Peningkatan aktivitas perdagangan pada platform sosial, seperti TikTok, tercatat semakin tinggi seiring dengan bertambahnya basis pengguna.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengungkapkan hal tersebut tersebut kemudian memunculkan fenomena social commerce dinilai dapat menimbulkan berbagai risiko.
Menurut dia, media sosial telah memiliki akses data yang cukup luas terhadap para pengguna platformnya, termasuk kebiasaan, perilaku, dan berbagai data pribadi lainnya.
“Dengan adanya model bisnis social commerce, media sosial dinilai akan semakin memiliki kuasa dan akses atas data pengguna yang berasal tidak hanya dari layanan media sosial, tetapi juga terkait dengan transaksi pembelian mereka,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Jumat (3/2/2022).
Wahyudi menambahkan, atas dasar itu semestinya platform yang menaungi social commerce juga harus mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha.
“Artinya TikTok sendiri sebagai penyedia platform dia harus patuh pada aturan-aturan tersebut, dan membebankan aturan-aturan tersebut kepada user-nya yang menggunakan akun mereka untuk jual beli secara online,” tegas dia.
Wahyudi menjelaskan, platform ini juga mesti menerapkan aturan-aturan e-commerce, terkait dengan perlindungan data dalam konteks e-commerce di dalam marketplace mereka.
“Seharusnya TikTok juga melakukan hal yang sama begitu sehingga konsumen mendapatkan perlindungan. Termasuk yang terkait dengan perlindungan data itu juga harus diterapkan,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan social commerce harus diatur oleh pemerintah.
Terutama, terkait penggunaan data pribadi di semua sektor termasuk di media sosial dan sejenisnya.
“Ya kita harus mendorong pemerintah untuk mengatur, memungut dan mengawasi data. Sebab, memang era digital memang tantangan terbesar adalah keamanan data dan penyalahgunaan data pribadi,” katanya.
Oleh karena itu Tulis menyebut jika nanti ada penyalahgunaan untuk komersial yang dirugikan adalah konsumen.
“Di sini perlu penegasan bahwa undang-undang mengamanahkan data pribadi semua harus izin kepada pemiliknya,” imbuh dia.
Sebagai informasi, fenomena social commerce ini bisa dianggap sebagai pesaing baru bagi platform-platform e-commerce ternama seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia.
Di sisi lain, di berbagai negara nyatanya model bisnis social commerce dinilai dapat menimbulkan berbagai risiko, termasuk manajemen data.
Untuk diketahui, Amerika Serikat telah melarang penggunaan platform TikTok pada gawai milik pemerintah federal atas alasan keamanan nasional.
Pelarangan tersebut tidak terlepas dari dugaan TikTok telah mengambil data yang eksesif dari penggunanya. (Rio)