“Dengan berbagai dalih oknum Panitia Desa dan BPN Subang diduga tetap lakukan Pungli dalam proses pembuatan sertifikat. Perbuatan itu telah melecahkan Presiden Jokowi yang mengintruksikan pembuatan serifikat massal gratis”.
Subang, Demokratis
Publik kini disuguhi dengan hiruk pikuk tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK atau Tim Saber Pungli di mana-mana, media terus memberitakan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan berbagai macam kasus.
Fenomena ini nampaknya tak membuat ciut nyali bagi oknum Kades/Panitia Desa dan BPN Subang sebagai pelaksana program pembuatan sertifikat massal tahun 2018 dan 2019 di antarnya program Redistribusi dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di sejumlah desa di Kabupten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Para oknum itu dituding warga sebagai ‘pencuri’, lantaran diduga melakukan pungutan liar (Pungli) dalam pembuatan sertifikat massal yang jelas-jelas memungut biaya tanpa jelas payung hukumnya, seski dengan dalih telah dimusyawarahkan dengan warga.
Bisa dibayangkan, bila pembuatan sertifkat melalui program redistribusi di tahun 2018 sebanyak 3000 bidang yang tersebar di 13 desa dan 9 kecamatan dan TA 2019 sebanyak 2.180 bidang tersebar di 10 desa dan 4 kecamatan, dan program PTSL (TA 2018) sebanyak 28.300 bidang dikutip antara Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta/bidang, maka empat saku baju safari yang biasa dikenakan mereka sewaktu berdinas/bekerja dipastikan tidak akan mampu menampung uang haram itu.
Padahal Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat, saat itu Sri Mujitono sudah mewanti-wanti, bila aparat BPN kabupaten/kota dan aparat desa agar tidak melakukan pungutan yang memberatkan bagi warga/peserta program. Bahkan seyogyanya bisa gratis bagi warga tak mampu, melalui subsidi pemerintah daerah, ataupun kebijakan kepala desa.
“Warga yang ikut program pembuatan sertifikat massal dibebaskan dari biaya pengukuran, biaya panitia, biaya pendaftaran dan transportasi petugas ukur, kecuali dibebani biaya materai, patok dan biaya warkah dari desa,” ujar Sri Mujitono di Kantor BPN Kabupaten Bandung.
Selain itu disinyalir panitia telah memanipulasi data untuk menghindari pembuatan akta peralihan hak atas tanah. Kendati transaksi peralihan haknya terjadi setelah diberlakukannya PP 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah, namun panitia menyajikan data waktunya sebelum diberlakukannya PP itu (Juli 1997). Eksesnya obyek yang terkena Pajak Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) yang mestinya terjaring oleh PPAT dipastikan tidak akan terpungut, artinya negara berpotensi dirugikan sebab pajaknya tidak terpungut.
Hasil penelusuran dan keterangan berbagai sumber yang dihimpun awak media menyebutkan, di Desa/Kecamatan Compreng mendapat kuota 200 bidang dipungut Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta/bidang, Desa Mekarjaya kuota 250 bidang dipungut Rp 1,5 juta/bidang, Desa Parigimulya (Kecamatan Cipunagara) kuota 50 bidang dipungut Rp 700 ribu/bidang.
Terpisah, Kades Compreng Warmah saat itu dikonfirmasi di ruang kerjanya mengaku memungut biaya Rp 1 hingga Rp 1,5 juta/bidang. Biaya itu tidak termasuk membayar kewajiban lainnya seperti bayar pajak BPHTB, PPh, PBB. “Kami menyamakan dengan desa tetangga (Desa Mekarjaya) untuk menghindari protes warga, karena hampir satu hamparan, peruntukannya tidak jauh berbeda dengan desa tetangga. Sepengetahuan saya pungutan biaya itu merata dilakukan oleh desa-desa yang mendapat program, hanya besarannya bervariasi,” katanya.
“Dari BPN Subang tidak ada biaya, sementara operasional di lapangan butuh biaya. Untuk rincian penggunaannya silahkan tanyakan kepanitiaan. Kami hanya sekedar mengetahui,” ujarnya berdalih.
Ketua Panitia Agus Zaenudin yang dihubungi melalui sambungan telepon, tidak berkenan mengangkat teleponnya kendati sudah tersambung.
Sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media, Markonah (nama samaran) warga Dusun Sukaseneng, Desa/Kecamatan Compreng mengaku dipungut Rp 1,5 juta, Aminah (nama samaran) warga Dusun/Desa Compreng mengaku dibebani dengan jumlah sama, namun membayar Rp 1 juta. “Katanya nanti kalau sudah jadi sertifikatnya harus melunasi,” ujarnya mengeluh.
Sementara Kades Mekarjaya Lili Suwarli (kini mantan Kades) ketika berhasil dikonfirmasi, secara blak-blakan mengakui bila pihaknya memungut Rp 1,5 juta/bidang. Salah seorang Panitia Desa setempat yang tidak bersedia dipublis identitasnya menerangkan, biaya sebesar itu diperuntukan membayar tim lapangan yang berjumlah 5-6 orang sebesar Rp 60 ribu/orang/hari. “Pembelian patok, materai, suguh tamu, bayar kontrakan base camp (sekretariat) transport petugas BPN,” ujarnya.
Hal serupa dikeluhkan peserta program PTSL adalah warga Desa Sukahaji (Kecamatan Ciasem) yang dipungut bervariasi antara Rp 300 ribu hingga Rp 850 ribu. “Ada sekitar 2000 bidang tanah sawah dan darat peserta program yang dibebani biaya pembuatan sertifikat tanah PTSL tidak sesuai ketentuan,” ujar Ajun kepada awak media sambil memperlihatkan kwitansi pembayaran.
Warga lainnya, Arob (50) dirinya mengaku memiliki tanah yang didaftar seluas 230 meter dibebani Rp 850 ribu. “Saya baru bayar Rp 500 ribu kepada panitia desa nanti sisanya akan dilunasi setelah sertifikat tanahnya jadi,” ujarnya.
Berbeda keberadaan peserta program PTSL di Desa Jatiragas Hilir (Kecamatan Patokbeusi) yang dibebani Rp 500 ribu/bidang dialami Cica Asiah. “Iya, untuk biaya pembuatan sertifikat saya mendaftar dua bidang di awal saya membayar Rp 600 ribu, lalu setelah mau ngambil saya nambah Rp 200 ribu/bidang. Jadi seluruhnya Rp 1 juta,” ujar Cica mengeluh.
Saking merasa geram, di antara mereka sudah mengadukan dugaan Pungli ini ke Polres Subang. Dalam prosesnya mereka meminta bantuan kepada LSM Peraki.
“Kita sudah meminta bantuan kepada LSM Peraki untuk masalah ini. Karena bukan hanya saya saja, masyarakat lainnya sama dimintai uang untuk pembuatan sertifikat,” katanya.
Ketua DPD LSM Peraki Subang Endah Lesmana mengatakan, sudah menerima sedikitnya 40 laporan dari masyarakat yang dipungut biaya pembuatan sertifikat program PTSL mulai Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta.
Atas kasus ini pihaknya bersama kuasa hukum sudah melaporkan permasalah ini ke Polres Subang. “Sudah kita laporkan. Ada laporan dari warga, kemudian langsung kita bantu untuk untuk melaporkannya ke polisi,” tadasnya.
Pihaknya menginginkan kasus ini bisa tuntas, mengingat sudah banyak masyarakat yang merasa dirugikan, sehingga yang terlibat harus ditindak sesuai aturan yang berlaku.
Praktek dugaan Pungli yang dilancarkan oknum panitia agaknya cukup terorganisir dan sudah disetting sedemikian rapih. “Awas jangan meninggalkan jejak,” ujar sumber menirukan kata-kata seorang Kades saat memperingatkan temannya. Masih, kata sumber, pola-pola kinerja panitia di desa dikendalikan oleh petugas BPN.
Sementara itu, pejabat berkompeten BPN Subang belum berhasil dikonfirmasi, meski awak media sudah berulang kali menyambangi di kantornya Jln Mayjen Sutoyo – Subang.
Menanggapi itu, fungsionaris DPD Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK) RI Kabupaten Subang, Yudi Prayoga Tisnaya menyebutkan, oknum panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Menurutnya, berdasarkan konstruksi yuridis dalam kontek ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tegasnya.
Kasus ini tergolong Pungli dan setiap Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pungutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebiajakan yang dibuat Pemerintah Desa/Panitia dinilai tetap bertolak belakang dengan regulasi pemerintah,” ucapnya geram. (Abh)