Jakarta, Demokratis
“MPR punya waktu sampai tahun 2023, lanjut atau tidaknya amandeman terbatas yang menjadi rekomendasi dari MPR sebelumnya,” kata Bambang Soesatyo.
Wakil Ketua DPD Baktiar Najamudin yang baru menjabat 3 bulan sebagai senator dari daerah pemilihan Provinsi Bengkulu menyambut rencana amandemen terbatas atas UUD 1945 oleh MPR.
“Kami menyambutnya karena DPD lahir dari buah amandemen UUD pada tahun 2002 oleh MPR hasil reformasi,” ujar Baktiar Najamudin saat digelar refleksi akhir tahun oleh MPR di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Baktiar juga mengapresiasi atas lahirnya DPD pada tahun 2002. Dan tentu saja lahirnya DPD sudah ada maksud dan tujuannya. Sehingga untuk menjadi anggota DPD harus dipilih lewat Pemilu serentak dengan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Yang ditujukan untuk check and balances, pastinya.
“Tetapi dalam perjalanannya ternyata setelah dibentuk pada tahun 2004, mengapa DPD tidak diberi kewenangan yang sama dengan DPR?” tanya Baktiar.
Menurutnya, DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang selama ini memiliki kewenangan dalam membuat Undang-undang, sementara DPD hanya berwenang mengusulkan Rancangan Undang-undang saja.
Sebelumnya kedatangan Ketua MPR ke kantor Muhammadiyah di Jakarta dalam rangka silaturahmi kebangsaan dan serap aspirasi atas amandemen UUD secara terbatas.
Dipimpin oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo didampingi Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Arsul Sani dan Zulkifli Hasan di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Pertemuan yang berlangsung hampir 2 jam tercatat sebagai pertemuan terlama mulai dari pukul 13.30.
Ini menandakan bahwa pertemuan tersebut digelar dengan sangat serius sekali untuk membahas secara mendalam terkait dengan amandeman terbatas antara MPR dengan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir.
Dalam kesempatan tersebut, Haedar mengingatkan lagi reformasi telah melahirkan demokratisasi pemilihan presiden langsung yang ditandai dengan amandemen UUD. Dan ini yang membedakan dengan pemilihan Presiden sebelumnya, yang sekaligus koreksi atas dari pemilihan presiden yang lalu-lalu.
“Sikap Muhammadiyah agar pemilihan langsung ini tetap dipertahankan,” tegas Haedar.
Muhammadiyah tidak menolak amandemen terbatas, tambahnya lagi, asal harus difokuskan atas hal-hal yang mendasar, urgen dan kesejahteraan.
“Mengapa GBHN masih diperlukan karena GBHN kedepan harus bisa menjabarkan dari prinsip prinsip di dalam Undang-undang Dasar, yang akan menjadi acuan buat visi misi Presiden nantinya,” katanya.
“Walau meski dengan konsekuensi diperlukan penguatan MPR kembali atau tidak Ad Hoc lagi. Diminta posisi MPR tidak tak terbatas agar antar lembaga negara saling melakukan check and balances tetapi juga tidak serba liberal,” tegasnya.
Ia juga minta siapapun Capresnya nanti harus berpedoman pada GBHN itu, yang kemudian dijabarkan lewat visi misi calon Presiden yang baru.
Makanya dalam hal ini Muhammadiyah sangat setuju amandeman terbatas, katanya, namun hanya untuk mengatur tentang GBHN saja dengan tidak dilakukan dengan secara terburu-buru atau diperlukan kajian yang mendalam dan tidak perlu sampai tergesa-gesa.
Terkait dengan soal periodesasi masa jabatan presiden. “Muhammadiyah minta aturan yang sekarang tetap dipertahankan lagi bahwa masa jabatan Presiden lima tahun dan bisa dipilih untuk satu periode lagi,” pungkasnya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan masih ada yang phobia kalau dilakukan amandeman malah akan jadi kebablasan dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi kembali. “Ini saya pastikan tidak,” katanya.
“Namun, MPR tetap diperlukan agar jika muncul sengketa antar lembaga negara, siapa yang akan berinisiatif dalam memutus,” dalihnya.
Muhammadiyah mengusulkan juga terkait dengan gagasan agar utusan golongan kembali dihadirkan di MPR yang mewakili golongan ormas dan minoritas.
MPR telah menerima 6 aspirasi terkait amandemen yakni usulan amandemen terbatas dengan dikembalikannya GBHN, penyempurnaan UUD 2002 hasil amandemen, perubahan total UUD.
“Salain itu ada yang mengusulkan kembali ke UUD 1945 sesuai dengan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945 yang asli dengan perubahan lewat adendum dan usulan tidak diperlukan amandemen sama sekali,” kata Bamsoet.
Sekjen MPR Maruf Cahyono di tempat terpisah mengatakan, MPR memiliki Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan yang terbuka dalam menerima sumber hukum atau aspirasi dalam bentuk karya tulis seperti yang berbentuk riwayat naskah sebuah RUU karena UUD harus bisa menjawab kekinian yang menjadi kebutuhan masarakat.
Pengaturan pasal Kewarganegaraan di dalam UUD kita, ujarnya lagi, adalah domain dari MPR atau berbicara tentang hukum tata negara sebagai hukum dasar. Makanya, MPR sampai kini terus melakukan kajian terhadap konstitusi dan implementasinya.
“Kita membuka pintu untuk mendapatkan raw material awal yang merujuk atas pembukaan UUD 1945 dan pasal 26 UUD RI tahun 1945,” pungkasnya.
MPR punya waktu sampai tahun 2023, lanjut atau tidaknya amandeman terbatas yang menjadi rekomendasi dari MPR sebelumnya, kata Bambang Soesatyo. (Erwin Kurai)