Terjadi kesibukan menjelaskan Islam Nusantara belakangan ini dihubugkan dengan konsep Islam Kaffah kian menjadi-jadi saja. Ada yang berpandangan Islam Nusatara tidak Kaffah, artinya tidak murni dalam konsep Islam malahan terbawa oleh konsep yang lain. Padahal perdebatan dan perbedaan itu menghabiskan energi dan tenaga yang banyak.
Sementara hal lain seperti kemiskinan dan kebodohan dibiarkan. Kita memerlukan intelektual mumpuni. Banyak yang lebih mendesak urgen lainnya.
Seperti menghububungkan intelektual mumpuni dengan pendidikan berkualitas penting jadi tujuan. Tiap negara menyadari hal itu dalam sistem pendidikannya. Yang bertujuan agar menjadi bangsa unggul.
Meminjam kata dari Ahmad Syafi’i Ma’arif almarhum, yang mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pendidikan harus cerdas. Artinya pendidikan yang menjadikan mumpuni dalam intekletual. Paham akan problem realitas.
Dia termasuk tidak suka dengan ketidakmengertian. Ia menunjukkan kegelisahan kalau tidak mengerti akan persoalan dan bicara mencla mencle ke sana ke mari. “Entahlah Yuang,” desis Syafi’i Ma’arif dengan kegeisahannya dalam bahasa kampungnya menandakan ia resah.
Agaknya keresahan jadi menarik bila dihubungkan dengan temuan-temuan Thamsary dalam bukunya The Destruction Of Destiny (Kerusakan Pada Tujuan) memperlihatkan dengan hal yang disebut cerdas dan mumupuni dimaksud. Menurut Thamsary adalah sebuah kecelakan besar bila tujuan sebuah gagasan dirusakkan karena kurang pengertian atau kata lain kurang cerdas.
Inilah yang dimisalkan oleh Saidina Ali Ra. Yaitu ilu yang tidak makrifatullah yang hanya nyinyir. Menjadi kebiasaan kelompok tanpa ilmu tiada yang komprehensip menjadi milik kelompok lebai malang.
Demikianlah fenomena sekarang. Hal ini yang menjadi tanggung jawab para intelektual menyelesaikannya. Dalam mencari solusi atau wayout yang terbaik.
Kita memperkenalkan Islam yang berkemajuan dalam arti sesuatu relevan dan perlu. Bukan sibuk tidak menentu tanpa kejelasan. Seperti hal memperdebatkan Islam Nusantara.
Sekarang banyak persoalan lain yang lebih penting dan urgen adanya. Sekaranglah masanya kita mengarah tentang masalah yang mendasar masalah kemiskinan ekonomi. Bukankah kita ketinggalan memikirkannya. Spiritual ekonom yang terlupakan.
Dalam konteks inilah kecederdasn intelektual diperlukan. Menghentikan debat tak menentu dalam defenisi dan Islam Nusantara. Menghabiskan energi dan tenaga yang banyak, namun output atau outcome tidak jelas.
Jakarta, 5 Oktober 2022
*) Doktor Masud HMN adalah Dosen pada Paskasarjana Unversitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta