Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Politik Identitas

Oleh DR Mas ud HMN*)

Karena politik identitas belakangan dikonstruksikan bertendensi negatif, lalu menjadi isu besar dalam blantika pemikiran kebangsaan kita mengingat adanya penolakan politik identitas tersebut khususnya dalam konteks umat Islam, paska Pilpres, yang disampaikan banyak tokoh itu lantas menjadi masalah debatable alias penuh pro kontra.

Timbul pertanyaan, sangat berbahaya kah politik identitas itu? Jawabnya tidak. Berikut inilah penjelasannya.

Pertama, identitas itu mengandung kedaulatan yang utuh tidak terombang ambing.

Kedua, identitas itu memberi ruang eksistensi berkelanjutan menjadi ciri yang membedakan dengan nilai lain.

Memang ada yang disesalkan dari asah intelektual untuk sebagian kaum politik muda. Antara  esensi politik idealis dengan eksistensi poiitik praktis. Ironinya menjadi pertentangan dan pro kontra tidak dalam intelektual sehat.

Bagi yang tertarik mengamati sejarah politik Partai Masyumi akan menemukan hal penting sekali seputar idealism politik. Secara intern partai, banyak masalah, namun masalah tetap berada pada posisi intelektual yang jernih. Menariknya paradok soal pro Amerika dan tidak anti Amerika. Partai Masyumi tersebut terjadi dalam politik luar negeri Indonesia yang baru merdeka. Segi idealis dimaksud dipresentasikan oleh sayap Burhanuddin Harahap, Syafrudin Perwiranegara. Sementara sayap pro Amerika adalah Sukiman, Yusfuf Wibisono dan Abu Hanifah.

Idealisme dasar Islam Masyumi sangat kuat. Artinya perjuangan untuk membangun Indonesia dengan kedaulatan, berkemajuan dan kemakmuran sangat jelas. Meskipun dalam kaitan cara mencapai tujuan terdapat variasi pandangan seperti disebutkan di atas termasuk politik luar negeri.

Bisa dicatat bagaimana kedua grup itu berargumentasi kuat dengan segenap alasannya. Dapat dicatat Sukiman adalah intelektual penting yang pro Amerika. Bagi Sukiman amat strategis untuk pro Amerika ketimbang nanti jatuh di bawah pengaruh Komunis yang notabene punya basis dalam negeri sejak awal kemerdekaan. Sukiman melihat bahaya faham Komunis harus dihadapi dengan bergabung atau dibangun dalam aliansi pro Amerika.

Secara kategoris yang tidak pro Amerika identik dengan aliran idealis, sikap independen, kekuatan sendiri dan itu lebih ideal. Ketimbang Pro Amerika, baca Barat, memang diperlukan untuk pembangunan Indonesia, namun mengandung resiko. Barat adalah kaum penjajah yang kemudian menjadi imperialism modern.

Agaknya dua grup ini beranjak dari orisinalitas faham mencapai Indonesia yang kuat dan makmur. Namun yang terjadi tidak satupun grup itu mendominasi yang lainnya. Tidak sependapat namun terus seiring jalan. Sama kuatnya. Ini bukan dua nakhoda satu kapal dua tujuan. Tapi satu tujuan.

Sekali lagi tidak identik satu kapal dua tujuan. Ini betul sebuah proses idealisme intelektual dengan imaniyah. Anti komunis dan pro Amerika sebuah jalan. Tidak pro Amerika tapi anti komunis sikap yang lain. Ide sama di situ adalah Indonesia yang kuat dan bebas.

Mungkin melihat kenyataan estimasi Sukiman memang terjadi. Yaitu dengan masuknya Indonesia di bawah pengaruh Komunis era Sukarno. Dengan puncaknya pemberontakan  Komunis (Partai Komunis Indonesia). Hanya gagal. Lalu kemudian Indonesia menjadi pro Amerika di era Soeharto. Yang kemudian membawa persoalan hingga Soeharto pun jatuh dari kekuasaan.

Singkat kata ini orsinil Masyumi. Yaitu anti Komunis tanpa pro Amerika. Inilah bentuk politik identitas yang ditunjukkan Masyumi. Tetap kokoh dalam politik identitas berkedaulatan. Saya kira harus kita lihat dari idelaisme demikian. Sehingga politik identitas itu tidak diluluhkan ke dalam makna sempit. Seperti sekarang ini, yakni pecah belah. Melainkan dalam mengejawantahkan idealisme kedaulatan. Nilai idealisme berbasis imaniah itulah yang membedakan dengan idealisme yang lain.

Akhirnya politik identitas tidak perlu ditakuti. Bahkan lebih dari itu politik identitas dapat menjadi acuan politik kebangsaan ke depan. Karena berbasis nilai imaniah, kedaulatan dan berkelanjutan. Kita menjadi bangsa yang maju. Wallahu aklam bissawab.

 

Jakarta, 25 Januari 2020

 

*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles