Rabu, Oktober 30, 2024

Pasang Surut FPI di Panggung Publik

Oleh Suwarno Tarigan

Jika Forum Betawi Rempug (FBR) mampu dengan baik memakai presepsi tentang “keberakarannya” di perkampungan Jakarta dan klaimnya untuk mewakili orang Betawi miskin dalam memakelari kesepakatan dengan partai dan elite politik, di pihak lain pada kelompok Islamis vigilante (main hakim sendiri) seperti Front Pembela Islam (FPI), menerapkan aneka strategi yang berbeda untuk mendongkrak pengaruhnya. Dibentuk pada tahun 1997 dan dipimpin oleh ulama dan habib, FPI tampil di panggung publik semasa akhir rezim orde baru yang penuh gejolak.

Awalnya mereka dikenal sebagai bagian dari Pamswakarsa, milisi tidak tetap yang diambil dari barisan kaum miskin kota dan berbagai kelompok pemuda orde baru yang dikerahkan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pang-ABRI) Jendral Wiranto dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Noegroho Djajoesman sebagai “kekuatan ketiga” untuk melawan gerakan reformasi yang diusung mahasiswa. (Tempo 1998 “berjihad mendukung sidang” 30 November. Habib adalah ulama yang umumnya keturunan Arab-Hadrami, yang mengklaim punya hubungan genealogis dengan keluarga Nabi Muhammad SAW. Ketua FPI Habib Rizieq Shihab adalah putra Sayyid Husein, pendiri gerakan Panda Arab, sejenis gerakan Pramuka untuk keturunan Arab Indonesia. Pada awal tahun 1990-an Rizieq belajar hukum Islam di Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud di Arab Saudi, sebelum kembali ke Indonesia dimana ia menjadi mubaligh lantang dan juga sebagai kepala sekolah di madrasah yang dijalankan oleh orang Hadrami. Sebagai seorang habib, khususnya yang belajar di Arab Saudi, Rizieq memiliki otoritas kehormatan tertentu di kalangan masyarakat, Betawi khususnya).

Segera sesudahnya, pada bulan November 1998 di Ketapang Jakarta Pusat, FPI memimpin serangan ke pusat kekuatan preman-preman Ambon, mengakibatkan 15 orang meninggal dunia. Kabarnya sebagai respons atas perusakan masjid, FPI juga mengobrak-abrik sarang perjudian mapan, memberi isyarat goncangan bagi perekonomian maksiat di Jakarta. (Sarang perjudian dijalankan oleh para preman Ambon Kristen. Serangan itu, disengaja atau tidak, pada akhirnya menguntungkan kasino pesaing milik taipan dan teman keluarga Suharto, Tommy Winata. Kembalinya beberapa lusin preman Ambon ke kampung halaman, mereka disebut sebagai faktor pemicu meletusnya kekerasan sektarian berkepanjangan di Ambon (Sidel 2006, 177). Untuk uraian lebih rinci mengenai latar kasus Ketapang, lihat Aditjondro 2001). Peredaran luas gambar-gambar kaum vigilante berjubah, dan bersenjatakan pentungan, golok, memukuli dan memenggal preman setempat itu, sangatlah mengerikan sekaligus memikat.

FPI muncul sebagai kekuatan baru di jalanan, dengan citra berjuang bukan demi uang, wilayah kekuasan, atau patronase politik, melainkan membela Islam. Misi FPI adalah menegakkan perintah Al-Quran amar makruf nahi mungkar (menyuruh kebaikan mencegah keburukan), yang termasuk di dalamnya melindungi orang Islam dari apa yang dipandangnya sebagai bahaya tindak asusila dan maksiat, yang secara retorik dikaitkan dengan demokrasi liberal, sekularisme, dan liberalisasi ekonomi. Perlindungan ini juga mencakup dari ancaman terhadap integritas iman, oleh kehadiran minoritas-minoritas keagamaan yang “menyimpang”, seperti sekte Ahmadiyah atau Mazhab Syiah. (Gatra 2012, “FPI vs Ahmadiyah: kapan berakhir?”, 28 Oktober). Kendati kerap beroperasi dengan melanggar hukum dan kepentingan negara, FPI juga menjadi unsur penting dari strategi berkuasanya para elite politik lokal, dan dengan sendirinya sebagai makelar politik kekuasaan, terkadang dalam bentuk konflik terbuka dengan pihak berwenang resmi, kadang menjadi “mitra” untuk menjaga tertib sosial tertentu.

FPI beroperasi pada dua bidang berbeda. Pertama pada tataran “tampilan (sepektakuler)”, aksi dan kampanye terencana yang dipakai oleh kepemimpinan FPI, untuk memaksimalkan profil publik organisasi dan memikat kelompok konserpatif yang lebih luas, lalu menggunakannya untuk mendongkrak konsensi dan patronase dari para elite, meningkatkan otoritasnya sebagai suara umat yang “absah”. Termasuk dalam hal ini misalnya kampanye, agar pemerintahan Sutiyoso (Gubernur DKI) memperketat jam hiburan malam selama bulan ramadan, mempengaruhi undang-undang anti-pornografi dan anti-minuman keras, serta menekan pemerintah agar melarang sejumlah acara budaya dan musik, seperti konser bintang pop AS Lady Gaga di Jakarta. (Kompas 1999, “13 jam diduduki FPI kantor Gurbenur DKI lumpuh”, 14 Desember). Bagi sebuah organisasi yang relatif kecil yang kerap menggunakan kekerasan, FPI berhasil mencapai sesuatu di luar kapasitasnya sendiri, dan masuk untuk turut membentuk wacana dan perdebatan nasional tentang posisi Islam dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Bidang yang lain adalah dalam kehidupan politik perkotaan sehari-hari Jakarta. FPI menata ceruk bagi dirinya dengan secara sengaja mengungkit ketegangan sosial ekonomi, dan mendesakan kepanikan moral, yang darinya ia mencoba menempatkan diri sebagai penengah.

Kawat-kawat diplomatik AS pada tahun 2006 yang dibocorkan oleh WikiLeaks, menguraikan kecurigaan banyak orang sejak lama. Bahwa mantan Kapolri Sutanto ada dalam rekaman yang menyatakan bahwa FPI selalu berguna sebagai “anjing penyerang” manakala dibutuhkan, dan karena itu secara reguler menerima pendanaan dari polisi dan Badan Intelejen Negara (BIN). (Jakarta Pos 2011, “WikiLeaks National Police founded FPI hard-liners,” 5 September). Namun, kemampuan polisi untuk mengendalikan anjing penyerang ini terbatas. Salah seorang penyokong awalnya, mantan Kapolri Noegroho Djajoesman, menyatakan bahwa pada tahun 2001 “talinya” suduh putus, dan kelompok ini melangkah melampaui kendali langsung. (Wawancara dengan Noegroho Djajoesman, Jakarta, 2006). Meski demikian, FPI tetap berguna sesekali untuk menata ulang perimbangan kekuatan dalam otoritas ekonomi politik tingkat jalanan, sedangkan bagi FPI, kerjasama dengan polisi berguna untuk melegitimasi pendirian anti maksiatnya lebih lanjut.

FPI menjadi pemain baru dalam ekonomi proteksi yang ruwet di Jakarta, menggunakan dalih membela iman sebagai sarana untuk memungut setoran, dan “pajak haram” dari berbagai bisnis legal dan kotor, sejenis centeng moralitas yang mengambil untung dari keberadaan “maksiat”, yang katanya hendak dienyahkannya. Pilihan sasaran razia FPI sungguh diperhitungkan, sedangkan club, bar, atau tempat bordil yang dimiliki atau dilindungi militer, Ormas, atau tokoh-tokoh kuat lain itu mereka biarkan. (Wawancara dengan anggota FPI Jakarta 2007. FPI memiliki sayap intelejen khusus yang mengorek informasi dan merespon keluhan warga setempat. Razia umumnya melibatkan beberapa lusin anggota TNI bersenjatakan tongkat dan pentungan, menghancurkan jendela, merusak meja dan kursi, dan tidak jarang memukuli pelanggan dan pegawai). Hubungan dengan polisi pada tingkat lokal kerap naik turun antara hubungan kerjasama dan konflik.

Kegiatan anti-maksiatnya mengancam setoran yang didapat polisi dari rumah bordil atau rumah judi. Namun secara umum, mereka mencoba menjalin semacem saling bantu. Sudah menjadi praktik standar FPI, misalnya saja, untuk melaporkan niat menjalankan razia kepada polisi, dan dengan demikian membuka peluang untuk mendekati sasaran yang dimaksud, guna merundingkan “perlindungan”. Kasus lainnya, polisi hadir dalam razia FPI dengan alasan memastikan keadaan “tetap terkendali”, atau bahkan sebagai mitra aktif. (Merdeka 2013, “FPI sebut razia miras di Bandung cuma bantu polisi”, 26 Juli). Dengan menyasar mereka yang tidak mempunyai perlindungan memadai, ia justru turut memuluskan monopoli beberapa gembong hiburan malam Jakarta, memaksa bisnis-bisnis yang lebih kecil mencari perlindungan dari mereka atau malah sekalian dibeli. (Wawancara dengan pemilik bar Jakarta, Jakarta 2011). Organisasi dengan sigap menyangkal bahwa ini strategi yang disengaja. Menurut “imam besar” FPI Habib Rizieq, banyaknya kasus pemalakan dan pemerasan oleh anggota FPI merupakan dampak dari upayanya “merangkul” dan mempertobatkan para berandalan dan preman,  yang sesekali menyimpang dari jalan, bersama dengan penyusupan oleh pihak-pihak yang mencoba “menghancurkan organisasi dari dalam”. (Wawancara dengab Habib Rizieq, Jakarta 2012, menurut Rizieq ini termasuk mereka dari Badan Intelejen Negara bersama dengan pasukan tak dikenal, “yang bermaksud melemahkan Islam”). Bersambung… Politik Jatah Preman, Mirza Jaka Suryana. | suwarnotarigan1@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles