Salah satu daerah di Indonesia bagian selatan yang rawan gempa adalah Jawa Tengah di mana Yogyakarta juga menjadi daerah rawan gempa. Pada 27 Mei 2006 lalu terjadi gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya termasuk di dalamnya wilayah Kabupaten Bantul, Klaten, Gunung Kidul dan Kulon Progo.
Gempa di Yogyakarta terjadi pada pukul 05:53:58 WIB dengan posisi episnetrum 7,97º Lintang Selatan dan 110,44º Bujur Timur, kedalaman 10 km, serta momen magnitudo 6,3. Episenter gempa terletak sekitar 6 kilometer dari tepi pantai, di kedalaman 35 kilometer Laut Selatan.
Gempa ini mengguncang kawasan pantai Parangtritis, Baron, Samas, Glagah, Wonosari, Gunung Kidul yang terletak di ring I, disusul Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Klaten di ring 2. Wilayah DIY lainnya juga terguncang mulai dari kawasan Keraton, Sapen sampai dengan Kaliurang. Gempa bahkan terasa sampai ke Purwokerto, Magelang dan Purbalingga Jawa Tengah.
Sudah 16 tahun berlalu namun kisah pedih tersebut tetap dikenang sebagai pelajaran berharga untuk kita semua bahwa menjaga alam adalah suatu keharusan.
Gempa di Yogyakarta merusak rumah warga hingga fasilitas publik. Kawasan yang paling parah rusak setelah gempa bukan terjadi di ring 1 melainkan di Kabupaten Bantul yang terletak di ring 2, dengan konsentrasi kerugian terbesar di Kecamatan Bambanglipuro disusul Imogiri, Pleret, Piyungan, dan Sewon.
Struktur tanah alluvial menyebabkan Kabupaten Bantuk mengalami kehancuran yang parah pasca dilanda gempa.
Secara keseluruhan, gempa mengakibatkan lebih dari 5.800 jiwa tewas, 120 ribuan bangunan hancur, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai lebih dari 8 triliun rupiah. Kondisi tersebut segera ditanggapi oleh pemerintah dengan kecepatan bertindak melebihi penanganan pasca bencana tsunami di Aceh pada penghujung 2004 lalu.
Penanganan pasca gempa dilakukan dengan cepat di mana Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk memindahkan kabinet pemerintahannya ke Yogyakarta dan berkantor selama lima hari di sana. Hal itu dilakukan untuk mengendalikan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) guna memastikan penanganan korban pasca gempa.
Sementara itu, aksi solidaritas penggalangan dana juga dilakukan di mana-mana dan oleh siapa saja. Waktu itu, bahkan Metro TV dalam waktu sehari berhasil mengumpulkan dana sebesar 2 miliar rupiah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial yang kemudian dialokasikan melalui Satkorlak.
Namun meskipun demikian, fakta yang terjadi di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya. Penanganan korban pasca gempa tidak berlangsung dengan baik. Di mana pada hari pertama, praktis korban tidak mendapatkan upaya penanganan apa pun, kecuali korban cedera yang berada di rumah sakit atau pun posko-posko kesehatan seperti halnya puskesmas. Hal itu pun bersifat seadanya karena semua lokasi pelayanan kesehatan baik rumah sakit besar maupun puskesmas kewalahan menangani korban gempa yang mencapai ribuan.
Hingga seminggu pasca gempa bahkan berita di koran masih saja memperlihatkan adanya kantong-kantong wilayah yang belum tersentuh bantuan. Ini terutama terjadi di desa-desa di kawasan Gunung Kidul dan Kulon Progo hingga di wilayah-wilayah pelosok Klaten. ***