Subang, Demokratis
Banjir lumpur yang memporak poranda rumah penduduk dan sejumlah areal di Desa Curugrendeng, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, kini masih terus menjadi sorotan publik.
Bencana alam yang diakibatkan alih fungsi lahan PTPN VIII ini pun kini dipersoalkan. Tak kurang Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi yang mantan Bupati Purwakarta dan putra daerah Subang mengaku geram saat melakukan kunjungan kerja di lokasi alih fungsi lahan PTPN VIII di Subang Selatan yang mengakibatkan banjir lumpur itu.
Saat melakukan tinjauan langsung ke lapangan Kang Dedi sapaan akrabnya melihat lahan perkebunan teh sudah gundul karena akan diubah menjadi perkebunan hortikultura. Bebatuan yang berada di sekitar lokasi pun telah diangkat.
“Ini kalau hujan airnya deras mengalir ke desa yang ada di bawah,” ujar Kang Dedi Mulyadi (KDM), dalam rilisnya, dikutip dari Lampusatu.com, (13/5/2023).
Rencananya alih fungsi lahan tersebut akan ditanami oleh berbagai sayuran, kentang dan umbi-umbian lain. Hal tersebut akan membuat daya ikat tanah menjadi lemah. Ditambah dengan penggunaan obat kimia yang menjadikan tanah semakin lemah.
Menurutnya, sejak dulu Belanda sudah membuat perencanaan yang baik dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai perkebunan teh yang memiliki daya ikat tanah sangat kuat.
“Jadi kalau sekarang mengubah jadi sayuran, kita tidak mengerti pembangunan macam bagaimana. Kita bukan berpikir masa sekarang saja tapi mestinya jangka panjang. Kasus kemarin di Puncak juga habis, Garut juga se-desa (bencana),” ucapnya.
Belum lagi jika nantinya sayuran ditutup dengan plastik yang akan membuat air terbuang tidak menyerap ke tanah.
“Areal ini seperti tidak ada perencanaan yang tepat. Areal yang begitu indah sekarang jadi berantakan. Dulu kanan kiri the,” kata Dedi Mulyadi.
Saat ini lahan yang dikerjasamakan dengan PT Bintang Pratama Sentosa itu telah dilakukan clearing atau pembersihan seluas 4 hektare. Dari proses tersebut sudah menimbulkan berbagai dampak seperti banjir yang kini semakin meluas hingga ke Purwakarta.
Kang Dedi mengatakan, kawasan tersebut sejak dulu dikenal sebagai kawasan wisata alam. Namun jika alam sudah rusak maka tidak akan ada lagi pelancong yang mau datang.
“Sekarang tanah negara seperti dikavling-kavling tidak satu kesatuan. Kalau memang tidak ada uang untuk pengelolaan gampang, tinggal reboisasi saja tanami pohon, dijadikan hutan lagi saja,” keluhnya.
Sementara itu, Dirjen PDASHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dyah Murtiningsih menyebut lokasi tersebut sebagai hulu yang memiliki fungsi menjaga keseimbangan di hilir. Dalam hal ini pepohonan dan perkebunan teh bisa mengikat tanah agar tidak erosi.
“Kalau dilihat tanah di sini juga menurut kami tidak cocok untuk pertanian. Dari PT Bintang ini juga belum ada persetujuan lingkungan,” ujar Dyah.
Di tempat yang sama, perwakilan PT Bintang Pratama Sentosa mengklaim berbeda dengan perusahaan lain. Mereka mengklaim sudah memiliki site plan terkait lingkungan.
“Kami punya site plat tidak seperti yang Kang Dedi Mulyadi bilang seperti di Garut. Kami dari perusahaan punya site plan,” kata perwakilan tersebut.
“Bapak pakai site plan tapi kok banjir lumpur di desa. Kalau saya mau pakai teori apapun memang ini bukan peruntukan,” timpalnya.
Saat ditanya perizinan, perwakilan perusahaan itu juga mengaku telah mengantonginya. Bahkan mereka mengklaim telah mendapatkan Amdal yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Subang.
Namun klaim tersebut langsung dibantah oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Subang Hidayat yang juga berada di lokasi. Ia menegaskan pihaknya belum pernah mengeluarkan izin apapun termasuk Amdal yang diklaim oleh perusahaan.
“Kami tidak mengeluarkan Amdal, kami tidak sembarangan mengeluarkan itu,” kata Hidayat.
“Berarti ini ilegal, dong?” tanya Kang Dedi.
Menanggapi hal itu Hidayat kembali menegaskan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan camat setempat dan sepakat untuk tidak mengeluarkan dokumen apapun termasuk Amdal.
“Menurut saya ini ilegal dan kami menyarankan ini untuk dihentikan,” tegas Hidayat.
“Kalau ini ilegal hentikan, police line,” kata Kang Dedi Mulyadi geram. (Abdulah)