Indramayu, Demokratis
Misteri Kembang Ganyong, begitu istilah yang disematkan publik, terkait dugaan kredit macet senilai 300 miliar rupiah di Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja (BPR-KR) milik Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Kabupaten Indramayu ini, diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat. Sementara terkonfirmasi dari bupati Nina Agustina, bahwa jumlah aset BPR-KR diduga senilai Rp600 miliar.
Istilah tersebut saat ini telah menjadi fakta hukum. Hal itu diketahui dari surat panggilan Kejati Jabar pekan lalu pada (13/9/2022), panggilan itu, untuk sejumlah pengelola dan atau pejabat BPR-KR yang telah resmi di panggil Kejati Jabar di bandung. Mereka akan diperiksa dan atau untuk diminta keterangannya.
Sesungguhnya, publik dan media telah mengendus aroma dan ke indahan kembang ganyong ini, sejak tahun 2019-2020 lalu. Yaitu pasca di-OTT-nya Bupati Indramayu oleh KPK, pada persidangan Tipikor di Bandung. Saat itu terungkap bahwa kebijakan manajemen BPR-KR diduga sangat mengabaikan prinsip perbankan yang namanya 5 C dan atau 7 C. Namun karena diduga kuatnya daya tarik politik, maka upaya pembenahan terkesan diabaikan.
Menurut Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Indramayu O’ushj Dialambaqa, jika kita melihat konstruksi pemanggilan terhadap 5 pejabat BPR KR dan 1 Anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPR-KR, model konstruksi hukum seperti yang tercermin dalam pemeriksaan tersebut, Kejati tentu akan merekonstruksi kasusnya untuk menetapkan calon tersangka, alias siapa yang akan ditetapkan statusnya sebagai tersangka utama dan yang paling bertanggungjawab serta paling memiliki otoritas kebijakan dalam BPR-KR, soal pemberian kredit pada debitur. Potensi seratus persen yang bakal dijadikan tersangka utama, tentu adalah Dirut BPR-KR. Setelah itu akan menyusul tersangka berikutnya.
Soal begini bisa kita analisis dari surat Kejati yang dikirim tertanggal 13 September 2022, dengan Nomor B-10/M.2.5/,Fd.1/09/2022. Pidsus 5 B, perihal Bantuan Pemanggilan. Lantas siapa saja yang diperiksa Kejati, dan mereka yang diperiksa pegang jabatan apa di BPR KR.
Ternyata, surat panggilan Kejati dengan Nomor B-04/M.2.5/Fd.1/09/2022 untuk Direktur Operasional inisial BS. Surat Nomor B-05/M.2.5/Fd.1/09/2022, untuk Anggota Dewan Pengawas (Dewas) DM Surat Nomor B-06/M.2.5/Fd.1/09/2022. Untuk Kabag Kredit inisial Swn. Surat Nomor B-07/M.2.5/Fd.1/09/2022. Untuk Kabag Umum Swt. Surat Nomor B-08/M.2.5/Fd.1/09/2022 .untuk Kasubag Umum VAKC, dan Surat Nomor B-09/M.2.5/Fd.1/09/2022. Untuk Kabag Keuangan TS.
”Dari konstruksi pemeriksaan itu sangat jelas untuk menetapkan siapa tersangka utamanya. Karena keenam pejabat itu, berdasarkan tupoksinya pasti tahu, dan itu semua menjadi tanggung jawab kerjanya. Maka Kejati harus mendapatkan informasi dan penjelasan dari mereka, karena tidak mungkin mereka tidak tahu soal itu,” tandas O’ushj.
Alasan lain menurutnya, jika dilihat dari konstruksi pemanggilan, mereka semua tentu tahu ketentuan kredit dalam perbankan, yaitu konstruksi hukum dari prinsip 5C dan atau 7C dalam pemberian kredit, agar tidak terjadi kerugian negara. “Jadi cukup jelas konstruksinya. Pertanyaan berikutnya, adalah siapa saja yang bakal menjadi tersangka? Jika Kejati tidak melokalisir pemeriksaan kasusnya, tentu dilihat dari konstruksi kasusnya sampai macet dan atau rugi Rp300 miliar, maka minimal Kejati harus bisa mentersangkakan terhadap 13 orang,” imbuhnya.
Dia juga menjelaskan, jika berdasarkan tupoksi dan otoritasnya, minimal 6 orang yang terperiksa tersebut layak jadi tersangka utama. Memang secara hirarkis, tentu tidak hanya anggota Dewas saja, tetapi harus sampai pada Ketua Dewas yang ex ofusio yaitu Asisten Daerah (ASDA) 2. karena Kewenangan Asda 2 membawahi tanggung jawab semua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
”Jadi jika anggota Dewasnya 3 orang, maka menjadi 4 orang, karena ditambah Ketua Dewas. Mengapa? sebab Jika Dewasnya waras, tentu mereka bekerja sesuai tupoksinya dan kredit macet bisa terhindarkan, dan artinya potensi kerugian negara tidak terjadi. Lantas siapa lagi yang berdasarkan konstruksi hukum dan tupoksi yang terlibat, dan untuk bisa dijadikan tersangka, mereka adalah para Auditor Inspektorat. Sebab jika Inspektorat nya benar mengemban tupoksi dan tanggung jawabnya, kredit macet dan atau kerugian keuangan negara tidak akan terjadi. karena mereka dengan cermat, dan cepat akan menghasilkan temuan fraud, dalam rekomendasi Inspektorat. Baik diberikan kepada Bupati sebagai Kuasa Penyertaan Modal (KPM), maupun kepada Direktur Utama (Dirut) BPR-KR. Untuk menindaklanjuti temuannya, sebagai peran dan fungsi pencegahan dan untuk tidak terjadinya tindak pidana korupsi di BUMD, khususnya di BPR-KR,” jelas O’o biasa disapa.
Selanjutnya yang harus bisa dijadikan tersangka juga adalah Auditor Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), karena tiap tahun BPR-KR dan atau BUMD, termasuk BPR-KR, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Perusahaan Daerah Bumi Wira Lodra Indramayu (PD-BWI), adalah menjadi bagian dari obyek pemeriksaan BPK dalam audit tahunan terhadap tata kelola pemerintahan, dan audit atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD oleh Bupati.
Jadi Inspektorat maupun BPK fungsi utamanya adalah, untuk melakukan pencegahan atas perkorupsian, sehingga tidak sampai terjadi adanya kerugian keuangan negara. dan jika ditemukan unsur tipikor, maka harus merekomendasikanya ke Aparat Penegak Hukum(APH). Jika hal itu telah dilakukan, tidak akan membengkak kerugian negaranya. Jika itu hanya bersifat administratif, maka diberi waktu 60 hari kerja untuk menindak lanjuti temuan tersebut. Jika lewat waktu 60 hari, memberi rekomendasi ke APH, maka itu sudah menjadi temuan hukum.
“Jadi bila melihat kredit macet yg fantastik itu, auditor Inspektorat maupun auditor BPK harus bisa dijadikan tersangka, karena tidak menjalankan tupoksinya secara profesional. Indikasi kuatnya ada main mata, atau pagar makan tanaman, kemudian modus pura-pura tidak tahu, karena profesionalitasnya terbunuh oleh mentalitas yg bobrok sebagai auditor, untuk melakukan pencegahan terjadinya kerugian keuangan negara. Masih adakah yang harus dan bisa dijadikan tersangka, tentu masih cukup banyak untuk dijadikan calon atau tersangka,” ungkapnya.
Di tambahkannya, melihat konstruksi hukum dan pemeriksaan Kejati pada Kamis, 15 September 2022, dan merekonstruksi persoalan kredit macet yang ratusan miliar itu, maka debitur nakal, yang definisinya menyalah gunakan kredit dan bukan untuk kepentingan usahanya atau yang duitnya dipinjamkan lagi ke orang lain, dan mengakal-akali pemberian kredit yg melanggar ketentuan prinsip 5C dan atau 7C itu, sehingga terjadi kerugian negara, maka dia juga harus dijadikan tersangka, itu konkret. Untuk itu, kasus kredit macet di BPR-KR yg ditangani Kejati ini, harus dikawal ketat oleh publik. Jika publik berdiam diri kasusnya bisa tenggelam, jadi antah-berantah seperti kasus PDAM yang statusnya sudah Tersangka,namun hilang bak di telan bumi. begitu juga kasus duit Corporat Sosial Responsipbility (CSR), senilai 15 miliar yang statusnya sudah Tersangka, tapi tenggelam juga di sungai cimanuk. Keluhnya.
PKSPD sangat berharap dan meminta Kejati, untuk mengusut tuntas misteri kembang ganyong ini, dan untuk tidak melokalisir pemeriksaan kasusnya. Hendaknya minimal 13 orang bisa dijadikan tersangka dalam misteri ini. ”Jika hanya satu dua orang saja yg dijadikan tersangka, publik akan berspekulasi liar, dengan mengajukan pertanyaan ada apa dengan Kejati,” pungkas O’ushj Dialambaqa. (S Tarigan)