Oleh Dr Mas ud HMN*)
PERANTAU aktif Melayu dulu, terkenal dan menjadi kebanggaan. Terkenal karena menjadi simbol komunitas religius. Menjadi kebanggaan orang Melayu lantaran suksesnya pemerintahan Islam pada awal abad 18 di belahan Timur Sumatera dimotori mereka yang punya pengalaman merantau. Hanya saja tidak banyak ditulis, lalu isu perantau Melayu hilang melenyap ibarat gone with the wind. Lenyap bersama angin lalu.
Mengapa hal ini terjadi? Rasa-rasanya relevan untuk ditelaah kembali. Setidaknya untuk memahami sejarah dalam rangka motivasi mengisi pembangunan daerah ke masa depan. Membangkitkan orang Melayu mengisi karya dalam amal di zamannya. “Gubahlah dunia dengan amalmu,” kata Allam Muhammad Iqbal.
Mengawali konteks itu, sebutlah orang Siak. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Siak Indrapura, kini Kabupaten Siak adalah simpul awal pemerintahan Islam abad 18 di Riau. Selain pemerintahan Islam dengan perangkat birokrasi sistem, juga monumental memunculkan komunitas muslim yang egaliter dan sarat kealiman. Itulah komunits orang Siak sebagai simbolik orang taat beragama dan Melayu perantau aktif.
Apakah simbolik orang Siak meredup akibat tereduksi oleh istilah Melayu Bertuah? Sebuah simbol yang lebih pada ketrampilan dan kemegahan materialisme. Bisa jadi demikian. Bagaimanapun Melayu Bertuah kelihatannya kini identik dengan pembangunan gedung, infrastrukur dan kemegahan lainnya. Telah berubah dari kesolehan, tawaddhu, sederhana dan militans. Namun perlu diteliti.
Yang jelas secara faktual orang Siak sebagai istilah tak sepopuler dulu? Tidak hanya karena tak banyak diungkap, dan sepi dari pembicaraan. Tapi memang tidak lagi dipakai. Padahal harus diakui ungkapan orang Siak ada sejak lama dan merupakan ungkapan penting dalam altar khasanah blantika sejarah Melayu.
Hal itu dengan meminjam kata Prof M Yunan Yusuf Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, dalam acara diskusi Faham Keagamaan Muhammadiyah di IKIP Muhammadiyah 1988 (kini UHAMKA) bahwa ungkapan orang Siak bermakna orang alim, atau kata lain dari ulama. Ditambahkan oleh Yunan Yusuf, ungkapan ini berakar pada sejarah pembaharuan Islam di Minangkabau yang dicetuskan Imam Bonjol pada awal abad 20 yang dari gerakan itu meluas ke daerah Siak, Riau sekarang ini. Akar pembaharuan Islam digerakkan melalui gerakan masyarakat di bawah pimpinan ulama, dan dari gerakan komunitas inilah kemudian yang disebut sebagai orang Siak.
Bagi Yunan, sebagai istilah intinya orang Siak merupakan kelompok pembaharu, penggerak perubahan dan sekaligus ulama. Komunitas tersebut menyatu antara masyarakat dan ulama berfungsi sebagai referensi grup.
Ini sejalan dengan catatan Tom Pires sumber Portugis (1513-1515) tentang terminologi ungkapan orang Siak, dalam kaitan dengan Minangkabau menjadi mengandung makna kata atau diksi dengan acuan makna luas.
Seperti diungkap dalam sejarah Kerajaan Siak Sri Inderapura (1723-1945) ada hubungan dengan Miankabau masa bergolaknya perang dengan Belanda di bawah pimpinan Imam Bonjol (Darul Ridzam). Sementara Raja pertama adalah Raja Kecik dari Pagar Ruyung turunan asal Raja Johor.
Keterkaitan pendiri kerajaan Siak Sri Inderapura dengan masa bergulirnya pembaharuan pemikiran kegamaan Islam di Minangkabau menjadi sebab kerajaan Siak menjadi kerajaan yang berdasarkan Islam.
Sumber Belanda menyebut ada surat dari Indernsyah Raja Siak bergelar yang dipertuan dari asal Pagaruyung menjadi penguasa di Kerajan Siak (Wool Pass 1964). Hal itu juga dibenarkan oleh penulis sejarah Indonesia (Samin SM 1965).
Dari paparan di atas dapatlah dipahamai Kerajaan Siak Sri Inderapura berkaitan erat dengan gerakan Islam yang modern yang berkorelasi kuat dengan gerakan pembaharuan Islam. Sehingga banyak kesamaan dari faham kegamaan yang berlaku antara Minangkabau dan Siak Sri Inderapura.
Yang menarik dari perkembangan sejarah di atas, Siak sukses dalam membentuk sebuah hegemoni kekuasan yang penting yang antara lain menguasai laut perairan Selat Melaka yang notabene adalah ramai dengan lalu lintas perniagan antar bangsa.
Kekuatan militer Siak mampu mengamankan perompakan bajak laut di perairan Selat Melaka. Sehingga Siak merupakan kerajaan penting masa itu. Termasuk bekerja sama dengan pihak lain seperti Kerajaan Melaka.
Di pihak lain muncul konsep masyarakat Islam sebagai gagasan tinggi dari Raja Siak. Menjadi prinsip dan idelisme penduduk. Prinsip syariat dan adat bergandengna juga wujud di komunitas Siak. Misalnya ungkapan syarak mendaki dan adat menurun. Yang artinya syariat agama lebih tinggi dari hukum adat.
Kembali ke belakang dari sejarah, ada benang merah yang bisa ditarik dari gagasan Raja Siak Inderapura dalam membumikan Islam bagi rakyatnya. Dengan gerakan membumikan Islam itu, terwujudlah orang Siak sebagai komunitas negeri. Panggilan orang Siak pun menjadi populer.
Saya kira inilah catatan sejarah Kerajaan Islam di belahan pinggir Sumatera bagian Tengah yang penting. Ini dilihat dari 3 (tiga) aspek filsafat sejarah, yakni:
Pertama, motivasi gagasan berpikir, cogito ergo sum (saya ada karena saya bepikir) Raja Siak dengan mempelajari gerakan pembaharuan Islam yang terdekat dari gagasan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau.
Kedua, motivasi amal, labor ergo sum (saya ada karena saya berbuat). Raja Siak membangun masjid dan taklim.
Ketiga, gagasan tanggap cepat, respondeo ergo sum (saya ada karena saya merespon). Raja Siak melakukan pembangunan militer menjaga laut dan perairan Selat Melaka.
Akhirnya, dari butir penting ini mungkin bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat Siak khususnya, Riau umumnya dalam melaksanakan asas tinggi pembangunan kedepan. Yaitu satu Islam yang berkemajuan dalam komunitas Melayu Bertuah. Semoga!
Jakarta, 23 Desember 2019
*) DR Mas ud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta