Apa yang ada di dalam pikiran kita saat mendengar profesi dukun? Apakah sosok yang sangat berkaitan erat dengan dunia spiritual atau magis? Sejarawan UIN Raden Mas Said Surakarta, Martina Safitry mengungkapkan, sisi lain dari profesi dukun berdasarkan ilmu sejarah.
Berdasarkan kamus Inggris- Melayu yang diterbitkan pada 1701 Masehi (M), dukun tidak didefinisikan sebagai orang yang memiliki kekuatan spiritual. “Tapi orang yang punya keahlian khusus,” jelasnya dalam sebuah diskusi secara daring, beberapa waktu lalu.
Sebuah penelitian menyebutkan stigma negatif pada dukun diduga muncul ketika Thomas Stamford Raffles tiba di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Namun temuan ini harus diteliti lebih lanjut secara mendalam. Pasalnya, Martina hanya fokus melakukan riset dunia perdukunan pada abad ke-20.
Memasuki abad ke-20, dukun dalam ensiklopedi (1917) didefinisikan sebagai praktis pribumi yang memiliki segala keahlian termasuk medis. Dukun dideskripsikan sebagai profesi yang lebih didominasi perempuan dibandingkan laki-laki pada masa tersebut.
Mereka terlibat di setiap kelahiran bayi, mempunyai kekuatan dan jimat untuk menangkap pencuri, bisa memijat, membuat jamu, menjadi pimpinan bersih desa, dan sebagainya. Dikatakan, definisi dukun kala itu tidak terlalu didominasi unsur magis melainkan kesehatan atau medis.
Pergeseran definisi justru terjadi pada tahun setelahnya apabila merujuk pada Kamus Sastra Jawa yang diterbitkan pada 1939. Dukun pada kamus tersebut didefinisikan sebagai pengobat penyakit, pemberi mantra, dan lain-lain sehingga terlihat ada dominasi makna magis.
Lalu berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dukun didefinisikan jauh dibandingkan rujukan-rujukan tahun sebelumnya. Dukun diartikan sebagai orang yang mengobati, memberi jampi, dan profesi dukun lebih beragam tapi mulai didominasi dukun yang magis.
“Seperti dukun beranak bisa medis, ya. Kemudian dukun klenik, dukun susuk, dukun siwer, dukun calak, dukun japa, dukun tiban, dukun tenung, dan lain-lain. Semua ini dukun santet, supranatural, gaib. Ini menunjukkan dukun semakin dikerdilkan,” ungkapnya.
Saingan dokter
De Haan mencatat, Batavia saat itu sebenarnya didominasi orang-orang Eropa. Pada masa tersebut, dukun justru disebut sebagai saingan dari dokter. Pasalnya, banyak masyarakat termasuk orang-orang Eropa lebih memilih pergi ke dukun.
Sebuah penelitian yang ditulis antropolog dari Belanda menyebutkan, dukun pada abad 20 memiliki pengetahuan anatomi tubuh manusia dan fungsi organ. Mereka memiliki kemampuan untuk mendiagnosis penyakit dan menanganinya.
Pada masa tersebut, sebetulnya sudah ada pengakuan bahwa dukun memiliki pengetahuan medis. Namun seperti ada ketakutan dengan adanya pengakuan tersebut. Mereka khawatir orang-orang Eropa akan lebih memilih ke dukun dibandingkan ke dokter.
Lalu sebenarnya sejak kapan dukun distigmakan negatif di Indonesia? Menurut Martina, hal ini mulai terjadi ketika fasilitas kesehatan dan literatur kesehatan meningkat. “Seperti sudah ada gagasan Sekolah Dokter Jawa pada 1851 lalu Sekolah Bidan pada 1851 juga,” ujar perempuan berhijab ini.
Sekolah Dokter Jawa awal mulanya hanya ditunjukkan untuk menelurkan mantri cacar atau juru suntik. Para pelajarnya menjalani pelatihan hanya dua tahun. Sistem ini sengaja diterapkan karena khawatir dokter pribumi akan menyaingi dokter Eropa apabila diberikan kurikulum lengkap dan banyak.
Hal yang pasti, kata Martina, pendirian Sekolah Dokter Jawa juga sebenarnya terdapat unsur politis. Pasalnya, saat itu terdapat wabah penyakit cacar yang menjangkiti pekerja-pekerja di perkebunan sehingga dibutuhkan tenaga medis yang banyak secara mendesak. Pada akhirnya, dibangun sekolah pelatihan juru atau mantri suntik cacar.
Seiring waktu, Sekolah Dokter Jawa mulai diperbarui namanya menjadi STOVIA. Kurikulum di sekolah tersebut pun diubah sehingga para pelajar harus menjalani studi sampai sembilan tahun. Lulusan sekolah ini disamakan dengan dokter-dokter Eropa.
Di samping itu, ada pula Sekolah Bidan yang didirikan pada tahun yang sama, 1851. Namun sekolah ini ditutup pada 1879 lantaran jumlah pelajarnya sedikit. Lulusannya tidak bisa terserap di masyarakat karena banyak yang tidak puas dengan bidan
Banyak masyarakat yang tidak percaya karena lulusan bidan kebanyakan masih muda-muda. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan dukun beranak di masyarakat. Mereka didominasi orang-orang yang lebih sepuh atau berpengalaman dalam membantu melahirkan.
Sekolah Bidan kembali dibuka pada 1891 karena kebutuhan yang mendesak. Pada masa tersebut juga timbul wacana untuk bisa melatih dukun bayi. Hal ini terutama mengenai masalah higienitas saat proses melahirkan bayi.
Lulusan-lulusan dari sekolah ini akan memunculkan elit kesehatan baru di masyarakat. Kemudian mereka lambat-laun menggantikan dan mengeser posisi dukun di masyarakat Jawa.
Menurut Martina, ada upaya terstruktur untuk melekatkan stigma negatif kepada para pelaku pengobat lokal. Salah satunya dari literasi yang banyak berkembang pada awal 20. Naskah-naskah cerita kehidupan banyak menulis tentang dukun dari ranah medis.
Ada pula karya ilmiah tentang kesehatan kampung yang diterbitkan Balai Pustaka. “Di situ ditunjukkan betapa buruknya kondisi kampung di Hindia Belanda dengan pengobat lokal,” ungkapnya.
Selain itu, terdapat kampanye kesehatan yang dilakukan pada masa wabah pes. Saat itu terdapat film tentang cara menghindari pes. Salah satu adegan menampilkan cara dukun menangani pasiennya dengan cara tidak higienis seperti meludahi minuman sehingga terlihat tidak sesuai dengan prosedur medis.
Kemudian, terdapat visual pada kartu pes yang dicetak. Kartu tersebut memperlihatkan penampilan dukun yang kemudian dibandingkan dengan lulusan sekolah bidan dan dokter. Lulusan sekolah kesehatan ditampilkan dengan pakaian putih, bersih, rapih sehingga terkesan profesional.
Sementara itu, dukun ditampilan sebagai orang berusia tua dan memakai pakaian yang kurang meyakinkan. “Jadi di sini terlihat jelas ada upaya stigmatisasi terhadap dukun,” kata dia menegaskan. ***