Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Prof. Dr. H Asasriwarni, MH Menjadi Pembicara Dalam Seminar Fiqih Mawaris

Padang, Demokratis

Seminar Fiqih Mawaris digelar Yayasan Mubaliq di Aula Kantor Gubernur Sumbar pada Minggu, 20 November 2022, Prof. Dr. H Asasriwarni mengatakan kepada Demokratis bahwa seminar ini membahas tentang fiqih mawaris yang dijelaskannya dalam sebuah makalah sebagai berikut:

KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM DAN KEWSARISAN ADAT MINANGKABAU

  1. Kewarisan dalam Hukum Islam
  2. Pengertian Kewarisan

Berbicara tentang kewarisan dalam Islam meliputi dua istilah yang memiliki makna sama. Kedua istilah tersebut adalah al-Faraid dan al-Mawaris. Berikut dijelaskan terlebih dahulu pengertian kedua istilah kewarisan ini sebelum lebih jauh dibahas hal-hal terkait kewarisan dalam Islam.

Al Faraidh berasal dari bahasa Arab, yang merupakan jamak dari al faridhah. Secara etimologi artinya sesuatu yang diwajibkan, atau pembagian yang telah ditentukan kadarnya.[1] Kata al-Faridah terambil dari kata al fard yang memiliki beberapa makna, diantaranya sebagaimana yang diungkapkan dalam beberapa ayat berikut ini :

  1. Ketetapan, sebagaiman yang terdapat dalam surat An-nisa ayat 7 .
  2. Ketentuan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Bbaqarah ayat 237.
  3. Menurunkan, sebagaimana dalam surat al-Qashas ayat 85 .

 

  1. Penjelasan, sebagaimana terdapat dalam surat At Tahrim ayat 2 :

Secara terminologi pengertian al-Faraid diungkapkan oleh beberapa ulama. Seperti Muhammad al-Syarbaini, ialah “Ilmu faraid adalah ilmu yang terkait dengan irs (pembagian harta warisan).

  1. Dasar Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari beberapa al-Qur’an dan beberapa sunnah Rasulullah.

  1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam kewarisan. Terdapat beberapa ayat menjelaskan tentang kewarisan ini, seperti terdapat dalam surat an- Nisa ayat 7, ayat 11 sampai dengan ayat 14 dan ayat 179.

 

  1. Hadis

Hadis sebagai sumber kedua dari hukum kewarisan Islam. Hadis menetapkan hukum kewarisan yang belum ditemukan dalam ayat ataupun memperjelas yang apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Diantaranya hadis dari Ibn Abbas.

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.” (HR.Muttafaq Alaihi).

Hadis di atas menjelaskan bagian ahli waris asabah. Rasullah memerintahkan untuk membagikan harta warisan kepada ahli waris yang telah memiliki ketentuan (zawil furud). Setelah itu, harta yang tertinggal adalah bagian ahli waris laki-laki.

Hadis lain yang berbicara tentang kewarisan adalah hadits Nabi dari Abu Hurairah “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda : Seorang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan (dari orang yang dibunuhnya).”

Hadis yang diriwayatkan oleh jamaah selain Nasai dari Usamah bin Zaid. “Dari Usamah bin Zaid ra. Bahwa Nabi Saw bersabda “Orang muslim tidak menerima warisan orang kafir dan yang orang kafirpun tidak mendapatkan warisan orang muslim.”

Foto bersama peserta seminar. Foto-foto: Demokratis/Addy DM

Kedua hadis di atas menjelaskan tentang kondisi yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan kewarisan. Terhalang kewarisan bagi pelaku pembunuhan dan orang yang saling berbeda agama. Jumhur ulama telah sepakat bahwa pembunuhan menjadi penghalang berlakunya hukum kewarisan antara orang yang membunuh dengan orang yang dibunuh.[2] Terkait beda agama juga telah disepakati jumhur. Tidaklah saling mewarisi orang Islam dengan orang kafir (non muslim). Inilah pendapat yang rajih karena antara orang muslim dan non muslim telah terputus wilayahnya (hubungan agamis).[3]

  1. Ijma’ dan Ijtihad

Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum utama kewarisan Islam. Dalam praktek kewarisan, ternyata masih terdapat masalah-masalah yang tidak dirinci oleh kedua dalil tersebut. Hal ini membuka peluang bagi ulama melakukan ijtihad untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.

  1. Rukun Kewarisan
  2. Ahli Waris (waris)

Waris adalah orang yang masih hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal, sebagai sebab mendapatkan kewarisan baik dalam bentuk hubungan karena kekerabatan, perkawinan, ataupun memerdekakan budak.

  1. Pewaris (Muwaris)

Muwaris adalah pemilik harta yang sah dari yang meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun secara hukum. Mati hakiki yaitu mati (meninggal dunia) dalam kenyataan sebenarnya dengan berpisahnya ruh dengan jasadnya. Sedangkan mati menurut hukum adalah mati atau meninggal dunia yang ditetapkan berdasarkan ketetapan pengadilan. Hal ini bisa karena seseorang tidak diketahui lagi keberadaannya dan tidak ada indikasi tentang hidupnya.

  1. Maurus

Maurus disebut juga dengan istilah tirkah atau dengan istilah miras yaitu harta yang ditinggalkan oleh mayat (orang yang meninggal dunia.)[4]Dalam keadaan yang lain hak itu berupa hak-hak bukan berbentuk benda. Yusuf Musa mencoba membagi hak tersebut sebagai berikut :

  • Hak kebendaan; dari segi haknya tidak berupa atau harta, tetapi karena jawabnya yang kuat dengan harta yang dinilai sebagai harta, seperti hak lewat di jalan umum atau hak pengairan.
  • Hak-hak kebendaan yang menyangkut pribadi si meninggal, seperti mencabut pemberian kepada seseorang.
  • Hak-hak kebendaan yang menyangkut kehendak yang meninggal, seperti hak khiyar.
  • Hak-hak yang bukan berbentuk benda tetapi menyangkut pribadi seseorang, seperti hak terhadap menyusukan anak.

Dari macam-macam hak di atas, yang dapat diwariskan adalah :

  • Hak yang oleh ulama telah disepakati dapat diwariskan, yaitu hbak-hak kebendaan yang dapat dinilai dengan harta, seperti hak lewat di jalan umum.
  • Hak-hak yang disepakati oleh ulama tidak dapat diwariskan, hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak kewalian ayah terhadap anaknya.
  • Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama, tentang kebolehannya untuk diwarisi, yaitu hak yang tidak bersifat kebendaan, seperti khiyar dan pencabutan pemberian.
  1. Sebab-Sebab Kewarisan
  2. Kewarisan Masa Jahiliyah

Masyarakat jahiliyah berpola kesukuan, nomaden, suka berperang dan menjarah harta rampasan. warisan dari keluarganya yang meninggal yaitu laki-laki, berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.

Kepentingan suku menjadi sangat diutamakan. Konsekuensinya anak perempuan dan anak laki-laki yang lemah, tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarganya.

Ada beberapa faktor kewarisan pada masa jahiliyah.
1) Hubungan nasab

2) Pengangkatan Anak, yaitu mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri, kemudian dijadikan sebagai ahli waris.[5] Dalam hal ini anak yang diadopsi dimasukkan ke dalam keluarga bapak angkatnya serta dinasabkan perjanjian kedua belah pihak yang dapat menyebabkan terjadinya kewarisan.

  1. Kewarisan dalam Islam

3 faktor yang  terjaadinya kewarisan dalan Al’qur’an.

  • Kekerabatan.
  • Hubungan Perkawinan.
  • Memerdekakan Budak.
  1. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
  2. Asas Ijbari

Secara etimologi ijbari berarti “paksaan”. Menurut Amir Syarifuddin adanya azas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.[6]

1 )Ijbari dari segi peralihan harta

2) Ijbari dari segi jumlah harta yang beralih

3) Ijbari dari segi siapa yang menerima peralihan harta

  1. Asas Bilateral
  2. Asas individual
  3. Asas Keadilan Berimbang
  4. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian

 

  1. Pembagian Kewarisan

Hukum pembagian harta warisan dalam islam akan diatur kepada ahli warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak sama. Pembagian harta warisan tergantung kepada status kedekatan hubungan antara pewaris dengan ahli warisnya.

Dikutip dari buku bertajuk ‘Pembagian Warisan Menurut Islam’ karya Muhammad Ali Ash-Shabuni, cara pembagian harta warisan berdasarkan Al-Quran surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

  1. Setengah (1/2) Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.
  2. Seperempat (1/4) Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri
  3. .Seperdelapan (1/8) Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.
  4. Duapertiga (2/3) Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
  5. Sepertiga(1/3) Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
  6. Seperenam (1/6) Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.
  7. Penghalangan Kewarisan
  8. Budak
  9. Pembunuhan
  10. Berbeda Agama

Kewarisan Dalam Adat Minangkabau

  1. Sekilas Budaya Minangkabau

Minangkabau dan budayanya sudah ada sebelum masuknya Islam, bahkan sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara. Sebelum masuknya pengaruh asing, kebudayaan Minangkabau telah mencapai puncak peleburan dan individualitas yang kuat. Oleh karena itu, tidak mudah bagi budaya asing yang masuk untuk masuk ke dalam pengaruhnya. Penerimaan yang selektif terhadap budaya dari luar membuat budaya yang bertentangan dengan filosofi tradisionalnya tidak mungkin bertahan di Minangkabau. Terletak di antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, Minangkabau menjadi incaran kunjungan asing. Selain itu, keterbukaan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan menempatkannya pada posisi menerima pengaruh budaya luar, asalkan pada prinsipnya tidak bertentangan dengan budaya yang ada.

  1. Tingkatan Adat

Masyarakat Minangkabau mengenal filsafat adat yang berdasarkan kenyataan yang hidup dan berlaku dalam alam.[7] Bila diteliti bunyi pepatah adat, baik dari segi sampiran maupun isinya, terlihat jelas bahwa kata yang lazim dipergunakan adalah kata benda atau sifat yang terdapat dalam alam sekitar. Yang demikian diibaratkan untuk kehidupan manusia dan untuk menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia itu.

Bagi masyarakat Minangkabau adat terbagi kepada empat tingkatan, yakni adat nan saban  istiadat. [8]

  • Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat merupakan hukum alam atau sunnatullah yang berlaku tetap di alam terus menerus dan sepanjang masa. Keadaan, tempat dan waktu tidak akan pernah membuatnya berubah. Seperti, adat air membuat basah, adat api membakar, adat ayam berkokok, adat anjing menggonggong. Dalam hukum alam (sunnatullah) tersebut terkadung hukum, norma, dan nilai-nilai. Di dalam pepatah Minangkabau dinyatakan sebagai “adat nan indak lakang dek paneh. indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati, atau adat babuhua mati” (adat yang tidak kering karena panas, tidak lapuk karena hujan, dipindahkan tidak layu, dicabut tidak mati atau adat berbuhul mati). Alam adalah sumber dari Adat nan sabana adat ini.

  • Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan merupakan peraturan yang berlaku pada suatu daerah berdasarkan kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari.

  • Adat Nan Teradat

Adat yang teradat, merupakan aturan-aturan berdasarkan kebiasaan suatu daerah yang disusun berdasarkan musyawarah dan kesepakatan oleh ninik mamak sebagai aturan pokok. Adat ini akan berbeda pada tempat yang berbeda, dapat bertambah atau berkurang pada suatu tempat dan dapat pula hilang berdasarkan kepentingan.[9]

  • Adat Istiadat

Adat istiadat adalah aturan-aturan dalam adat yang susun berdasarkan kata mufakat para niniak mamak dalam suatu daerah.

Keempat bentuk adat yang telah disebutkan di atas berbeda kekuatannya dalam pelaksanaan. Hal tersebut karena kekuatan sumber dan luas pemakaiannya di tengah masyarakat.

Dari keempat macam adat di atas, adat nan sabanaadat dan adat nan diadatkan merupakan ketentuan-ketentuan adat yang tetap dan tidak dapat berubah selamanya. Adat ini dikatakan dengan adat babuhua mati (berbuhul mati dan tidak bisa dibuka).

  1. Sistem Matrilinial

Masyarakat Minangkabau, dilihat dari sistem kekeluargaan menganut sistem matrilineal, yaitu berdasarkan kepada keturunan ibu atau perempuan.

  1. Asas-Asas Hukum Kewarisan
  • Asas Unilateral
  • Asas Kolektif
  • Asas Keutamaan
  1. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian harta dari pewaris atau orang yang meninggal.

Babak Baru ABS-BSK di Ranah Minangkabau

Dewan Perwakilan Rakyat dalam Sidang Paripurnanya tanggal 30 Juni 2022 bersama Pemerintah, telah mengesahkan sejumlah RUU menjadi UU. Presiden juga sudah menandatangani UU tersebut pada tanggal 22 Juli 2022.  Dalam konsideran, UU tersebut menyatakan bahwa prioritas otonomi daerah harus memperlakukan potensi daerah dalam berbagai bidang. Seperti kekayaan alam, budaya, kearifan lokal, kondisi geografis dan demografis, serta tantangan dan dinamika masyarakat yang dihadapi dalam tataran lokal, nasional dan internasional.

Untuk mempercepat menuju kesejahteraan masyarakat Propinsi Sumatera Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 sebagai UU tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, sehingga perlu diganti. Dengan demikian dapat dipahami bahwa UU Propinsi Sumatera Barat bukan hanya sekedar untuk memperbaharui dasar hukum pembentukan Propinsi Sumbar. Melainkan juga untuk memperkuat keberadaan otonomi daerah Propinsi Sumbar, memperlakukan potensi dan kearifan lokal dalam berbagai bidang. Dalam UU tersebut terkait konteks kearifan lokal. Khususnya dalam pasal 5 huruf C, Propinsi Sumatera Barat dicirikan dengan falsafah Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Ada kontroversi, sehingga timbul pro dan kontra terhadap UU tersebut. Bagi kelompok kontra, mereka bukan tidak setuju dengan ABS-BSK-nya, tapi lebih karena rumusan UU tersebut mengandung kelemahan dan diskriminasi terselubung. Khususnya terhadap masyarakat Mentawai yang nota benenya bukan Etnis Minangkabau. Walaupun ada yang mengatakan bahwa kepulauan Mentawai termasuk etnis Minangkabau, hanya saja agak terlambat berintegrasi ke Negeri Tepi. Terlepas dari silang pendapat itu, sebenarnya UU tersebut bisa dibuat turunannya dalam bentuk Perda, seperti Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari di Sumbar.

Dalam Perda Nomor 7 Tahun 2018 itu Mentawai terakomodir dan tidak ada masalah sampai sekarang. Memang UU Nomor 17 Tahun 2022 tersebut khususnya yang mengatur karakteristik Propinsi Sumbar dalam pasal 5 huruf C dinyatakan Adat Budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah ABS-SBK dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yg menunjukan karakter, religus dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumbar.

Sedikit mengganjal adalah frasa “ABS-SBK sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku”. Hal ini dapat menimbulkan makna bahwa falsafah ABS-BSK, dijalankan sesuai dengan adat salingka nagari. Rumusan ini jelas mengandung kekeliruan, karena bagaimana mungkin ABS-BSK sebagai filosofi hidup masyarakat Minangkabau, justeru akan dijalankan sesuai adat salingka nagari. Mestinya adat salingka nagari yg harus dijalankan sesuai falsafah ABS-SBK. Apalagi dilihat dalam perspektif teori norma ABS-BSK berada dalam posisi sebagai norma fundamental masyarakat Minangkabau. Sedangkan adat salingka nagari adalah keberlakuan hukum adat dalam wilayah tertentu .

Kita mengusulkan kepada Gubernur dan DPRD Provinsi Sumatera Barat agar secepatnya membuat Perda turunan. Karena UU ini secara hukum tidak mungkin lagi dirubah sesuai bunyi pasal 72 UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Peraturan Perundang-undangan. Adapun kesalahan teknis penulisan yang dimaksud adalah hanya untuk menjelaskan salah ketik, salah tanggal, nomor, pasal, nomor urut, pragraf, ayat dan kalimat yang dapat diperbaiki. Adapun subtansi dari UU, sama sekali tidak dapat diperbaiki. Yang mungkin dilakukan hanya proses legislasi biasa, seperti Perda. Tapi kalau ada yang mau melakukan judicial review rasanya tidak perlu. Karena selama ini Visi dan Misi Gubernur dan Wagub sudah mencantumkan “Mewujudkan masyarakat Sumatera Barat yang Madani Berbudaya ABS-SBK”. Ada yang mengatakan dengan mencantumkan falsafah ABS-BSK ini menjadi Hukum Positif, akan membuka peluang untuk diterapkan Syariat Islam di Propinsi Sumatera Barat.

Dalam UUD 1945, pencantuman ciri atau karakteristik sebuah Propinsi sama sekali tidak memungkinkan sebuah Propinsi menjadi daerah khusus sebagaimana dimaksud 18 B UUD 1945. Pencantuman ciri atau karakteristik sebuah Propinsi sama sekali tidak mengubah Status Propinsi, kecuali diberi otonomi luas. Terakhir, kita sampaikan ucapan terimakasih kepada DPR RI dan Pemerintah yang telah memasukan Falsafah Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah dalam Hukum Positif. Sehingga posisinya menjadi kuat. (*)

Kita masyarakat Minangkabau berterimakasih kepada Pemerintah dan DPR RI yang telah menjadikan Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah menjadi hukim positif. Tambahan lagi Kementerian Diknas telah mengeluarkan peraturan nomor 50 tahun 2022 bahwa mulai anak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah  Atas satu hari berpakaiaan adat setempat.

Kesimpulan dari seminar ini sbb:

Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi mengharamkan pelaksanaan kewarisan di Minangkabau karena tidak terdapat dalil menjelaskan hal tersebut. sedanngkan Syekh Abd Karim Amrullah memandang boleh hukumnya karena menurutnya kewarisan harta pusaka di Minangkabau, disamakan dengan harta musabalah atau waqaf. Dasar hukum kedua tokoh ini dapat dilihat dari tiga hal, yaitu lokus atau tempat dan situasi sosial budaya, methode istimbat hukum, dan argumentasi yg menjadi dasar penetapan hukum. Kalau menurut penulis kenapa ayat-ayat tentang waris sangat rinci pembagian masing-masing sedangkan ayat tentang shalat tidak rinci karena ayat-ayat tentang waris sangat rinci supaya tidak terjadi sengketa tetapi kalau masing-masing sudah tahu bagian masing-masing lantas dibagi sama banyak no problem ini yg dijelaskan KHI pasal 183.

Bahwa pembagian waris sah dilakukan secara kekeluargaan dan berdamai asal masing2 mengetahui pembagiannya. Ini banyak terjadi di Minangkabau bahwa laki2 tidak mau mengambil bagianya dua pertiga karena berpegang pada pepatah Karatau Madang dihulu babuah babungo Balun, marantau bujang dahulu dirumah paguno balun. (Addy DM)

[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Tterlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1047

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles