Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sosial Profetik Simbol Keadilan Berkemajuan

Oleh Dr Mas ud HMN*)

Sosial profetik sebagai faham sosial agama telah menjadi simbol setting sosial berkeadilan  berkemajuan. Beda ketika Koentowidjoyo memperkenalkan istilah sosial profetik yang pada masa itu setting pembangunan sosial ekonomi lagi menjadi-jadi pada kazanah aliran liberal kaum intelektual di Indonesia.

Sehingga isu yang dilontarkan Koentowidjoyo itu dipandang enteng-enteng saja. Artinya kalah dengan isu pembangunan ekonomi yang merajalela. Itu era 70-an dan berlangsung lama.

Memang arus besar ekonomi dengan dukungan Berkeley Group –diambil dari nama Perguruan Tinggi Amerika- tak terbendung. Apa lagi tokoh pendukungnya terdiri dari intelektual yang lahir dari universitas ternama Indonesia. Sebutlah Emil Salim, Sumarlin yang kemudian menjadi Menteri Keuangan yang terbaik di Asia. Wijoyo Nitisastro dan banyak lain lagi. Konsep ekonomi itu ditancapkan dalam pola pembangunan ekonomi lima tahunan dan dalam rencana lima tahun.

Kasus ketidakadilan sosial dan bahkan patologi sosial atau penyakit sosial sebagai gejala masyarakat. Ketidakadilan sosial, lalu patologi sosial itu berimplikasi banyak. Masyarakat menjadi sakit. Padahal, konsep pembangunan nasional kita menjadikan bangsa maju, sejahtera adil dan makmur. Semua itu dicapai dengan investasi yang besar. Sudah dilakukan dengan susah payah.

Di situlah Koentowidjoyo melantunkan konsep sosial profetik yang pada intinya menyinggung ketidakadilan sosial, kejahatan moral, distop. Memang gejala ini menampar wajah kita sebagai bangsa. Di satu pihak bangsa kita sedang investasi besar membangun manusia. Di lain pihak ada perusak investasi tersebut. Yaitu petugas, penanggung jawab. Sebagai tonggak pagar bangsa memperkaya diri, melupakan kaum lemah.

Bagi Koentowidjoyo (alm) hal demikian adalah pembangunan tanpa arahan moral. Bagaikan keluhan Mansur S penyanyi dangdut dalam liriknya: Pagar makan tanaman. Pengawal moral yang runtuh. Ini sejalan dengan rakyat yang mengeluh, sudah bangsa sendiri yang kuasa, namun nasib tak berubah. Belum bisa tersenyum.

Selain itu, kasus ini dapat dipahami dengan teori sosial masyarakat yang disebut patologi sosial. Sebagai gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Patologi sosial adalah satu gejala penyakit sosial yang menimpa masyarakat.

Immanuel Kant mengemukakan sebuah teori moral. Yang diistilahkan dengan “moral conduct”. Bagian satu kehidupan manusia yang berguna untuk masyarakat dengan memfungsikan nilai. Nilai yang baik bersumber dari agama dan tradisi yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Muatan teori moral conduct Kant ini yaitu moral yang baik dan buruk. Hal itulah yang harus diuji, dibedakan. Mana yang harus dijadikan dan dikembangkan menjadi tradisi (kebiasaan berulang) dalam setting masyarakat.

Ditambahkan juga dengan memasukkan dimensi validitas akal, proses kejiwaan dan pengalaman. Sehingga dapat dilihat penyakit masyarakat itu secara moral dan pengetahuan. Dengan demikian patologi sosial yang dialami, harus juga menumbuhkan motivasi dari komunitas itu “untuk sembuh”. Pemikiran Immanuel Kant tentang moral conduct agaknya penting dan interest untuk dielaborasi lebih jauh. (Runes, Dagobert, Dictionary of Philisofy.1962)

Dalam Islam ada petunjuk melarang perbuatan ketidakadilan. Bahkan harus menghindar dari perbuatan tersebut. Banyak ayat tentang pelarangan ketidakadilan dari Al Quran.

Selain perintah larangan, ada juga kisah sebagai iktibar bahan pembelajaran berupa kejadian umat terdahulu. Quran menjadikan kisah-kisah tersebut untuk pedoman menghindarinya. Quran memberikan inspirasi tentang nilai kebenaran dan mengikuti jalan kebenaran tersebut.

Dapat ditarik intinya bahwa secara teori harus dipahami, lantas terhadap gejala itu harus ada  solusi. Yang sudah tentu paling terdepan adalah instansi yang berhubungan dengan pendidikan dan pembangunan. Demikianlah seharusnya.

Akhirnya gejala soal ketidakadilan atau patologi sosial dalam hal ini telah berada dalam bentuk kategori yang mengkhawatirkan. Ini penyakit zaman yang berulang.

Pada masa sejarah masa lampau Ibnu Farabi yang hidup tahun 10 Masehi, ada empat bentuk gejala yang jangan diikuti dan hanya satu yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan. Apa itu? Yang tidak boleh diikuti pertama, fasiq (berpikir orang gila); kedua, jahiliah (berpikir curang, jahil); ketiga, dhalalah (berpikir sesat); keempat, mubaddalah (berpikir tidak kosisten, tidak istiqanah). Hanya satu yang boleh diikuti, yaitu, fadhilah (berpikir orang yang benar).

Dalam aspek pembangunan nasional, tentu ini sangat prinsipil. Manusia macam apa yang akan mengurus pembangunan negara dan bangsa kedepan? Jawabannya tentu tidaklah mungkin diwariskan pada mereka orang-orang bermoral rendah. Tidaklah mungkin ditangani mereka yang  fasik, yang curang, yang sesat dan yang tidak istiqomah. Jalan satu-satunya adalah menerapkan  konsep masyarakat utama (fadhilah).

Pesan Al Farabi, empat gejala yang jangan diikuti adalah solusi. Itulah pesan sosial profetik mengikuti sunnah Nabi. Dalam rangka harapan dan doa kita bangsa ini haruslah maju. Hal demikian memerlukan orang yang handal, yakni orang baik dan orang saleh. Mudah-mudahan.

Jakarta, 5 Januari 2020

*)Dr Mas ud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles