Menurut imam AL Ghazali, kasyf dan ilham termasuk sarana pengetahuan yang paling esensial setelah wahyu. Karena kasyf merupakan kunci untuk memahami berbagai disiplin ilmu. Dari analisis sang imam, terfokus pada kasyf sufistik sebagai pilihan inti sumber ilmu pasti.
Menurutnya, ilmu ini diperoleh bukan berdasarkan hasil kreasi ataupun ijtihad tetapi merupakan karunia dan anugerah Allah SWT yang memancar pada hati manusia, yang telah memiliki kesiapan mental untuk menerima ilmu tersebut. Hasil kajian pemikiran sang imam seputar kasyf, menjadikan klasifikasi kasyf dalam dua bagian.
Pertama: Wahyu. Wahyu bisa diperoleh ketika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan, dengan lunturnya noda-noda keinginan dan harapan (ambisi). Kehidupannya telah terlepas dari kenikmatan dunia yang semu. Memutuskan angan-angan yang lekas sirna, fokus jiwa dan raga demi menghadap Tuhan. Selalu berpegang teguh terhadap ajaran dan perintah Tuhan, dan memanfaatkan wahyu dengan baik.
Menjadikan wahyu sebagai perilaku hidup, menjadikan jiwa yang universal sebagai alat untuk mengimplementasikan diri dari ajaran, perintah dan larangannya. Akal universal sebagai penuntun, dan jiwa yang suci sebagai yang dituntun. Kemudian diharapkan si akal dan jiwa yang suci tersebut segera memperoleh seluruh ilmu, dan mampu membayangkan wujud-wujud tanpa harus melalui proses pendidikan dan kontemplasi. Inilah yang disebut ilmu ladunni.
Ilmu tersebut untuk menjelaskan hakikat, klasifikasi dan tingkatan ilmu ladunni. Maka sang imam menuangkan ide dan pemikiran secara sepesifik mengkaji ilmu ladunni dengan detail. Dalam satu risalah tentang ilmu ladunni, beliau menggunakan kata-kata dan istilah yang mungkin terasa aneh dalam metodologi sufistik dan pemikiran Islam. Istilah-istilah yang sering digunakan adalah ruh suci, ruh universal, dan akal universal. Akal universal sebagai guru, ruh suci sebagai murid, dan ruh universal berfungsi sebagai media pencatat.
Proses pendidikan ilmu ladunni tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut, begitu menurut sang imam. Bentuk-bentuk data serta informasi tergambar dalam lembaran ruh suci, tanpa melalui sarana dan pengajaran. Dalil yang mendasari proses pendidikan itu, adalah firman Allah SWT, dari Qs AL Kahfi (18 :65) dan dari riwayat Nabi Adam AS, yang menyebut bahwa pembelajaran Adam tanpa intervensi seorang guru.
Ilmu ladunni adalah ilmu para rasul, yang disarikan dari Allah SWT secara langsung tanpa suatu perantara dan sarana. Ilmu ini juga merupakan tingkatan pengajaran paling agung dan mulia, sebab langsung dari Allah SWT. Sementara malaikat mengakui keterbatasan fitrahnya walaupun harus belajar seumur hidupnya.
Saat Allah SWT berfirman kepada malaikat untuk menyebutkan nama-nama mereka jika mereka termasuk kaum yang benar. Ketika para malaikat tidak mampu menyebutkan nama-nama yang diperintah Tuhan, ternyata Nabi Adam AS mampu melakukannya. Kemampuan itu, karena Nabi Adam AS memperoleh ilmu dan pengajaran langsung dari Allah SWT.
Di sinilah nalar para pemikir menangkap bahwa ilmu gaib yang lahir dari wahyu adalah ilmu yang paling sempurna di antara ilmu-ilmu terapan atau applied science. Ilmu wahyu diwariskan kepada para rasul dan sebagai bukti kebenaran tentang para rasul. Setelah Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada lagi pintu wahyu. Ilmu (wahyu) Nabi Muhammad SAW lebih sempurna, karena diperoleh langsung dari pengajaran Tuhan melalui malaikat zibril, dan tidak ada dari proses pendidikan atau pengajaran dari manusia. Ilmu Nabi Muhammad SAW sangat kuat dan kokoh.
Kedua: Ilham. Ilham adalah rangsangan ruh universal terhadap ruh parsial menurut kadar kemampuan, kesiapan mental dan kemurnian hati. Apa bila penjelasan wahyu tentang perintah dan larangan secara eksplisit, maka ilham secara implisit. Ilmu yang diperoleh melalui jalan wahyu, disebut ilmu rasul. Sedangkan ilmu yang dihasilkan dari ilham disebut ilmu ladunni. Prosesnya seperti cahaya yang bersinar, dari pelita gaib menerobos hati suci yang telah memiliki kesiapan mental untuk menerima nur Illahi.
Seluruh ilmu pengetahuan diperoleh dan tercatat dalam esensi ruh prima universal. Walaupun demikian, akal universal lebih sempurna dari pada ruh universal, Karena akal lebih dekat dengan Tuhan. Ruh universal lebih berharga dan lebih lembut dari seluruh makhluk. Susunan urutan ini sering disebut dalam buku-bukunya yang mengarahkan wacana pembaca pada tata urutan wujud serta peran ruh-ruh tersebut, dalam proses pencapaian kasyf beserta bentuk bentuknya. Yaitu, akal universal, ruh universal, ruh suci, para rasul Allah dan ruh parsial yang dimiliki seluruh makhluk.
Dari pancaran akal universal, maka lahirlah wahyu, dan dari kilauan ruh universal maka lahirlah ilham. Wahyu adalah hiasan ilmu para rasul, sedangkan ilham adalah hiasan ilmu para wali. Ketika jiwa bukan akal, maka wali itu bukan rasul, dan ilham itu bukan wahyu. Bila dibandingkan dengan wahyu, maka ilham lebih lemah. Namun jika dibandingkan dengan rasio (ar-ru, ya) dan ilmu terapan, maka ilham lebih kuat.
Kewahyuan khusus untuk para rasul dan Rasullullah SAW, sedangkan ilham dan ilmu ladunni khusus untuk para rasul dan wali. Hakikat hikmat diperoleh melalui ilmu ladunni, sebab hikmah merupakan anugerah dan karunia Tuhan. Kaum arif bilah yang mencapai tingkatan ini, tidak membutuhkan ilmu ilmu lain dan guru-guru, selain Allah SWT.
Apabila pintu wahyu telah tertutup dengan berakhirnya risalah Muhammad SAW, maka pintu ilham masih terbuka, dan pancaran cahaya ruh universal tidak pernah terputus. Karena manusia masih membutuhkan ketentuan, nasihat, dan dukungan. Apabila manusia sudah tidak membutuhkan risallah dan nasehat atau pengajaran, lantaran telah terjerembab dalam situasi waswas atau kebingungan, maka Allah akan menutup pintu wahyu, sebagai tanda kebedaran Tuhan, lalu membuka lebar pintu ilham sebagai tanda kasih sayang Tuhan, untuk membentuk dan mengatur sesuai tata urutan ilmu pengetahuan.
Sang imam lebih lanjut menjabarkan tema wahyu dan ilham dalam kitab kitabnya, setelah melakukan studi observatif dalam diskursus kasyf dan ilham menurut pemikirannya, maka muncul kontradiksi di antara dua sisi, yaitu konsep yang tertuang dalam kitab Ar-Risalah AL-Ladunniyah, Misykat AL- Anwaar, Ma, arif AL Quds dan Madhunun Bihi Ala Ghair Ahlihi terkemas dalam format illuminisme yang penuh dengan pemikiran neoplatonis dan terminologi faham Ismailisme.
Beliau yang sering berbicara tentang ruh universal, akal universal, ruh suci dan ruh parsial. Difahami bahwa istilah-istilah tersebut beraroma filsafat Ismailisme yang ditemukan juga pada pemikiran Ibnu Sina, yang dalam risalahnya tentang kerasulan dan wahyu. Beliau mentafsirkan wahyu dan kerasulan dalam kontek teori emanasi yang banyak ditemukan dalam pemikiran Ibnu Sina dan AL Farabi. Menurut Ibnu Sina, wahyu adalah pancaran akal universal dalam jiwa rasul yang membedakan bentuk-bentuk materi.
Pancaran ilmu pada lembaran hati seorang rasul melalui perantara akal aktif dan malaikat yang mendekat, adalah ucapan Rasullullah SAW. Risalah seorang rasul adalah sesuatu yang tercermin dari pancaran hati seorang rasul, yang disebut wahyu. Istilah apapun yang digunakan jelas untuk kebaikan dunia dan akhirat, sebagai ilmu dan siasat. Rasul adalah pembawa berita yang berasa dari pancaran wahyu. Dengan komparasi singkat antara Imam AL Ghazali dan Ibnu Sina, maka nampak suatu kesamaan persepsi yang cukup kuat.
Jelas sekali bahwa imam AL Ghazali mengambil teori emanasi ketika berbicara tentang kerasulan, Ilham, dan wahyu dalam karya-karyanya. Sedangkan istilah-istilah yang dipakai ternyata bersumber dari filsafat Ismailisme dan tidak ditemukan dalam buku-buku kaum sufi pra AL Ghazali.
Diskursus kasyf dan ilham yang tertuang dalam kitab Ihya AL Munqidz Min Adh-Dhalal, dan AL Maqshad Al Asna murni wacana sufistik. Al Ghazali melepas pengaruh pengaruh filsafat Ismailisme dan sarat dengan Aphorisme kaum sufi sebelumnya, kususnya pada kitab Quut Al Quluub karya Abu Thalib Al Makki, yang ternyata banyak juga dijumpai dalam kitab Ihya, sebagaimana saat Imam Al ghazali terpengaruh dengan pemikiran Al Muhasibi, Imam Junaid dan Al Tiztari, yang tergolong tokoh-tokoh sufi moderat dalam prilaku dan ucapan. Esensi kasyf, ilham dan atau ilmu Ladunni adalah ilmu yang mewujud dari aktifitas hati atau qalbu. (Muh As Sayyid Al Galind)