Jumat, September 20, 2024

Soeharto dan Petisi 50

Petisi 50, adalah suatu sikap kritis dan pemikiran soal bangsa yang terdokumentasi, berisi gerakan memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru alias Orba, dari para lawan atau musuh politiknya. Maka masih relevankah peradaban kuasa politik “kelabu” bangsa masa itu ke masa kini, atau akan kah berulang, walau dalam bingkai yang berbeda?

Mari kita kenang kembali, sekedar untuk melawan lupa sejarah. Sebab banyak kalimat bijak yang menyebut, bahwa bangsa atau pribadi yang faham dan jelas soal sejarahnya, maka dia teguh berprinsip akan keluhuran “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap”. Bahkan dari sinilah diperkirakan asal emberio adanya gerakan atau pemikiran kritis untuk mewujudkan era Reformasi 1998, berarti 18 tahun kemudian setelah deklarasi Petisi 50.

Petisi ini diterbitkan pada 5 mei 1980 di Jakarta sebagai “ungkapan keprihatinan” dan ditanda tangani oleh 50 orang tokoh terkemuka bangsa Indonesia, di antaranya termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Kastaf-ABRI), Jenderal Abdul Haris Nasution (AH Nasution), mantan Kapolri Jendral Hoegeng Imam santoso, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Ali Sadikin serta mantan Perdana Menteri Burhanudin Harahap dan Muhamad Natsir.

Para penanda tangan petisi ini, menyatakan bahwa Presiden telah mengangap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila dan atau azas tunggal. Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya, sebagai kritik terhadap “ideologi” Negara Pancasila.

Soeharto, menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mengancam dan “membunuh”, musuh atau lawan-lawan politiknya.

Soeharto juga merestui dan atau mensetujui, tindakan dan perilaku tidak “terhormat” oleh Militer. Sumpah prajurit di “Bonus” fungsi berada di atas konstitusi dengan wujud “Dwi Fungsi”. Lalu, perajurit juga dianjurkan untuk “memilih teman dan lawan sesuai atau berdasarkan pertimbangan selera Soeharto”. Apakah ini akibat dari kelabunya sejarah diri dan bangsa, sehingga kuasa politik selalu berulang dengan motif ketamakkan dan lupa diri. Kemudian ini juga diduga bagian gagalnya bangsa dalam memahami tafsir hakikat Pancasila, sehingga konsekwensinya selalu menjadi tumbalnya berupa berbagai peristiwa politik dengan nama kesaktian Pancasila. Pertanyaan selanjutnya apakah tafsir dan makna Pancasila itu sungguh tinggi di langit ke tujuh, sehingga siapapun akan sulit memahaminya? (Bersambung/dari berbagai sumber)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles