(Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Data statistik laporan kinerja institusi Penegak Hukum dalam kurun waktu setelah PP No. 43/2018 diundangkan, KPK per 31/12/2018: Penyelidikan 164 perkara, Penyidikan 199 perkara, Penuntutan 151 perkara, Incracht 106 perkara dan Eksekusi 11 perkara. Nopember kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) sejumlah 21 dan tahun 2018 sejumlah 28 OTT (web resmi KPK). Kepolisian dengan 535 kantor sejumlah 162 pada tahun 2018 dan . Kejaksaan dengan 520 kantor sejumlah 235 pada tahun 2018 (ICW-CNN: Tren Penindakan Korupsi 2018 Merosot, Polri-Kejaksaan Disorot, Jum’at, 08/02/2019. 05.22).
Perkembangan kasus perkorupsian hingga kini, atau per tahun 2022, bisa kita akses melalui website masing-masing institusi; KPK, Kejaksaan dan Kepolsian, sehingga kita bisa melakukan pembacaan statistik kasus dan keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Penangan Perkara
Penangan perkara melalui OTT (Oprasi Tangkap Tangan) KPK bukanlah ansich kinerja KPK, melainkan adanya pelapor, informasi publik (anggota masyarakat) yang disampaikan kepada KPK melalui mekanisme “Whistleblower System” atau dalam cara lainnya, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyadapan yang ditindaklanjuti dengan “operasi senyap “ yang membuahkan OTT. Begitu juga jika OTT itu dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan banyaknya kasus korupsi yang dibongkar publik baik yang secara langsung dilaporkan maupun tidak langsung (via jasa kurir pengiriman surat) menyampaikan laporannya, hal ini menunjukan fakta adanya peran serta masyarakat dalam upaya melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam OTT, laporan publik haruslah detail dan sangat rinci dalam memberikan informasi awal sebelum dilakukan penyadapan, kapan akan terjadi transaksi, di mana dan seterusnya. Bahkan komunikasi Pelapor (informan) dengan tim OTT sangatlah intensif, karena bisa saja dalam percakapan penyadapan ada perkembangan baru yang semula tidak termonitor, sehingga tim OTT juga harus mendapatkan informasi lanjutan, misalnya, si “A” itu siapa, apa perannya dan sebagainya, di mana tempat tinggal bahkan rumahnya dengan peta lokasinya untuk memudahkan pengintaian transaksionalnya jika tidak di tempat lainnya, karena OTT harus bagaikan kilat yang menyambar. Terlambat sedikit saja, akan aman, baru kemudian setelah OTT tersbut berhasil, perkaranya bisa berkembang dari hasil pendalaman penyidikan.
Pertimbangan untuk dilakukan penyadapan tentu sedemikian rupa, apakah laporan masyarakat itu bisa dipertanggungjawabkan, misalnya, informasi awal alat bukti permulaan dan atau alat bukti petunjuk dan lainnya, logis apa tidak, rasional apa tidak, lokusnya di mana, siapa saja yang akan melakukan transaksi, dan transaksi masalah apa saja.
OTT baru bisa berhasil dengan sukses jika ada matahari kembar. Mengenai alasan terbitnya matahari kembar, tidak penting bagi pengungkapan kasus korupsi via OTT. Yang terpenting adalah bagaimana jaringan mafia perkorupsian yang tersembunyi tersebut bisa dibongkar atau dijebol untuk tindak lanjut penindakan perkara tindak pidana korupsi.
Penangan atau tindak lanjut perkara di luar OTT, tentu adalah aparatus Negara Penegak Hukum atau institusi Penegak Hukum menerima laporan dugaan korupsi yang disampaikan publik atau penggiat antikorupsi. Sekalipun, tidak menutup kemungkinan bahwa pengungkapan kasus korupsi tersebut hasil dari kinerja institusi Penegak Hukum ansich yang dilakukan oleh bidang intel(jen)nya, tetapi sekalipun memang begitu, tetaplah ada informasi yang dimintakan dari masyarakat (publik) dengan metode sasaran antara, dan mengupil, menguping dari pembicaraan ke pembicaraan.
Dalam laporan yang disampaikan, harus bisa dipertanggungjawabkan, kecukupan alat bukti permulaan, yang biasanya jika yang melaporkan para penggiat antikorupsi alat bukti permulaan yang disertakan lebih dari cukup, bisa tiga atau empat bahkan lebih, sekalipun dua alat bukti permulaan saja sudah dianggap cukup, ditambah dengan alat bukti petunjuk lainnya. Tetapi, karena aparatus Negara Penegak Hukum itu maunya “Hidangan Cepat Saji”, maka jika hanya 2 (dua) alat bukti permulaan yang disertakan, tidak selera melirik, bahkan banyak alasan, apologi dan alibi yang disampaikan balik ke Pelapor, padahal Pelapor sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk melakukan penyidikan untuk mendapatkan alat bukti tambahannya. Api jauh dari panggang seperti apa yang dimaksudkan dalam PP No. 43/2018, pasal 2 ayat (2.a, c, d dan e), pasal 7 ayat (3), pasal 8, pasal 10 dan pasal 11.
Kenaifan PP
PP No. 43/2018, termasuk UU dan PP yang telah diterbitkan sebelumnya, jika kita baca dan dengar dari jauh menjadi amatlah merdu dan aduhai. Angin surgawi bertiup semilir. Dalam PP tersebut seolah-olah Negara meninggikan derajat, emuliakan penggiat antikorupsi, karena dianggap telah berjasa kepada negara untuk melakukan upaya dan pencegahan dan bahkan pengungkapan (membongkar) kasus korupsi yang extra ordinary crime, yang menjadi musuh Negara, sehingga harus dimaklumatkan bahwa korupsi itu harus dilawan dan menjadi musuh bersama.
Namun, sejarah telah memberikan catatan penting dan berharga selama ini yang tak boleh kita lupakan (melawan lupa), bahwa hal itu bagaikan api jauh dari panggang atau jika gelap mendung itu tiba, belum tentu hujan itu akan turun. Kenaifan PP itu, karena tidak ada klausul atau tidak ada satu katapun baik dalam pasal maupun ayatnya yang memuat, bahwa jika aparatus Negara Penegak Hukum (APH) dan atau institusi Penegak Hukum yang melanggar dan atau tidak melaksanakan amanat PP maupun UU tersebut wajib dipidana kurungan dan atau denda dan atau wajib dikenakan penurunan pangkat dari kepangkatan dan jabatannya, bahkan untuk diberhentikan dengan tidak hormat jika tidak merespon laporan publik yang telah terpenuhinya unsur perkorupsian dengan alat bukti permulaan yang cukup. Sama sekali tidak ada soal tersebut dalam PP itu.
Fakta yang tak bisa terbantahkan adalah bahwa PP No. 43/2018, pasal 2 ayat (2..a, c, d dan e), pasal 7 ayat (3), pasal 8, pasal 10 dan pasal 11 tidak dilaksanakan, dan itu tidak ada sama sekali sanksinya buat APH (Aparat Penegak Hukum atau Aaparatus Negara Penegak Hukum, sehingga tanpa beban, dan tanpa merasa bersalah melanggar aturan mainnya sendiri tersebut.
Pada sisi lain, dalam hal kenaifan itu adalah soal pasal pemberian penghargaan kepada peran serta masyarakat atau Pelapor yang melakukan upaya pencegahan, pemberantasan dan pengungkapan dugaan telah terjadi adanya korupsi, seperti yang termuat dalam pasal 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 hingga pasal 21.
Pasal 13 (2) huruf a: masyarakat yang secara aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak dibidang pencegahan tindak piudana korupsi. Pasal 14 (1) merujuk pasal 13 ayat (2) huruf a. Pasal ini menjadi pasal karet dan debatible yang sangat amat subyektif, tidak mengandung obyektivitas sedikitpun, karena apa parameternya dan bagaimana cara untuk menghasilkan keterukuran yang obyektif dari definisi : (1) Masyarakat yang secara aktif. (2) Konisten, dan (3) Berkelanjutan bergerak di bidang pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam penjelasan PP tersebut pada pasal 13 adalah cukup jelas, kecuali ayat (3) huruf a: yang dimaksud dengan “piagam” dalam ketentuan ini diberikan dalam bentuk sertifikat dan lencana, sekalipun memang bentuk sertifikat dan lencana itu harus dibakukan. Yang diberikan penjelasan, justru hal yang remeh temeh dan tidak menjadi penting bagi penggiat antikorupsi yang merindukan Negara ini bisa sejahtera, adil dan berkedaulatan. Kini disadari atau tidak, diakui atau tidak, kedaulatan ekonomi dan politik kita berada dalam genggaman “Kerah Putih” atau oligarki. Bahkan oligarki disebut-sebut bisa mengendalikan Aparatus Negara, seperti yang dikatakan Mafud MD, adanya industri hukum di peradilan kita.
Pertanyaan terhadap prase “secara aktif”, apa itu definisi dan keterukurannya? Apa keaktifannya harus tiap hari, minggu, bulan dalam setahun? Apa secara aktif itu, harus tak ada hari tanpa pelaporan dan atau informasi yang harus diberikan kepada institusi Penegak Hukum, dan dalam batas waktu, bulan atau tahun atau harus bertahun-tahun, limitasinya apa?
Prase “konsisten” itu yang bagimana, apa jika haya setahun sekali atau persemester itu dianggap tidak konsisten? Apa keterukuran dan limitasinya dari jarum jam yang terus berdetak? Jika hanya melaporkan sekali atau dua kali saja dalam setahun akan dikatakan tidak konsisten?
Prase “ berkelanjutan bergerak di bidang pencegahan tindak pidana korupsi”, apa maksudnya, batasan berkelanjutan itu seperti apa dan bagaimana? Apa yang dimaksud berkelanjutan itu harus tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tiap tahun, dan sampai batas kapan yang dianggap berkelanjutan? Bertahun-tahunkah, dan seterusnya.
Bermain-main dengan tafsir kepentingan kekuasaannya sendiri atau tafsir kebenaran konsensus kepentingannya (rezim penguasa) sendiri, terutama pada pasal 13, dan hingga pasal 21, maka itu benar-benar menjadi “pepesan kosong”. Sekalipun, tak terbantahkan pula faktanya bahwa KPK melakukan OTT, dan ada yang sebagai tindak lanjut atas pengaduan publik, begitu juga dengan halnya isntitusi Kepolisian dan Kejaksaan juga ada penangan perkara, tetapi, hingga kini baik pemerintah (Presiden) itu sendiri maupun institusi Penegak Hukum belum pernah mengumumkan adanya pemberian penghargaan, apalagi pemberian premi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU dan PP.
Seolah-olah semua penangan perkara perkorupsian di negeri ini adalah hasil dari kinerja institusi itu sendiri, sehingga menjadi benar adanya bahwa hingga kini Negara tidak pernah menerbitkan penghargaan terhadap masyarakat yang berjasa mengungkap adanya tindak pidana korupsi, sekalipun para penggiat antikorupsi tidak pernah terbersit soal penghargaan dan bonus seperti yang ada di PP tersebut.
Adanya (iming-iming) pemberian penghargaan tersebut tidak lebih dari sekedar “pepesan kosong”, dan bahkan yang menjadi fakta empirik sebagai realitas adalah sangat paradoks, yaitu teror, intimidasi, tindak kekerasan (penganiayaan) hingga pelenyapan nyawa, dan bahkan dikatakan penggiat antikorupsi sebagai parlemen jalanan yang menggangggu stabilitas politik, yang kemudian dibenci sama politisi, penyelenggara Negara, dan bahkan juga tidak disukai oleh Aparatus Negara Penegak Hukum itu sendiri; penerimaan yang dingin dan bahkan tanpa senyum dalam menerima laporan penggiat antikorupsi terhadap dugaan telah terjadinya korupsi, apalagi jika menanyakan dan atau ingin mendapat penjelasan perkembangan kasusnnya, niscaya yang tak terbantahkan bagaikan permainan pola pingpong.
Penggiat Antikorupsi
Bagi kita (penggiat anti korupsi) sesungguhnya tak pernah terbersit apalagi terlintas mengenai uang harta karun dan pemberian penghargaan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 13 hingga pasal 21 tersebut. Apa yang dilakukan oleh penggiat antikorupsi adalah semata-mata merupakan panggilan nurani (moralitas) untuk kepentingan menjaga Negara agar bisa melindungi segenap tumpah darah, dimana korupsi merusak seluruh persendian kehidupan perekomian Negara.
Kita sejatinya tidak akan pernah pamrih, dan tak mau tergoda dengan iming-iming yang ditawarkan dalam PP tersebut, bahkan PP tersebut merupakan godaan yang akan menjerumuskan logika dan akal waras sebagai manusia yang secara moralitas memang kita harus melakukan itu semua sebagai tanggungjawab kekhalifahan di muka bumi.
Pengharapan yang diimpikan dan atau diigaukan kita adalah keterketukan para Aparatus Negara Penegak Hukum atau institusi Penegak Hukum untuk merespon, dan tersenyum jika menerima laporan adanya dugaan terjadi tindak pidana korupsi, bukan bagaikan pengemis kebijakan, karena itu semua adalah kewajiban ASN (Aparatur Sipil Negara) atau sebagai Aparatus Negara Penegak Hukum yang secara konsitusional harus mengemban tanggungjawab dan moralitas institusionalnya sebagaimana yang dimaksud dalam UU maupun pasal 2, terutama ayat (2) huruf b (hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi), d ( hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang telah diberikan kepada Penegak Hukum) dan e (hak untuk memperoleh perlindungan hukum).
Pada realitasnya, pasal 2 ayat (2) huruf b tidak seindah rembulan. Untuk menyampaikan informasi adanya dugaan terjadi tindak pidana korupsi, responya sangat dingin apalagi informasi itu disampaikan secara lisan, sedangkan secara tertulis saja enggan untuk menerimanya. Hal tersebut bisa kita berikan fakta yang tak bisa terbantahkan, seperti jika menyampaikan secara lisan tidak dicatatnya sebagai bentuk informasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (2 dan 3).
Menjadi sangat tertutup bahkan terkunci. Mengambil jarak yang jauh dan tegas berjarak, yang mengisyaratkan dalam struktur tanda dan penanda adalah tidak perlu dilaporkan atau jangan memberikan “pr” (pekerjaan rumah). Yang kemudian sebagai bantahan dari realitas tersebut adalah klaim itu “hanya oknum”, tidak benar semua begitu.
Jika laporan adanya dugaan terjadi tindak pidana korupsi secara tertulis yang disampaikan secara langsung ke Aparatus Negara Penegak Hukum dan atau institusi Penegak Hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, tidak dibuatkan tanda terima laporan, bahkan diminta tanda terima pun terlihat ekspresi sangat memberatkan dan seolah-olah menjadi beban berat dan takut untuk kelak ditagih dan dipertanyakan tanggungjawab tindak lanjut proses hukumnya.
Jika kemudian dibuatkan tanda terima laporan secara tertulis yang langsung disampaikan, tanda terima laporan tersebut tidak teregister dalam surat masuk atau register pengaduan masyarakat, tanpa nomor surat bahkan seringkali hanya disecarik kertas saja dibuatkan tanda terima, tanpa kop surat institusinya, seperti di kaki lima saja.
KPK masih membuatkan tanda terima laporan langsung tersebut dan sekaligus diberi nomor surat masuk, sehingga laporan pengaduan tertulis tersebut menjadi ter-register yang memudahkan kita untuk meminta jawaban perkembangan tindak lanjut kasusnya baik secara langsung maupun tidak langsung (via surat resmi). Namun, mulai sekitar bulan Juli 2013, KPK pun hanya memberikan “Tanda Terima Surat/Dokumen” sebagai bukti telah diterimanya laporan secara tertulis yang disampaikan langsung ke Dumas (Pengaduan Masyarakat) KPK, sehingga menyulitkan untuk meminta penjelasan perkembangan kasusnya, dan terpaksa tanda bukti tersebut harus di-copy dan menjadi lampiran surat.
Jika laporannya disampaikan secara tidak langsung, KPK masih mau memberikan balasan resmi, sekalipun isinya hanya sebagai “pelipur lara”, yaitu, “dapat kami sampaikan bahwa pengaduan surat tersebut menjadi bahan informasi untuk kegiatan koordinasi dan supervisi Bidang Penindakan terhadap penangan kasus dimaksud”, termasuk untuk jawaban meminta kewenangan supervisi KPK, karena penyidikannya telah dilakukan lebih dulu oleh Kejaksaan atau Kepolisian, yang mana kasus-kasus itu kemudian mangkrak bahkan tenggelam sama sekali, sekalipun statusnya telah ditetapkan menjadi “Tersangka”.
Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung masih dengan lega hati membuatkan bukti tanda terima laporan atau pengaduan masyarakat yang disampaikan secara langsung dan secara tertulis. Sekalipun kemudian kita menjadi lelah sendiri. Tapi, lagi-lagi, itulah realitas yang tak terbantahkan, tak seindah dan tak semerdu dengan PP dan atau dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Untuk mendapatkan penjelasan atas perkembangan kasus yang dilaporkan seperti kita mendobrak lemari besi yang berkarat, yang ujung-ujungnnya sekalipun kita secara prosedural seperti yang dimaksud dalam PP pasal 2 dan 4 telah dilakukan bahkan menuliskannya dalam form kertas yang telah disediakan, tapi realitasnya api jauh dari panggang, apalagi jika kita meminta penjelasan dan atau hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum hanya dengan mengirim surat kepada institusi Penegak Hukum adalah bagaikan pungguk merindukan bulan, dan bagai memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.
Menjadi amat jauh, apalagi kita meminta perlindungan hukum kepada institusi Penegak Hukum. makin jauh dari hujan sekalipun mendung gelap telah menyelimutinya. Tidak semerdu nyannyian yang diperdengarkan. Ketika kita meminta perlindungan hukum kepada institusi perlindungan hukum seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), birokrasinya banyak, kita tak bisa pahami dengan berbagai alasan yang dikedepankan. Alih-alih, mengisyaratkan “tak usah ke LPSK”. Semoga sekarang telah berubah.
Sekalipun ada perlindungan dari LPSK, yang menyangkut keselamatan jiwa dan raga tetap ada pada diri kita sendiri. Walaupun LPSK memberikan fasilitas untuk beberapa saat yang genting bisa berada dalam “Safe House” yang terjamin dan terlindungi untuk tidak diketahui orang. Lagi-lagi, ancaman kekerasan, tindak kekerasan atau tindakan pelenyapan nyawa tidak bisa terukur secara ilmu pasti atau matematika sosial, kapan akan terjadi atau akan dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggungjwab itu atas order para koruptor dan jahanam lainnya.
Jika saja UU dan PP No. 43/2018 ini menjadi bagian yang melekat pada diri Aparatus Negara Penegak Hukum atau telah menyatu dalam nuraninya sebagai pengemban amanat dan kedaulatan Negara, maka kita tidak akan lagi melakukan unjuk rasa sebagai bentuk pengawalan terhadap kasus korupsi yang telah dilaporkan.
Unjuk rasa adalah fakta yang tak terbantahkan, dan yang dilakukan merupakan upaya mendorong dan mengetuk nurani para Aparatus Negara Penegak Hukum untuk menindaklajuti laporannya atau laporan yang disampaikan masyarakat. Bahkan untuk menggoalkan pengawalan kasus, kita harus berkali-kali melakukan unjuk rasa dalam massa yang besar di depan gedung institusi Penegah Hukum, yang terkadang kasusnya pun tetap tidak bergeming untuk ditindaklanjuti, dan bahkan kemudian terkubur dalam perjalanan waktu dan tahun. Yang kemudian, jika sudah sekian tahun kasusnya, dijadikan apologi dan alibi bahwa kasus tersebut sudah cukup lama, “kami pejabat baru” jadi tidak tahu masalahnya, sehingga sulit alias datanya mungkin sudah di-gudang-kan, entah tercecer di mana, sudah dikilokan, sudah di-tong-sampah-kan kemudian mungkin dipungut Pemulung.
Yang kita harapkan dan sekaligus menjadikan pertanyaan, benarkah Negara dengan mekanisme konsitusionalnya adalah Aparatus Negara Penegak Hukum dan atau institusi Penegak Hukum berkepntingan sunguh-sungguh untuk melakukan upaya pencegahaan dan pemberantasan tindak pidana korupsi? Ataukah, sesungguhnya rezim penguasa (pemerintah) tengah mengatakan bahwa PP tersebut hanya merupakan siluet peran pengganti dalam panggung teater kolosal, karena penulis skenario dan sang sutradara tidak menghendaki adanya peran yang harus diperankan menjadi pemeran utama, sehingga sampai layar turun pun akan tetap menjadi “pepesan kosong”. Itu hanya “pepesan kosong” semata. ***
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)