Berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Wakil Ketua Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur berkaitan korupsi, maka bergulirlah perbedaan pendapat. Antara lain Luhut Binsar mengatakan bahwa tangkap tangan itu pristiwa dramatik. Ia tidak setuju dengan cara operasi tangkap tangan yang dilakukan.
Karena itu menurutnya perbuatan KPK tersebut dramatik. Artinya mendramatisir persoalan korupsi dengan melebih-lebihkan. Hingga menyudutkan pihak yang terkena operasi tersebut. Tetapi itulah style-nya KPK. Tanpa demikian KPK hampir tak punya model operasi lain.
Masalahnya apa dampak yang timbul dari istilah itu. Kemudian apa jalan keluar yang dapat diambil. Apa KPK harus mundur dalam memberantas korupsi? Sebuah persoalan tentunya. Atau Luhut Binsar harus meralat ucapanya itu, karena ia orang penting dalam negara ini. Terutama dalam memberantas bahaya korupsi dalam arti menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terhadap peroalan ini menurut kita ada beberapa hal yang menjadi esensi persoalan:
Pertama, ada perpecahan beda pendapat dalam pemberantasan korupsi, antara yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Kedua, soal kedudukan Luhut Binsar yang kuat sebagai pendukung pemerintah kini.
Ketiga, soal KPK-nya.
Kondisi ini poin terpenting di sini yang sebelumnya KPK sebagai pelengkap saja. Karena melihat ini adalah peluang untuk melakukan tindakan.
Situasi inilah sekarang membat hiruk-pikuk pemberanantasan korupsi yang selama ini tidak berujung pangkal. Apakah korupsi telah surut atau sama saja dengan yang dahulu.
Akhirnya terserah kepada pemerintah Presiden Jokowi apa ia ingin meninggalkan prestasi atau biasa-biasa saja seperti pemerintah sebelumnya. Yang meninggalkan korupsi menjadi musuh utama Indonesia yang tidak bisa dilumpuhkan atau dikalahkan. Itu saja.
Jakarta, 3 Januari 2023
)*Penulis adalah Doktor Dosen Paskasarjana Universitas Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta