Jumat, September 20, 2024

Penjualan Buku LKS SMP Masih Marak di Kabupaten Subang Sangat Memberatkan dan Meresahkan Orang Tua Siswa

Subang, Demokratis

Maraknya penjualan buku lembar kerja siswa (LKS) di sekolah-sekolah SMP di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, belakangan menjadi sorotan sejumlah pihak dan pemerhati pendidikan.

Aktifitas dugaan penjualan puluhan ribu buku LKS di sekolah dinilai memberatkan dan sangat meresahkan orang tua siswa, sementara LKS itu tidak serta merta dapat menunjang prestasi belajar siswa.

Diketahui buku LKS yang diperjualbelikan di sekolah SMP di sejumlah kecamatan Kabupaten Subang di antaranya diproduksi oleh CV ‘kukutan’ yang berkolaborasi dengan oknum Disdikbud Subang.

Harga jual buku LKS atau modul tersebut beragam, dijual kisaran Rp200.000,- hingga Rp250.000,- untuk 10-12 paket modul (LKS). Sementara modus penjualannya melalui Koperasi Sekolah.

Temuan itu seperti dirilis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang yang sampai di meja redaksi Demokratis Biro Subang, Senin (15/8/2022).

Menurut pegiat GNPK-RI Kabupaten Subang U. Samsudin, S.Sos, bila Kemendikbud telah menerbitkan regulasi baru tentang pengadaan buku pelajaran yang direkomendasikan bagi sekolah. Sedangkan penggunaan lembar kerja siswa (LKS) tidak diperbolehkan lagi seperti tertuang di Permendikbud No.8 tahun 2016.

“LKS tidak diperlukan lagi, karena seharusnya latihan-latihan itu dibuat sendiri oleh guru. Sebab dalam kurikulum baru tidak ada lagi LKS. Kalau ada, itu kesalahan dan harus dihentikan. Penggunaan buku LKS tentu akan mengubah filosofi cara belajar siswa aktif menjadi pasif, sehingga sistem pembelajaran yang harusnya mengutamakan diskusi antar guru dan teman di kelas tidak berjalan dengan baik,” ujar Adang.

Masih kata Samsudin, jual beli buku LKS di lingkungan sekolah itu dilarang, sesuai PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dimana Pasal 181 disebutkan: Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan.

“Yang diperbolehkan adalah LKS itu dibuat oleh guru atau melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) terkait untuk tingkat SLTP dan Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk SD. Kemudian dalam regulasinya dana BOS juga dapat dimanfaatkan untuk membuat LKS guna menunjang aktivitas belajar siswa, sehingga siswa sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun terkait LKS itu,” tandasnya.

Larangan jual beli LKS itu juga mengacu pada Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku Jo Pasal 11, Permendikbud RI Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah Jo Pasal 198 sangat jelas melarang buku LKS, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk menggunakan buku LKS serta SE No. 303/420.DP/TK.SD/2012 terkait larangan pungutan dan penjualan LKS, ditegaskan bahwa guru tidak dibenarkan memperjualbelikan serta tidak menjadikan LKS sebagai materi utama dalam pembelajaran dan bahan pekerjaan rumah (PR) siswa.

Larangan itu tak hanya berhenti pada guru, karyawan dan komiye sekolah, tetapi berlaku juga bagi koperasi yang berada di lingkungan sekolah. Kecuali jika koperasi itu memang dikelola secara independen atau tanpa ada keterlibatan guru, karyawan dan komite sekolah. Itupun, harus disertakan keterangan bahwa siswa tidak diwajibkan untuk membeli.

Lalu siapakah yang menikmati keuntungan haram dari bisnis ilegal ini? Sejumlah sumber yang mengetahui seluk beluk hal ini, kepada awak media membeberkan biasanya setiap awal tahun ajaran baru atau awal semester seluruh wali kelas mewanti-wanti kepada para siswa masing-masing agar memberitahu para orang tuanya untuk menyediakan uang secukupnya untuk belanja buku LKS dari penerbit tertentu yang telah disediakan sekolah.

Di pihak lain ada sekumpulan “predator” yang memanfaatkan momentum ini untuk mencari mangsanya. Siapa saja mereka ini? Ada pihak distributor yang bersimbiosis mutualisme dengan oknum kepala sekolah dan guru lainnya. Distributor sebagai kaki tangan penerbit dengan piawai mendekati kepala sekolah, menawarkan sejumlah fee dan potongan rabat atau yang sering dilakukan dengan menentukan harga modal.

Kepala sekolah dengan kewenangannya melakukan kalkulasi dan melihat ada sejumlah keuntungan dari modus bisnis haram ini dengan senang hati menjadikan sekolahnya sebagai “toko bukunya” para distributor.

Sungguh ironi memang, kaum intelektual yang lazim disebut pahlawan tanpa tanda jasa itu harus rela menggandaikan harga dirinya dan mengesampingkan hati nuraninya demi seonggok “fulus”.

Masih kata sumber, praktik jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan tindakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi. Hingga bisa dikatakan sebagai tindakan pungutan liar (pungli),yang patut dikenai sanksi bagi pelakunya sesuai PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Displin PNS.

Kepala Disdikbud kabupaten Subang Tatang Komara, S.Pd., M.Si melalui Kabid SMP Disdikbud Kabupaten Subang, Ade Cece, saat dikonfirmasi mengaku, praktik penjualan buku LKS atau modul merupakan persoalan klasik yang sudah lama terjadi dan pihak dinas sendiri sudah sejak lama mengeluarkan surat larangan praktik jual beli LKS.

“Disdik sudah mengeluarkan surat edaran yang melarang penjualan buku paket LKS,” ucap Cece sebagaimana dilansir Jabarpress.com, Senin (15/8/2022).

Pihaknya mengaku sudah menghubungi pihak sekolah terkait penjualan LKS itu, namun sejauh ini pihaknya tidak mendapati ada upaya paksaan kepada siswa untuk membeli buku paket tersebut.

“Kita sudah konfirmasi ke sekolah, memang ada buku modul yang disediakan oleh koperasi sekolah, tapi tidak ada paksaan, mau beli atau tidak, silahkan. Koperasi sekolahnya pun ada legalitasnya,” jelasnya.

Sepanjang tidak ada paksaan kepada siswa, tegas Cece, pihak Disdik tidak melarang sekolah untuk menawarkan buku modul.

“Yang namanya koperasi sekolah pasti menjual kebutuhan sekolah. Kita ingatkan, asal jangan ada paksaan dan jangan ada diskriminasi kepada siswa yang enggak beli, maka silahkan sekolah kalau mau menawarkan, asal jangan ada paksaan. Ketika siswa merasa perlu untuk sebagai tambahan bahan pembelajaran, maka itu keputusan orangtua (mau beli atau tidak),” pungkasnya. (Abh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles