Oleh DR Mas ud HMN
Kata Iskandar Zulkarnain yang agung tokoh dunia purbakala, The great men is the great idea (Orang hebat adalah yang punya cita-cita hebat). Kita sering keliru melihat satu objek tokoh tentang keberadaannya dan kehadirannya. Misalnya terhadap satu tokoh, karena sudah wafat lalu orang melupakannya. Fisiknya sudah tidak ada.
Tetapi adanya seorang tokoh bukan semata fisiknya, tapi juga di balik fisiknya, yaitu karyanya, gagasannnya dan cita-citanya. Pada sisi keilmuan dalam hal ini landasan berfikir ada pada jalur wujud fisik dan wujud wajah idealis.
Dalam kajian filsafat ilmu dua landasan berpikir ontologi dan epistemologi berjalan seiring. Tiada filsafat bila tak ada ontologi dan juga tak ada ilmu tanpa epistemologi. Masing-masing memiliki kedalaman substansial, yang tidak bisa dicampuradukkan. Menimbulkan masalah berpikir lantaran kekeliruan membaurkan ontologi dan epistemologi.
Coba dilihat pada substansial landasan ontologi, yaitu berpijak dari being, wujud. Tentang yang ada. Kedalamnya adalah berpijak pada hakikat, sesungguhnya, sejatinya. Being bukan sekedar ada fisik namun juga apa hakikat dari ada tersebut.
Menurut Plato pemikir filsafat Yunani kuno takrif being atau wujud itu terdiri materi dan immateri. Being-nya manusia ada karena ada materi representasi fisiknya dan ada being-nya immateri direpresentasikan ide dan gagasannya.
Demikianlah hakikat adanya manusia ibarat seniman P Ramlee, fisiknya tubuh namun juga berupa immateri hasil karya musiknya, warisannya. Hakikat adanya P Ramlee lebih utama kepada adanya dia dengan monumental karya seni musiknya atau ide seninya. Itulah hakikat kajian pada landasan ontologi tentang apa.
Lalu landasan intelektual epistemologi adalah bagaimana suatu kebenaran itu. Kedalaman substansinya terletak pada tapak intelektual, metode. Jadi epistemologi direpresentasikan oleh kebenaran yang sahih melalui metode tersebut.
Jadi artinya dalam hal ini, kebenaran epistomlogi ada pada empirisme, pengalaman. Kebenaran ditentukan oleh metode dan kebenaran ditentukan oleh konteksnya. Inilah landasan substansial kebenaran epistemologis.
Ringkasnya ontologi adalah takrif teks. Sementara epistemologi adalah kontekstual. Dengan kata lain keberadaan ontologi pada posisi hulu dan konteks epistemologi adalah kebenaran pada posisi hilir. Keduanya berbeda, namun keduanya seiring. Ontologi mengawali dan epistemologi mengembangkan.
Dimana kekeliruan kalau dicampuradukkan? Apa dan bagaimana implikasi terhadap berpikir keilmuan.
Hal ini oleh Prof Rasjidi pernah ditanggapi serius. Yaitu masa Nurcholis mengemukakan gagasan seulerisme agama. Prof Rasyidi memberi respon bahwa adalah kekeliruan demikian fatal atau sangat dasar. Karena esensinya tidak sama dan tidak bisa dibaurkan. Mana mungkin disatukan pengertian berdasarkan teks dan pengertian berdasarkan konteks.
Sebagai pengalaman. Adalah perdebatan tentang sekularisme. Teksnya sekulerisme, karena mengabaikan agama. Sementara kita tidak menentang sekular. Bahkan kita memerlukannya. Sekular terkandung makna masalah yang berkaitan dengan dunia. Negara sekular. Kemudian sekularisme semua faham mengutamakan keduniaan dan melepaskan kaitan dengan urusan agama.
Yang ditentang sebenarnya adalah sekularisme, yaitu faham.yang mengabaikan agama dalam kehidupan dunia. Adapun sekular tidak perlu ditentang, karena itu urusan keduniaan.
Bagaimana mungkin menentang sekular karena itu adalah urusan keduniaan kita dalam pemanfaatan teknologi.
Akhirnya sekali lagi, sering keliru membaurkan antara pengertian teks dan pengertian konteks. Atau antara ontologi dan epistemologi.