Subang, Demokratis
Fenomena rencana pembangunan gedung SMA Negeri Binong di lahan percontohan pertanian (demplot) BPP Kecamatan Binong, terus berpolemik.
Kali ini, muncul dari para petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) KTNA Kecamatan Binong menolak rencana penggunan lahan demplot pertanian yang akan digunakan pendirian SMA Negeri Binong dan sekaligus akan minta beraudiensi dengan Bupati Subang H Ruhimat terkait persoalan SMA Negeri Binong.
Ketua KTNA Kecamatan Binong Iin Warsinta menyatakan untuk meyampaikan aspirasinya ingin ketemu langsung dengan Bupati Subang H Ruhimat alias biasa disapa Kang Jimat melalui audensi yang ia gagas, guna membahas persoalan pendirian SMA Negeri Binong.
“Kami para petani dari sembilan Kelompok Tani Desa (KTNA Tk. Desa) se-Kecamatan Binong yang tergabung di Gapoktan Kecamatan Binong (KTNA Kec. Binong) menyatakan menolak atas penggunaan lahan demplot pertanian terkait pendirian SMAN Binong dan kami akan minta ketemu langsung sama Pak Bupati, untuk audiensi terkait SMA Negeri Binong,” tegas Iin kepada sejumlah awak media dilansir jabarpress.com, Selasa (24/5/2022).
Terlihat di lapangan para petani sudah memasang plang di lahan pertanian percontohan atau demplot BPP yang akan dibangun SMA Negeri Binong tersebut.
Ungkapan para petani yang tersirat pada plang/banner berukuran jumbo itu berisi penolakan petani atas penggunaan lahan demplot sebagai lokasi pembangunan gedung SMA Negeri Binong.
“Kami pengurus KTNA, Gapoktan dan Kelompok Tani Kecamatan Binong menolak adanya Pembangunan SMU Di Lahan Demplot BPP Binong yang Merupakan Tempat Informasi dan Pengembangan Inovasi Bagi Para Petani. SUBANG JAWARA akan selalu menjaga dan mendukung ketahanan pangan nasional serta menjadi lumbung padi nasional.”
“Pepeling Ti Patani: Arek Boga Hate Bersih Jeung Pikiran Jernih, Kumaha Bisa Nyaah Ka Patani, Mun Beuteungna Peurih?!” demikian isi plang tersebut.
“Kami para petani siap terus akan mempertahankan lahan percontohan pertanian ini, demi mendukung ketahanan pangan nasional,” tegas Iin.
Tak sampai di situ, terkait penolakan penggunaan lahan demplot pertanian diperuntukan SMA Negeri Binong, turut angkat bicara aktivis senior asal Binong, Wawan Setiawan atau akrab disapa EyangTugu mendesak Gubernur Jabar dan Bupati Subang segera merespon aspirasi para petani terkait permasalahan SMA Negeri Binong dan menyelesaikan pro kontra yang terjadi serta menagih komitmen keduanya untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.
“Saran kami bagi Gubernur dan Bupati, sebaiknya segera respons dan bantu selesaikan aspirasi para petani itu sebagai wujud mendukung program ketahanan pangan nasional,” imbuh Wawan.
Wawan juga menegaskan, sesungguhnya para petani tidak menolak adanya pembangunan SMA Negeri Binong. Mereka hanya menolak dan keberatan atas digunakannya lahan percontohan pertanian atau demplot sebagai lokasi pembangunan sekolah.
“Menurut saya perlu meluruskan juga bahwa para petani enggak menolak adanya SMA Negeri Binong, yang mereka tolak adalah digunakannya lahan demplot pertanian sebagai lokasi sekolah,” tegasnya.
Karena itu, ucap Wawan, mengacu kepada sertipikat HGP No. 2/Desa Kihiyang atas nama Departemen Pendidikan Nasional Cq. Departemen Pendidikan Nasional Kab. Subang yang konon sebagai pengganti lahan BPP (ruislag-red) yang berlokasi di Desa Kihiyang, dimana peruntukkannya buat pembangunan SMU Negeri Binong, maka seharusnya pendirian sekolah dilakukan di lokasi tersebut.
“Di sertifikat Hak Guna Pakai atas nama Disdik Kab. Subang terletak di Desa Kihitang itu kan jelas peruntukkannya buat sekolah SMU Negeri Binong. Kenapa harus mengganggu lahan yang lain atau memaksakan membangun di lahan yang lain? Manfaatkan saja lokasi itu, janganlah menambah persolan baru,” ujar Wawan Tugu.
Lebih jauh Wawan Tugu mengungkapkan sudah semestinya baik peperintah pusat dan daerah harus sepenuh hati menjalankan program ketahanan pangan dan menjamin perlindungan terhadap petani untuk menghasilkan tanaman kebutuhan pangan dengan terus menjalankan program Reforma Agraria secara mendasar sesuai UUPA 1960 sebagai faktor pendukung dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan dalam soal pengadaan lahan tanah agar bebas dari ancaman dan gangguan mafia tanah.
“Berbicara persoalan pangan, tentunya kita berbicara masalah hajat hidup orang banyak, sebagaimana pernah dikatakan Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama RI dalam sebuah pidatao peletakan batu pertama pendirian kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 27 April 1957, bahwa “Urusan pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa,“ maka untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pendirian SMA Negeri Binong, H Dadang, menegaskan, tanah pengganti lahan BPP yang berlokasi di Desa Kihiyang itu tidak bermasalah dan cukup produktif menghasilkan padi.
“Setahu saya lahan pengganti tidak bermasalah. Status bersertifikat, sawah produktif, per musim hasil panen tidak kurang dari 6 ton terletak di tengah hamparan pesawahan,” ujar H Dadang.
Dia juga mengungkap alasan lebih memilih lahan BPP sebagai lokasi pembangunan sekolah ketimbang tanah milik disdik yang di Desa Kihiyang.
“Pertimbangannya kalau dibangun di lokasi itu (Desa Kihiyang), sekolah tidak akan berkembang dan hanya akan buang dana pemerintah jadi akan mubazir,” katanya.
Dia juga mengungkap, tanah pengganti yang ditukar guling (ruislag) dengan lahan BPP Binong itu luasnya tiga hektar, terdiri dari satu hektar tanah pemda atau disdik yang di Desa Kihiyang dan dua hektar lagi berlokasi di Kecamatan Compreng.
“Menurut keterangan dari Pemda, ruislag tanah BPP 1 hektar ditukar dengan 3 hektar. Yakni 1 hektar sawah di Desa Kihiyang dan 2 hektar lagi di Kecamatan Compreng. Tapi saya enggak tahu lokasi di Comprengnya,” pungkasnya.
Sementara itu, salah seorang inisiator pendirian SMA Negeri Binong, Iwan Masna, mengungkap alasan panitia pendirian SMA memilih lahan BPP sebagai lokasi sekolah karena letaknya strategis dan tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk pembelian lahan.
“Pertimbangannya strategis dan kalau mencari lahan masyarakat pasti harus dibeli. Panitia darimana uangnya untuk beli lahan. Maka yang paling mungkin adalah lahan pemerintah, karena itu mekanismenya ruislag (tukar guling lahan),” ucapnya.
Iwan juga mengungkap alasan pihaknya tidak memilih lahan PGRI sebagai lokasi sekolah, meskipun peruntukkannya buat pendirian SMA Negeri.
“Kalau pakai lahan sesuai sertifikat HGP di desa Kihiyang yang dikelola PGRI Kec. Binong itu sulit karena harus melibatkan guru-guru, seperti lahan tanah kekayaan desa (tanah bengkok), enggak cukup persetujuan desa tapi juga harus libatkan warga. Kalau lahan pemda kan cukup dengan persetujuan Bupati melalui mekanisme ruislag dan ini bukan hibah sehingga tak perlu persetujuan DPRD,” jelasnya.
Dia juga membantah kabar bahwa lahan pengganti di Desa Kihiyang itu bermasalah atau milik Heri Tantan.
“Lahan pengganti itu juga tidak bermasalah, sertifikatnya ada, peruntukkannya juga jelas untuk pembangunan sekolah SMA Negeri. Soal kabar itu yang Pak Heri, saya tidak tahu, yang jelas di sertipikatnya milik Pemda,” katanya lagi.
Iwan juga menyebut lahan pengganti itu produktif menghasilkan gabah.
“Lahan pengganti itu sekarang ini pesawahan dan bisa menghasilkan sekitar 6 ton gabah setiap panen,” ucapnya.
Selanjutnya, Iwan menjelaskan alasan pihaknya menginisiasi pendirian unit sekolah baru (USB) SMA Negeri di Kecamatan Binong. Menurutnya, meski di Binong sudah banyak berdiri sekolah SMA/SMK, tapi statusnya swasta dengan biaya pendidikan yang relatif mahal. Sementara SMA berstatus negeri belum ada. Sehingga pihaknya merasa terdorong untuk membantu masyarakat memasilitasi pendirian sekolah negeri dengan biaya pendidikan terjangkau.
“Pendidikan itu adalah hak masyarakat dan pemerintah wajib menfasilitasi karena itu amanat Undang–undang. Betul di sana memang banyak berdiri sekolah setingkat SMA, SMA dan Aliyah, misalnya SMA/SMK Astha Hannas, tapi di Binong belum ada SMA berstatus negeri. Sedangkan SMA-SMA non negeri itu biayanya relatif lebih mahal dan pangsa pasarnya beda. Memang ada SMK, tapi proyeksi lulusannya untuk bekerja, sementara SMA proyeksinya untuk melanjutkan kuliah. Aliyah juga pangsa pasarnya lebih ke keagamaan. Jadi kami ingin melengkapi fasilitas itu dengan menyediakan SMA Negeri,” beber Iwan Masna.
Pihaknya juga mengaku heran kenapa baru sekarang ada penolakan atau komplen dari masyarakat terhadap rencana pendirian SMA Negeri Binong tersebut. Iwan pun mempersilakan pihak–pihak yang tidak puas atau merasa keberatan, untuk melakukan upaya hukum PTUN.
“Dulu waktu sosialisasi, enggak ada masalah, enggak ada yang komplen, baik dari petani maupun pihak BPP sendiri. Kenapa sekarang muncul riak-riak? Apakah karena di depan nanti ada proses pembangunan, dimana orang melihat ada identik rupiah. Kalau mau menolak SMA, dari dulu dong. Sekarang ini kalau ditolak, berarti menolak keputusan gubernur, menolak keputusan bupati. Silahkan PTUN-kan kalau memang melanggar,” tegas Iwan.
“Perlu diingat, petani bukan pemilik lahan di BPP, BPP juga bukan pemilik lahan. Yang punya lahan itu Pemda diwakili bupati. Ketika Pemda atau bupati menyerahkan lahan itu, kita mau apalagi?” pungkasnya. (Abh)