Jakarta, Demokratis
Penerapan sistem sanitari landfill dalam pengelolaan sampah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2018 telah membebani pemerintah daerah karena diharuskan mengalokasikan anggaran yang mahal.
Dari mulai harus membuat perencaanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampai dengan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun.
Selanjutnya Undang-ndang yang berlaku sekarang mengharuskan menutup tempat pemrosesan terbuka paling lama 5 tahun.
“Ini semua membutuhkan biaya besar dari penyediaan lahan baru sampai biaya operasional termasuk untuk pengadaan alat beratnya dan karyawan yang sudah terlatih,” kata Wakil Ketua Komite II DPD asal Propinsi Lampung Bustami Zainudin di Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Menurutnya, konsekuensi akibat dari tingginya biaya pengelolaan sampah akibatnya tidak semua pemerintah daerah memiliki pemahaman yang sama dalam mengimplementasikan UU tentang Pengelolaan Sampah itu.
Pemerintah telah mencanangkan target nasional pada tahun 2025 mengurangi sampah sampai 30 persen, serta penanganannya telah mencapai 70 persen.
Untuk di Jawa, jelas anggota Komite III Denty Eka Widi Pratiwi, lahan atau kawasan ideal untuk TPA jelas sudah sangat sulit.
“Malah ada di beberapa daerah justru penduduknya sudah bertempat tinggal berdekatan dengan TPA. Semua daerah mempunyai masalah yang sama,” tegasnya.
Sementara Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya Chalid Buhari menyatakan, Kota Surabaya mencoba menangani permasalahan sampah tak di hilir TPA saja. “Pada saat sekarang ini Surabaya telah melibatkan stakeholder bukan Pemko Surabaya saja tapi bersama dengan pihak perusahaan swasta dalam mengusahakannya,” tandasnya. (Erwin Kurai)