Tapteng, Demokraris
Mega proyek Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS) yang di plot pada program Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2019 di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), dinilai tidak lebih dari sebatas proyek asal-asalan, bahkan cenderung fiktif. Pasalnya, belum satu tahun, PJUTS yang digadang-gadang akan menerangi jalan desa di Tapteng itu, sudah banyak yang rusak.
Aroma korupsi juga tercium pada proyek ini. Dibeberapa desa, pembangunan PJUTS tak kunjung selesai. Dilokasi hanya ditemukan pondasi untuk pemasangan tonggak. Walau tahun anggaran 2019 telah berlalu, PJUTS yang diharapkan akan memberikan kenyamanan bagi warga yang melintas, tak juga bisa dirasakan manfaatnya.
“Belum, masih sebatas pemasangan pondasi. Itupun pondasinya sudah banyak yang hancur,” ujar S Hutabarat, Rabu, (13/2), warga Hudopa Nauli, yang sempat melampiaskan kekecewaannya di media sosial. facebook.
Tidak hanya itu, amburadulnya proyek yang ditenderkan kepada pihak ketiga oleh 159 Kepala Desa yang ada di Tapteng ini ditandai dengan adanya PJUTS yang hidup disiang hari, sementara pada malam hari padam. Apakah lampu ini tidak memiliki sensor otomatis untuk menyala ketika gelap dan mati disaat matahari bersinar ? Tidak hanya sampai disitu, beberapa PJUTS dipasang pada lokasi yang tidak bermanfaat.
“Sudah berulang kali kita sampaikan kepada pihak rekanam agar memperbaikinya. Namun hingga saat ini tidak ada realisasi,” ujar salah seorang Kepala Desa, Jum’at (14/2).
Kepala.Desa yang mewanti-wanti agar namanya tidak dituliskan ini mengungkapkan, sebelum pelaksanaan pembangunan, pihak penyedia barang dan jasa memberikan garansi seluruh komponen selama 1 tahun atas PJUTS yang terpasang. Namun sepertinya garansi tersebut hanyalah isapan jempol semata.
“Capek kita menyampaikannya. Sepertinya mereka tidak peduli,” keluhnya.
Saat disinggung kenapa tidak melaporkannya ke pihak berwajib, pria bertubuh kurus ini hanya mendesah panjang. Ia juga enggan menyebut nama rekanan penyedia barang dan jasa. Sepertinya ada yang harus disembunyikan rapat-rapat dan tidak boleh diketahui publik.
“Sudahlah bang. Ini ibarat makan buah simalakama,” lirihnya, tanpa menjelaskan arti.peri bahasa yang diucapkannya.
Sebagaimana diketahui, walau tidak pernah dibahas dalam musyawarah desa perencanaan, 159 desa di Tapteng kompak memplot pengadaan PJUTS dalam draf Rencana Kegiatan Pembangunan dan Pemberdayaan Dana Desa Tahun 2019. Jumlah lampu jalan setiap desa bervariasi, yakni antara 7 hingga 10 titik, dengan pagu anggaran setiap titik sekitar Rp 17 juta lebih.
Tidak diketahui pasti siapa sosok pencetus ide dan komando pemasangan PJUTS tersebut. Menyeruak kabar, sosok tersebut adalah orang kuat yang punya pengaruh di Tapteng. Diduga, sosok ini ingin menjadikan program Dana Desa menjadi ajang bisnis yang menguntungkan buat perusahaannya.
“Kita menduga ada konspirasi yang terstruktur, sistematis dan massif, antara Kepala Desa dengan pemilik perusahaan, untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagaimana mungkin PJUTS sejenis itu harganya sampai Rp 17 juta lebih,” koar A Hasibuan, salah seorang pemerhati pembangunan di Tapteng.
Dipaparkannya, PJUTS yang terpasang saat ini adalah jenis All In One. Harga satu buah lampu ini ada di kisaran antara 5 hingga 8 jutaan. Sedangkan PJUTS Konvensional dengan tipe 20/30 watt single oktagonal 7 m, dengan desain yang simple dan begitu artistik, harga kisarannya tidak lebih dari Rp 14 jutaan.
“Lampu PJUTS Konvensional dirancang dengan teknologi LED terbaru yang hemat daya, tingkat penerangan lebih tinggi dan kuat, serta bisa digunakan sampai 60 jam, harganya tidak sampai segitu. Yang terpasang kita lihat tidak lebih dari jenis All In One,” paparnya.
Apakah ada dugaan mark-up harga dalam pengadaan PJUTS ? Pria lulusan tehnik bangunan ini hanya tersenyum kecil. Aktivis berbendera LSM LIPPAN ini berjanji akan mendalami Standart Operasional Prosedur (SOP) yang diterapkan pihak pengelola Dana Desa terkait pengadaan PJUTS.
“Masih kita dalami. Tim masih melakukan investigasi di lapangan,” jawabnya diplomatis. (MH)