Jakarta, Demokratis
Minimnya minat masyarakat untuk mendaftar sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD diakibatkan beberapa faktor. Disinyalir, sulitnya persyaratan dan diperbolehkan ikut campurnya kader partai dalam kontestasi di tingkat DPD, adalah sumber masalahnya.
Demikian disampaikan oleh Dosen Ilmu Politik dan Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando dalam diskusi Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), yang digelar secara virtual pada Sabtu (17/12/2022).
Ferry menjelaskan sulitnya persyaratan menjadi alasan pertama minimnya minat masyarakat menjadi anggota DPD. Salah satunya adalah keharusan mendapatkan 2.000 dukungan dalam bentuk tanda tangan dan fotokopi KTP.
“Karena memang di Undang-Undang kita, memberikan persyaratan yang sangat rumit untuk menjadi bakal calon (DPD). Harus ada dukungan awal dari masyarakat,” jelasnya.
Selain persyaratan yang sulit, faktor penyebab lainnya adalah terdapat perbedaan bentuk dukungan dari masyarakat yang maju secara individu, dengan calon anggota DPD yang sudah memiliki dukungan dari partai politik (parpol).
Perbedaan yang paling mendasar, sambung dia, setiap calon DPD yang berasal dari kader partai tentu sudah memiliki tim kampanye yang mumpuni, sedangkan calon DPD yang maju secara individu akan kesulitan dalam membangun tim kampanye.
“Belum juga dengan kampanye. Kalau dikampanye calon DPD yang mengerakan itu ada birokrasi, partai politik. Tapi kalau calon masyarakat biasa tim kampanye tidak ada, dia harus bergerak sendiri kalaupun dia harus membuat tim kemenangan berapa biasanyanya,” katanya.
Lebih lanjut Ferry menilai, semestinya ada aturan yang melarang seorang kader partai untuk ikut dalam kontestasi di tingkat DPD. Sebab, kehadiran para kader partai itu, menghadirkan rasa ketidakadilan bagi calon yang maju secara individu. “Ada ketidakadilan antara calon DPD masyarakat biasa dengan DPD yang didukung partai politik,” tandasnya. (EKB)