaya tahu, laut memang aset milik negara/pemerintah. Makanya saya tidak sembarangan. Saya buat Perdes sebagai payung hukum amprahan. Perdes tersebut bukan semata produk desa, karena telah ada kajian hukum dari Pemkab (Bagian Hukum dan Pemerintahan Setda Kabupaten Subang) dan BPN,ā€ paparnya.

Darpani berdalih kebijakan amprahan diterbitkan sebagai antisipasi mencegah konflik atau rebutan tanah timbul/negara di kalangan masyarakat. ā€œTanah timbul, kan berbeda dengan tanah negara. Sebelumnya tidak ada bentuk fisiknya, tetapi tanah timbul fisiknya karena proses sedimentasi. Makanya untuk mencegah konflik (rebutan) solusinya dengan model amprahan. Jadi sejak dini sudah diantisipasi, masing-masing warga pemohon dapat sekian hektar. Sehingga begitu jadi tanah timbul, diharapkan tidak rebutan lagi, sekaligus untuk menyelematkan aset negara,ā€ tandasnya.

Keterangan diperoleh awak media, klaim Kades Patimban Darpani terkait pembuatan Perdes pungutan SKD/SKA itu kontradiksi, lantaran permohonan rekomendasi/pengesahan Perdes No 7 Tahun 2013, tentang Tata Tertib Garapan Tanah/Lahan Timbul/Negara ditolak oleh Pemkab Subang melalui surat bernomor : 180.01/1424/HK, tanggal 11 Oktober 2016 yang ditandatangani Asda Bidang Tata Praja H Asep Nuroni S Sos MSi saat itu. ā€Dengan begitu Perdes itu batal demi hukum,ā€ ujar aktivis DPD FBB Kabupaten Subang yang juga pemerhati Pemerintahan RAA Hakim SIp saat ditemui di kantornya.

Hakim yang jebolan Unpad jurusan public policy ini menambahkan, ā€œJikapun Perdes itu direkomendasi/disahkan Bupati tetap saja batal demi hukum, lantaran bertentangan dengan regulasi pemerintah lebih atas. Hal ini seperti merujuk PMDN Nomor 11/2014, Jo Psl 3 berbunyi Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan labih tinggi.

ā€œTerkait dengan regulasi pengaturan tanah timbul/negara itu menjadi ranahnya pemerintah atas, jadi bukan ranahnya pemerintah desa sebagaimana diatur di Permen ATR/BPN No 9 tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Lebih teknisnya diatur melalui Surat Edaran (SE) Menteri ATR/BPN Nomor : 410-1293 Tahun 2006, tentang Penertiban Tanah Timbul/Negara dan Tanah Reklamasi, ditegaskan jika tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, dimana penguasaan pemilikan serta penggunaannya diatur oleh Kementerian terkait sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,ā€ pungkasnya.

Tetapi pada kenyataannya, saat ini tanah timbul/negara di wilayah Desa Patimban secara bebas diperjual belikan, terlebih lagi ramainya pembangunan pelabuhan. Pembelinya tak tanggung-tanggung dari kalangan perusahaan besar, utamanya dari kota metropolitan Jakarta dan sekitarnya. ā€œPemkab Subang diminta harus segera merespon, terutama soal status tanah timbul/negara ini,ā€ ujar Asep, tokoh desa setempat. (Abh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles